Analisis Litbang ”Kompas”: Sejarah Kecerdasan Buatan dan Fiksi yang Mewujud
Imajinasi mendahului setiap kreasi dan penciptaan teknologi, tak terkecuali kecerdasan buatan. Perdebatan antara manfaat dan mudarat tak putus sejak kecerdasan buatan diwujudkan, bahkan kini mulai banyak digunakan.
Oleh
Arita Nugraheni
·4 menit baca
Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) menjadi topik yang semakin populer dalam beberapa tahun terakhir. Namun, konsep ini sebenarnya telah ada sejak lama, bahkan sebelum teknologi komputer modern tercipta. Dalam karya-karya sastra fiksi, para penulis telah membayangkan bagaimana kecerdasan buatan manusia.
Seabad lalu, tepatnya pada 25 Januari 1921, drama tiga babak R.U.R atau Rossum’s Universal Robots karya Karel Capek dipentaskan di Teater Nasional di Praha, Ceko. Drama ini menceritakan seorang ilmuwan bernama Rossum yang menemukan rahasia menciptakan mesin-mesin yang menyerupai manusia.
Sementara seorang ilmuwan lain memutuskan untuk membuat robot yang lebih manusiawi. Ia menambahkan sifat-sifat manusia, seperti kemampuan merasakan rasa sakit dan sifat lain secara bertahap. Dalam kisah selanjutnya, robot-robot ini kemudian menggulingkan penciptanya, manusia. Penciptaan robot yang diniatkan untuk melayani manusia justru menguasai manusia itu sendiri.
Drama ini disebut menandai penggunaan istilah robot untuk menggambarkan manusia buatan (artificial person). Dalam bahasa Ceko, kata robota yang berarti ’kerja paksa’ memiliki makna sama dengan robot yang tidak pernah istirahat dalam melakukan pekerjaannya. Kata robot kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris pada 1923.
Isaac Asimov juga merupakan salah satu penulis fiksi yang membayangkan konsep kecerdasan buatan dalam karyanya. Melalui kumpulan cerpen I, Robot yang diterbitkan pada tahun 1950, Asimov memperkenalkan konsep robot ”positronik” yang menyerupai manusia dan membahas implikasi moral dari teknologi tersebut. Laman Britannica menyebut, perlakuan Asimov terhadap robot sebagai makhluk yang diprogram dengan etika sangat berpengaruh dalam perkembangan fiksi ilmiah.
Asimov juga mengeksplorasi tema kecerdasan buatan dalam karyanya yang lain, seperti dalam The Bicentennial Man (1976), di mana robot rumah tangga pertama di Bumi mulai mengembangkan bakat khusus yang melebihi batasan jalur positronik yang diberikan kepadanya.
Sebelum menemukan bentuknya yang sekarang, konsep AI juga dibayangkan oleh Ray Bradbury. Selain AI, ia juga telah membayangkan sejumlah teknologi canggih lain yang belum ada pada zamannya, seperti bluetooth.
Karya Bradbury, I Sing the Body Electric! (1969), merupakan kumpulan cerita pendek yang mengeksplorasi tema kecerdasan buatan, cinta, dan hubungan manusia dengan teknologi.
Salah satu cerita dalam buku ini, ”The Electric Grandmother”, mengisahkan sebuah mesin pengasuh robot yang dirancang sebagai seorang nenek yang menjadi pengasuh dalam sebuah keluarga. Meskipun hanya mesin, ia dapat memberikan kasih sayang dan kehangatan seperti seorang nenek sejati.
Merujuk ”What Isaac Asimov Can Teach Us about AI” oleh Jeremy Dauber, wawasan Asimov tentang robotika membantu membentuk bidang kecerdasan buatan. Ia menyebut penulis fiksi ilmiah membayangkan kecerdasan buatan dan apa yang mungkin diinginkannya jauh sebelum kenyataan luar biasa ini menjadi milik kita.
Dalam ranah ilmu komputer, kecerdasan buatan mewujud dalam bentuk yang tak lagi fiktif. Perjalanan AI mengarah pada pengembangan yang semakin praktikal. Sejak 1969, arsip Kompas mencatat sejumlah temuan yang mengarah pada makin terbentuknya apa itu AI.
Pada 10 Februari 1969, misalnya, istilah ”otak mekanis” digunakan untuk menyebut komputer canggih yang dapat menghitung pajak penduduk di Belanda. Komputer ini memiliki daya ingat dan analisis yang makin memudahkan pekerjaan manusia.
