Untuk menghasilkan tamatan SMK yang punya prospek cerah di era industri 4.0, pendidikan vokasi harus unik dan tidak dapat dilakukan oleh pendidikan menengah umum. Pendidikan vokasi harus mengembangkan keunikannya.
Oleh
SATRYO SOEMANTRI BRODJONEGORO
·4 menit baca
DIDIE SW
-
Tajuk rencana harian Kompas pada 21 April 2022 mengangkat kembali isu pendidikan vokasi yang harus diubah paradigmanya.
Dalam tajuk rencana tersebut dibahas beberapa aspek penyebab kegagalan pendidikan vokasi di Indonesia selama ini, di antaranya minimnya link and match sekolah dengan dunia kerja, minimnya sumber daya, baik input siswa maupun sarana prasarana serta guru, baik jumlah maupun kompetensinya. Disebutkan bahwa tingkat pengangguran terbuka dari tamatan sekolah menengah kejuruan (SMK) cukup tinggi, sekitar 11,13 persen.
Penulis selalu mengikuti perkembangan pendidikan vokasi sejak masih bertugas sebagai Dirjen Dikti meskipun bukan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya karena sangat terkait dengan program pendidikan tinggi yang harus dikembangkan agar memberi manfaat yang maksimal bagi masyarakat, negara, dan bangsa.
Jika kegagalan terus-menerus terjadi dengan isu yang sama, artinya upaya perbaikan yang dilakukan tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.
Isu klasik
Isu kegagalan pendidikan vokasi tersebut adalah isu klasik yang sudah sejak lama dikemukakan secara terus-menerus oleh sejumlah kalangan, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat secara umum.
Sampai detik ini tidak ada perubahan ke arah perbaikan sama sekali, artinya tingkat pengangguran terbuka tetap tinggi meskipun beberapa kebijakan telah ditempuh oleh pemerintah, termasuk penerbitan Inpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang revitalisasi SMK.
Jika kegagalan terus-menerus terjadi dengan isu yang sama, artinya upaya perbaikan yang dilakukan tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Pelbagai kebijakan yang dibuat untuk membenahi pendidikan vokasi sama sekali tidak berbasis bukti ilmiah.
Berikut ini adalah telaah terhadap isu penyebab kegagalan pendidikan vokasi.
Aspek minimnya link and match sekolah dengan dunia kerja seharusnya sudah sejak awal bisa diatasi, di mana pada dasarnya tidak akan pernah ada link and match sekolah dengan dunia kerja. Link and match hanya ada pada program magang industri ataupun dunia kerja atau on-the job training atau program apprenticeship.
Sekolah tidak mungkin bisa melakukan link and match karena tujuan sekolah adalah pemberdayaan peserta didik agar mampu mengikuti pelbagai pembelajaran dan pelatihan berikutnya. Istilah siap pakai tidak dapat diterapkan pada tamatan sekolah karena tamatan tersebut harus terlebih dahulu mengikuti pelatihan sesuai dengan jenis pekerjaannya.
Apakah sekolah mampu mengikuti perkembangan industri dan dunia kerja yang dinamis dan cepat? Pada kenyataannya tidak sehingga terjadi kesenjangan yang makin besar antara sekolah dan dunia kerja, artinya konsep link and match tidak akan tercapai. Kesenjangan tersebut mengakibatkan tamatan SMK tidak dapat diterima oleh industri ataupun dunia kerja.
DIDIE SW
Didie SW
Reformasi total
Kesenjangan sekolah dengan dunia kerja semakin diperparah oleh perkembangan industri 4.0 di mana berdasarkan hasil kajian Mc Kinsey Global Institute pada 2030 akan ada 23 juta pekerjaan atau okupasi yang digantikan proses otomasi.
Pendidikan vokasi ataupun SMK tidak boleh terjebak dengan mendidik siswa untuk menguasai jenis pekerjaan yang dapat digantikan oleh proses otomasi. Oleh karena itu, diperlukan reformasi total pendidikan vokasi yang harus mampu mendidik siswa dengan jenis pekerjaan atau okupasi yang tidak dapat digantikan oleh proses otomasi.
Salah satunya ialah jenis pekerjaan yang menuntut kreativitas dan inovasi yang tinggi, contohnya industri gim, jenis pekerjaan semacam ini tidak dapat diajarkan oleh guru secara konvensional.
Guru pendidikan vokasi harus berubah menjadi fasilitator untuk membangkitkan daya kreatif siswa sehingga mampu membuat gim. Pembelajaran SMK tidak lagi menggunakan pola kelas terjadwal diikuti oleh praktik yang juga terjadwal, tetapi berpola workshop di mana siswa diberi tugas berupa proyek yang harus diselesaikan dalam kurun waktu tertentu dengan menggunakan perangkat lunak ataupun perangkat keras yang tersedia.
Dalam hal ini, siswa belajar sambil praktik dengan jadwal dan metode yang fleksibel sesuai kemampuannya. Fleksibilitas merupakan kunci bagi siswa untuk mampu berkreasi dan berinovasi.
Guru pendidikan vokasi harus berubah menjadi fasilitator untuk membangkitkan daya kreatif siswa sehingga mampu membuat gim.
Aspek minimnya sumber daya, baik input siswa maupun sarana prasarana serta guru, dapat teratasi dengan pola pembelajaran fleksibel. Input siswa harus dilakukan secara selektif. Hanya mereka yang mampu berkreasi dan inovasi yang dapat diterima di SMK.
Tidak seperti saat ini, yakni SMK mencari siswa sehingga hampir semua pendaftar diterima untuk pemenuhan kuota siswa, apalagi jumlah SMK saat ini 14.464 dengan sekitar 5 juta siswa dengan 85 persen di antaranya berada di desa.
Input sarana prasarana harus dirancang sedemikian rupa sehingga setiap siswa memiliki akses sarana prasarana untuk mengerjakan proyek yang diberikan oleh guru fasilitator secara fleksibel. Input guru perlu direkrut secara selektif hanya mereka yang mampu membangkitkan kreativitas dan inovasi siswa dapat diterima sebagai fasilitator.
Untuk menghasilkan tamatan SMK yang mempunyai prospek cerah di era industri 4.0, pendidikan vokasi harus unik dan tidak dapat dilakukan oleh pendidikan menengah umum. Artinya, jumlah SMK harus jauh lebih sedikit daripada SMA. Dengan demikian para siswa dan guru fasilitatornya adalah pilihan terbaik, sedangkan sarana dan prasarananya akan sangat memadai.
Satryo Soemantri Brodjonegoro,Guru Besar Emeritus Teknik Mesin ITB, Dirjen Dikti (1999-2007).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brodjonegoro.