Sudah 38 tahun kartun setrip Timun setia menemani ”Kompas” edisi Minggu. Meski bernuansa menggelitik, kartun karya Rahmat Riyadi itu sarat dengan kritik. Karyanya ikut merekam perjalanan negeri lewat parodi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Sudah 38 tahun kartun setrip ”Timun” setia menemani Kompas edisi Minggu. Meski bernuansa menggelitik, kartun karya Rahmat Riyadi itu sarat dengan kritik. Karyanya ikut merekam perjalanan negeri lewat parodi.
Gambar seseorang yang berjalan kaki dengan wajah ceria menyambut pengunjung saat memasuki ruang pameran utama Bentara Budaya Jakarta, Kamis (16/2/2023) malam. Namun, di kolom terakhirnya, sosok tersebut melempar topeng sehingga memperlihatkan ekspresi wajah lara yang sesungguhnya. Gambar itu merupakan kartun ”Timun” yang terbit perdana di harian Kompas pada 27 Januari 1985.
”Manusia sering memakai topeng keceriaan, padahal sedang bersedih. Pura-pura kaya, padahal miskin, atau sebaliknya,” ujar Rahmat mengungkap pesan kritik dalam karyanya.
Kartun itu merupakan satu dari 400-an karya yang dipajang dalam pameran bertajuk Parodi Negeri Kami: 38 Tahun Kartun Strip Timun. Pameran ini digelar di Bentara Budaya Jakarta pada 16-23 Februari 2023.
Lewat kartun, Rahmat merespons berbagai persoalan di negeri ini, di antaranya korupsi, bencana, kriminalitas, problematika pendidikan, kemiskinan, kemacetan, dan pandemi Covid-19. Pesan kritiknya tajam, tetapi sisi humornya juga tak hilang.
”Kalau enggak ada humornya, berarti bukan kartun. Itu sama saja dengan pamflet. Kritik itu minimal bisa membuat orang tersenyum saat melihat kartunnya,” katanya.
Sebelum berkarya, Rahmat terlebih dahulu merangkum banyak isu dalam sepekan terakhir. Ia lalu memilih isu yang paling mencuri perhatian dan banyak dibahas. ”Ritual” ini biasanya dilakukan pada Kamis-Jumat. Batas waktu atau deadline dikirim ke Kompas setiap Sabtu.
Jika sedang mujur, kartun digambar dalam waktu satu jam. Namun, tak jarang ia harus memeras otak lebih keras sehingga proses berkarya memakan waktu lebih dari satu hari.
Biasanya, setelah selesai menggambar, kartunis berusia 75 tahun itu tidak langsung mengirimkan karyanya. Gambar itu ”dipendam” dalam beberapa jam. Ia pun menyibukkan diri dengan aktivitas lain.
Hal ini dilakukan untuk melepas ikatan dengan karya yang baru dibuatnya. Dengan begitu, ia bisa lebih obyektif saat mengoreksinya, baik dari sisi kritik maupun humor.
”Saya ingin menilainya sebagai orang awam. Kalau tidak lucu, berarti harus cari sesuatu yang lain. Perlu jeda waktu untuk menyingkirkan ego saat mengulasnya,” ucapnya.
Selain pandemi Covid-19, korupsi menjadi salah satu topik paling laris dalam karya-karya yang dipamerkan. Di salah satu kartun, Rahmat mengangkat masalah sosial di Jakarta.
Lewat kartun, Rahmat merespons berbagai persoalan di negeri ini, di antaranya korupsi, bencana, kriminalitas, problematika pendidikan, kemiskinan, kemacetan, dan pandemi Covid-19. Pesan kritiknya tajam, tetapi sisi humornya juga tak hilang.
Di kolom pertama, terdapat gambar keluarga gelandangan mengenakan pakaian compang-samping dengan raut wajah memelas. Kemudian, ada sosok lain yang mengungkapkan, ”Gelandangan pengemis menyerbu Jakarta”.
Pada kolom kedua, ekspresi gelandangan itu marah sembari berteriak. Narasi di atasnya bertuliskan, ”Memangnya hanya koruptor yang boleh menyerbu Jakarta”.
Problematika pendidikan pun tak luput dari kritik kartun Timun. Pada 2007, Rahmat membuat kartun yang menyinggung komersialisasi di dunia pendidikan.
Dua orang memakai toga memegang segepok uang sambil menginjak buku-buku. Di dalamnya ada kalimat bertuliskan, ”Orang Pinter Juga Manusia”.
”Persis seperti yang lagi ramai-ramai sekarang. Sepertinya sejarah akan selalu berulang,” ujarnya menyinggung praktik perjokian di kalangan akademisi yang ramai diperbincangkan dalam beberapa waktu terakhir.
Kartun Timun juga tak ketinggalan mengkritik wartawan. Ekspresi gembira menghiasi wajah sosok wartawan yang sedang memegang laptop, kamera, dan tape recorder atau perekam kaset. Gambar di tiga kolom pertama itu mengisahkan wartawan masa kini yang bisa mengirim berita dari mana saja dan kapan saja.
Akan tetapi, pada kolom terakhir, sosok wartawan itu berubah murung. Sebuah pertanyaan mengemuka, ”Moralitas, etika, punya?”.
General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri mengatakan, kartun Timun membuat orang yang melihatnya merasa senang sekaligus terledek. Bahkan, terkadang diajak untuk berpikir serius.
Ia mencontohkan salah satu karya Rahmat yang menggambarkan tiga orang berbaring di tempat tidur. Orang di sisi kiri dengan dua kuping tegak sebagai Batman. Di sampingnya tergolek Superman. Seorang lagi berkepala plontos dan bilang, ”Kami semua isoman”.
”Mereka adalah orang-orang yang menjadi pesakitan saat pandemi Covid-19 dan harus menjalani isolasi mandiri karena waktu itu berlaku pembatasan sosial berskala besar,” ujarnya.
Menurut Ilham, di tengah situasi pandemi yang menakutkan, kartun semacam itu membuat orang tertawa atau menertawakan keadaan. Merasakan sesuatu yang getir, tetapi sekaligus mengangkat sisi manusiawi. Tertawa di tengah isoman membantu untuk menjadi lebih segar sejenak.
”Itu fungsi kartun yang menarik. Tertawa membuat kita lebih rileks. Imun yang tergerogoti oleh Covid-19 mungkin akan meningkat,” ucapnya.
Fungsi pers
Dalam pameran yang dibuka oleh Redaktur Pelaksana Harian Kompas Adi Prinantyo itu juga dilakukan peluncuran buku yang memuat karya-karya Rahmat. Selain itu, ada rangkaian acara lokakarya menggambar kartun setrip dan diskusi mengenai tantangan kartun masa kini.
Adi berterima kasih kepada Rahmat atas kesetiaan kartun Timun menghiasi harian Kompas edisi Minggu selama 38 tahun. Menurut dia, kartun juga bisa mengambil makna fungsi pers untuk menghibur dan melakukan kontrol sosial.
”Bisa jadi malah lebih mengena sindiran, colekan, atau kritikan melalui kartun,” katanya.
Hampir empat dekade menghadirkan kartun Timun di Kompas, Rahmat belum pernah merasa bosan. Konsistensi itu digantungkan pada misi untuk tidak pasif memberi kritik kepada keadaan negeri yang sedang tidak baik-baik saja.