Pendidikan Vokasi Masih Sumbang Pengangguran, Industri Turun Tangan
Pendidikan vokasi diandalkan untuk mempersiapkan lulusan yang siap kerja. Namun, kompetensi lulusan pendidikan vokasi di Indonesia masih belum sesuai harapan sehingga menyumbang pengangguran.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Peserta magang dari diploma dan S-1 dari sejumlah perguruan tinggi dan sekolah vokasi merakit rancangan mekanik dalam proyeknya di pabrik PT Akebono Brake Astra Indonesia, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Senin (6/2/2023). Magang di industri memberi keuntungan bagi perusahaan dengan penyerapan perkembangan teknologi terbaru yang diajarkan di almamater.
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan vokasi jenjang menengah dan tinggi ditujukan untuk menyediakan lulusan yang siap kerja di dunia usaha dan dunia industri atau DUDI, selain dapat memilih menjadi wirausaha dan melanjutkan kuliah. Namun, sistem pendidikan vokasi Indonesia yang dinilai belum jelas arahnya justru menjadi penyumbang pengangguran yang konsisten tiap tahunnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, penyumbang terbesar tingkat pengangguran terbuka dari sektor pendidikan tahun 2019-2021 adalah lulusan SMK dan diploma (vokasi). Lulusan dari jenjang SMK menjadi penyumbang pengganguran terbuka terbanyak, dengan kisaran 10-14 persen, lalu diploma di kisaran 6-8 persen, sedangkan universitas 6-7 persen. Adapun jenjang SMP ke bawah berkisar 2-6 persen.
Padahal, pendidikan vokasi dinilai dapat menjadi tumpuan untuk menyiapkan sumber daya manusia unggul dan berdaya saing guna mengoptimalkan bonus demografi Indonesia untuk keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah atau middle income trap. Namun, lulusan pendidikan vokasi justru masih menjadi penyumbang pengangguran. Ditambah lagi masih banyak angka putus sekolah dari anak-anak muda yang belum memiliki keterampilan kerja.
Di acara Peluncuran Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi & Konferensi Technical and Vocational Education and Training (TVET) Nasional Tahun 2023 di Jakarta, Selasa (21/2/2023), Sekretaris Kelompok Kerja Vokasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Heru Dewanto mengatakan, Indonesia menghadapi masa kritis untuk memanfaatkan bonus demografi guna mendukung SDM unggul yang mampu berkontribusi menyokong kemajuan bangsa. Meskipun dari kajian McKinsey diprediksi Indonesia kehilangan sekitar 23 juta pekerjaan karena otomatisasi, di sisi lain justru lebih banyak muncul peluang pekerjaan baru.
”Kondisi angkatan kerja di Indonesia saat ini 57 persen lulusan SD dan SMP. Sementara bonus demografi akan segera berakhir di 2035. Jadi, semakin kritis waktu untuk memanfaatkan sisa bonus demografi supaya Indonesia bisa keluar dari middle income trap. Di sinilah pendidikan vokasi jadi tumpuan baru pemerintah dan masyarakat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi baru,” kata Heru.
Menurut Heru, Kadin yang merupakan satu-satunya mitra di luar pemerintahan yang diajak mendukung revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi serius untuk berkontribusi lewat pembentukan badan vokasi Kadin. Sebab, dari sisi pendidikan vokasi, saat ini kebutuhan SDM dinilai masih berorientasi pada penawaran (supply) dibandingkan permintaan (demand) DUDI. Selain itu, di pemerintahan banyak kementerian/lembaga yang mengurusi vokasi tetapi tidak terkoordinasi dan terintegrasi dengan baik.
Masyarakat menempatkan pendidikan vokasi masih di kelas dua dibandingkan akademik. Karena itu, pendidikan vokasi harus diangkat ”kelasnya” sehingga menjadi pilihan yang sepadan bagi anak muda lulusan SMP untuk melanjutkan ke SMK dan yang lulus SMA/SMK sederajat untuk memilih pendidikan tinggi vokasi.
Pendidikan vokasi tidak hanya memastikan lulusan bekerja, tetapi juga memiliki pendapatan layak.
Adapun dari sisi industri, penyerapan lulusan pendidikan vokasi masih kurang karena masalah link and match atau keselarasan rendah. ”Jadi, pendidikan harus bergeser ke outcome dibandingkan supply untuk pintu masuk link and match. Kadin mau mengoptimalkan di magang,” ujar Heru.
Menurut dia, Kadin berinisiasi terlibat dalam perbaikan terhadap instrumen ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan vokasi yang ada dan mengajak sejumlah perusahaan membangun pendidikan vokasi yang dipakai untuk lingkup sendiri. ”Kalau DUDI mengambil inisiatif mendirikan dan mengembangkan pendidikan vokasi untuk industrinya, tentu mahal dan tidak semua mampu. Yang ada malah jalan sendiri-sendiri dan kesenjangan di pendidikan vokasi makin lebar,” kata Heru.