Para ahli di Universitas Yale menciptakan perbendaharaan komputer sebagai hal yang dapat mengerti satu kata dengan konsep dan ide yang sesuai dengan bahasanya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)
Pemanfaatan aplikasi berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), ChatGPT, di sebuah kantor di Jakarta, Selasa (7/3/2023). ChatGPT adalah chatbot AI berupa model bahasa generatif yang menggunakan teknologi transformer untuk memprediksi probabilitas kalimat atau kata berikutnya dalam suatu percakapan ataupun perintah teks.
Komputer lalu bisa mengasosiasikan kata api dengan konsep seperti bangunan terbakar, memadamkan, api, atau nyala api. Akan tetapi, kemampuan mengasosiasikan ini bukan pikiran. Itu hanya kemampuan memilih informasi dengan cepat. Ia tidak bisa mengasosiasikan api dengan puluhan arti harfiah atau abstrak.
Sementara itu, Raj Reddy, ilmuwan Universitas Carnegie-Mellon, mengemukakan bahwa suatu hari komputer akan menjadi asisten ahli hukum, dokter, wartawan, pedagang, dan profesi lain untuk melakukan analisis.
Pada 1985, ilmuwan Amerika Serikat, Dr Raymond Kurzweil, mengenalkan pada publik mesin baca untuk tunanetra, menyunting naskah, mendiagnosis penyakit, dan instrumen menyerupai organ yang dapat mengeluarkan bunyi-bunyian yang kompleks. Sejak usia 16 tahun, Kurzweil sudah dikenal sebagai tokoh yang memelopori pengembangan AI di AS (Kompas, 14/8/1985).
Di Indonesia, AI mulai menarik perhatian publik salah satunya lewat Seminar Kecerdasan Buatan yang digelar di Universitas Trisakti pada 19 November 1987. Dalam seminar tersebut diketengahkan persoalan untung rugi dari pengembangan AI dalam kemajuan umat manusia, termasuk pengembangan aplikasi teknik AI dalam manufaktur.
Pengembangan AI kala itu didefinisikan sebagai upaya ahli komputer untuk mengembangkan teknologi yang memungkinkan komputer berkomunikasi, berpikir, dan mengambil keputusan seperti manusia.
Pada 24 Agustus 1988, lulusan geologi dan calon dosen ITB, Sigit Sukmono, mengulas bahwa sistem inteligensi buatan dan sistem pakar (expert system) merupakan perangkat komputer generasi kelima yang menjadi primadona baru di dunia sistem informasi.
Sigit menyebut perbedaan utama AI dengan program komputer standar adalah keluwesannya menerima dan mengolah informasi baru. Pada AI, komputer diprogram untuk mengetahui medan masalah lewat manipulasi dan representasi simbol.
AI ini dapat digunakan salah satunya dalam mendasari sistem pakar. Pada sistem pakar, komputer diprogram untuk menyerap pengetahuan satu atau lebih ahli di bidang tertentu. Akibatnya, komputer dapat bertindak sebagai seorang konsultan. Ia menyampaikan kala itu ahli komputer telah bekerja sama dengan ahli filosofi, psikologi, bahasa, dan ilmu saraf untuk mengembangkan komputer yang punya kemampuan emosi, imajinasi, dan kreativitas.
Dari sejumlah karya fiksi, muncul perdebatan tentang manfaat dan mudarat dari kecerdasan buatan. Meskipun kecerdasan buatan dapat memberikan kemudahan dan kemajuan bagi manusia, dalam banyak kasus, teknologi ini juga dapat menimbulkan masalah yang serius jika tidak diatur dengan baik.
Dalam dunia nyata pun, kecerdasan buatan memunculkan dilema di tengah perkembangannya yang pesat.
Dalam dunia nyata pun, kecerdasan buatan memunculkan dilema di tengah perkembangannya yang pesat. Di satu sisi, AI digunakan untuk meningkatkan berbagai aspek kerja, seperti bidang otomotif, kesehatan, keuangan, dan industri. Namun, penggunaan kecerdasan buatan juga memunculkan berbagai masalah, seperti kekhawatiran tentang keamanan data, pengangguran akibat otomatisasi, dan implikasi etis dari penggunaan teknologi ini.
Terlepas dari polemik antara manfaat dan mudarat, imajinasi akan kecerdasan buatan itu kini berhasil dibuat dalam bentuk nyata dan banyak digunakan manusia. Imajinasi yang mendahului setiap penciptaan teknologi membawa pesan bagi manusia untuk selalu berani berimajinasi dan berkreasi dalam kehidupan. (LITBANG KOMPAS)