Standardisasi magang
Menurut Heru, yang menjadi perhatian Kadin yakni yakni memperkuat link and match lewat magang dengan memperjelas definisi dan standarnya. Magang di DUDI terbuka untuk siswa/mahasiswa vokasi dan lainnya dengan melakukan pekerjaan yang merupakan bagian dari proses bisnis perusahaan. ”Peserta magang melakukan pekerjaan, bukan melihat orang kerja. Lewat koordinasi dengan Kemendikbudristek untuk menyusun standardisasi magang, dibuat bentuk rencana pembelajaran semester atau RPS magang yang diakui 20 SKS, mengacu pada standar internasional,” ujarnya.
Proyek percontohan magang berstandar DUDI dilakukan dengan politeknik. Selain menggunakan RPS, mengacu pada akreditasi internasional Sydney Accord, juga ada platform digital untuk melakukan pengawasan atau mencatat log book mahasiswa magang yang masuk ke industri, yang bisa diakses perguruan tinggi dan industri. Penggunaan platform untuk magang ini mengacu dari praktik baik Politkenik Negeri Batam yang membuat aplikasi MyInternship sejak tahun 2022.
Saat siswa magang, penyesuaian kurikulum pun berjalan. DUDI dipersiapkan untuk mampu mengelola pelajar magang secara optimal. Dengan mengembangkan magang yang terstandar, sebenarnya menguntungkan DUDI karena bisa mengurangi biaya rekrutmen dan menjadi bagian perencanaan tenaga kerja.
”Untuk itu, perlu membangun infrastrukur matchmaking atau perjodohan antara pendidikan vokasi dan DUDI. Nanti sistem informasi pendidikan sebagai kantong tenaga kerja dengan kompetensi tertentu dan sistem informasi industri tentang pekerjaan/kompetensi saat ini dan masa depan disatukan dalam Pusat Data 1 Vokasi,” kata Heru.
Adapun untuk SMK karena para siswa masih usia anak dibuat pendekatan magang yang berbeda. Perjodohan nantinya dilakukan dengan industri di kawasan industri/ekonomi di setiap daerah.
”Di momen merevitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi sebagai amanat perpres, yang penting kita perlu menetapkan sistem vokasi macam apa yang mau dibangun di Indonesia. Negara lain akan membantu ruang yang perlu diisi. Jadi, kita sendiri harus mantap arah pendidikan vokasinya seperti apa sehingga pendekatannya tidak ke kanan dan kiri sehingga kehilangan arah,” tegas Heru.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA (BAH)
Guru mengajar siswa Jurusan Kria Tekstil SMK Negeri 12 Surabaya, Jatim, menenun, Rabu (2/9/2020). Sekolah menengah kejuruan seni tersebut kembali menyelenggarakan sekolah tatap muka dan memberlakukan sistem sekolah bergilir bagi siswanya.
Sementara itu, Michael Wiechert, Deputy Director of Departement International TVET & Head of Division, Advisory, Services & Cooperation with Pater Institution, Jerman, mengatakan, dengan memformalkan peran setiap kelembagaan pemerintah dan dunia usaha untuk mendukung revitaliasi pendidikan vokasi, peningkatan kualitas pendidikan vokasi di Indonesia diharapkan berjalan sesuai harapan. ”Banyak perubahan yang terjadi di Asia-Pasifik, termasuk mengembangkan sistem pendidikan yang baru. Namun, yang penting apa yang akan dilakukan relevan dengan mengantisipasi masa depan,” kata Michael.
Michael mengatakan, pendidikan dan pelatihan vokasi (TVET) memiliki banyak fungsi. Orientasinya memang untuk bekerja dan mendukung proses bisnis, tetapi juga sama pentingnya untuk mendukung kewirausahaan.
”Dengan prrubahan dunia saat ini, TVET yang modern pun terus dikembangkan, termasuk kombinasi TVET tatap muka dan daring. Tentu saja, TVET harus didukung staf pendidikan berkualifikasi dan peralatan yang memadai,” kata Michael.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek Kiki Yuliati menambahkan, pendidikan vokasi tidak hanya memastikan lulusan bekerja, tetapi juga memiliki pendapatan layak. Karena itu, kompetensi yang diajarkan di sekolah/kampus harus yang dibutuhkan dan relevan dengan masa depan.
Melalui kebijakan Merdeka Belajar, transformasi pendidikan vokasi juga jadi prioritas. Pendidikan yang relevan dan dilakukan secara nyata atau project based learning dikembangkan untuk memperkuat kompetensi hardskills dan softskills pelajar di jalur vokasi.