Gairah Seni Media di Bumi ”Rafflesia”
Seni media semakin bergairah seiring perkembangan medium dan teknologi. Festival Komunitas Seni Media (FKSM) 2022 menandai gairah itu di ”Bumi Rafflesia”.
Di bawah rintik hujan, Taman Budaya Bengkulu bermandikan cahaya pada Rabu (5/10/2022) malam. Ratusan penonton takjub dengan pertunjukan seni silang media. Pancaran sinar beraneka warna proyeksi video itu menandai gairah perkembangan seni media di ”Bumi Rafflesia”.
Hujan malam itu sedikit mengusik konsentrasi warga saat menyaksikan pembukaan Festival Komunitas Seni Media (FKSM) 2022 di halaman Taman Budaya Bengkulu. Sebagian penonton bergeser untuk berteduh, tetapi lebih banyak yang bertahan karena tak ingin kehilangan momentum melihat kolaborasi berbagai komunitas seni di Tanah Air.
”Permainan” cahaya penuh warna mengundang decak kagum penonton. Pembukaan FKSM 2022 menampilkan seni silang media berjudul Human is Alien karya Jonas Sestakresna-Ruang Asah Tukad Abu (Bali) berkolaborasi dengan seniman pertunjukan Bengkulu. Ada juga video mapping dari Uvisual (Bandung) bersama Sanggar Rentak Gading (Bengkulu).
Teater multimedia Human is Alien memadukan unsur proyeksi video, jelajah bunyi, instalasi bambu, dan gerak tubuh. Karya ini merupakan dialog mengenai ekologi dari sudut pandang xenoarchaeology dan spiritualitas Nusantara.
Baca juga: Pengembangan Seni Media Tetap Berakar pada Budaya Lokal
Seni pertunjukan itu beranjak dari pengalaman Jonas Sestakresna saat melihat sungai-sungai di Bali tercemar sampah plastik. Padahal, lingkungan sehat merupakan pendukung kehidupan manusia.
Selain itu, kepercayaan dan kebudayaan di Nusantara sangat menghormati dan melindungi air. ”Bahkan, air dianggap sebagai sumber kehidupan,” katanya.
Manusia yang semestinya menjaga air justru terus memproduksi sampah sehingga mengotori bumi. Manusia seperti alien bagi lingkungan sekitarnya.
Kondisi ini menjadi keresahan untuk diangkat ke panggung seni. Pertunjukan silang media dengan berbagai platform memperkaya kesan yang ditangkap penonton.
Di atas panggung instalasi bambu, seniman gerak tubuh memakai pakaian putih sebagai simbol gelombang air. Sementara proyeksi video dari dua proyektor menampilkan gambar permukaan air yang disertai suara tetesan air.
Pemanfaatan material ini menyadarkan kita bahwa keterbatasan bisa menjadi modal besar untuk berkreativitas dan berinovasi.
Obyek lainnya adalah gambar bintang, galaksi, magma, plankton, bentang alam, aksara, dewa-dewa, lubang hitam (blackhole), nuklir, dan sampah. Sementara suara perkusi, alat musik tiup, dan pembacaan mantra menambah keberagaman bunyi-bunyian dalam pertunjukan itu.
Jonas mengatakan, semula, instalasi berbahan bambu dipilih karena harganya relatif terjangkau. Namun, setelah dielaborasi lebih jauh, rumpun bambu juga berfungsi menyimpan air.
Kombinasi seni beragam rupa itu menjadi pengalaman perdana bagi sebagian penonton yang menyaksikannya secara langsung. ”Selama ini cuma pernah lihat di televisi. Ternyata, seni proyeksi video betul-betul keren,” ujar Erwinsyah (33), penonton asal Kota Bengkulu.
Tak ingin memori pengalaman itu hanya bertahan semalam, ia merekam pertunjukan tersebut menggunakan telepon pintarnya. Berkali-kali ia bergeser posisi agar pandangannya tidak tertutup penonton lain.
Menurut Erwinsyah, pelibatan seniman lokal dalam pertunjukan itu sangat penting untuk memanggungkan pelaku seni Bengkulu. Selain itu, juga bertukar pengetahuan, terutama tentang seni media yang terus berkembang.
Baca juga: Kolaborasi Seniman Memantik Kepedulian
Keterbatasan
Selain di luar ruangan, sejumlah karya juga ditampilkan di ruang pameran Taman Budaya Bengkulu. Keberagaman rupa menunjukkan perkembangan seni media yang semakin kaya.
Komunitas pegiat seni teknologi asal Surabaya, Jawa Timur, Waft Lab, menampilkan karya instalasi berjudul ”Wanmenben”. Instalasi terdiri dari ember, tutup panci, pipa plastik dan besi, serta penyintesis atau synthesizer.
Karya ini terinspirasi dari fenomena pengamen multiinstrumen yang memainkan sejumlah alat musik sekaligus. Dalam hal ini, alat musik didefinisikan sebagai segala benda yang menghasilkan bunyi, nada, dan irama.
Di tengah keterbatasan dana dan peralatan, banyak pengamen berinisiatif membuat sendiri alat musiknya dengan memanfaatkan barang-barang bekas. ”Pemanfaatan material ini menyadarkan kita bahwa keterbatasan bisa menjadi modal besar untuk berkreativitas dan berinovasi,” ujar seniman Waft Lab, Helmi Hardian.
FKSM 2022 dengan tema ”Medi(t)asi Ritus/Rute” tersebut digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bekerja sama dengan ARCOLABS, Taman Budaya Bengkulu, dan Asosiasi Seniman Bengkulu. Festival ini banyak mengangkat karya yang berkaitan dengan kearifan lokal dan fenomena sosial.
Komunitas Gubuak Kopi asal Solok, Sumatera Barat, misalnya, menampilkan karya berjudul Smells Like a Tiger. Dengan memakai media lampu, kain, kaca, rempah, dan tumbuhan, karya ini merespons bagaimana praktik-praktik tradisi telah memediasi pengetahuan kolektif yang diturunkan antargenerasi.
Sementara Sinau Kinetik Seni asal DI Yogyakarta menyuguhkan karya berjudul ”Kejayaan di Masa Lalu untuk Masa Kini dan yang Akan Datang”. Instalasi kinetik ini terinspirasi dari kapal-kapal yang berlabuh di Kerajaan Selebar di Bengkulu pada masa lampau.
FKSM tahun ini berlangsung pada 5-12 Oktober. Festival menampilkan karya dari 15 komunitas seni yang diseleksi kurator Sudjud Dartanto, Jeong Ok Jeon, dan Yudi Ahmad Tajudin.
Karya-karya itu berasal dari Asosiasi Seni Bengkulu (Bengkulu), BAJRA (Pasuruan, Jawa Timur), GaraGara Artist Initiative (DKI Jakarta), Jonas Sestakresna-Ruang Asah Tukad Abu & Seniman Pertunjukan Bengkulu (Bali & Bengkulu), Kecoak Timur & KAE (Gresik, Jawa Timur), Komunitas Gubuak Kopi (Solok, Sumatera Barat), Komunitas Lintas Seni (Bengkulu), dan Komunitas Seni Pertunjukan Bengkulu.
Baca juga: Ragam Ilustrasi Merekam Negeri
Selain itu, ada juga Prehistoric Soul (Bali), Prewangan Studio (Tuban, Jawa Timur), SARANA (Samarinda, Kalimantan Timur), Sinau Kinetik Seni (Yogyakarta), Studio DKV Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (DKI Jakarta), S Sophiyah Kosasih & Tilik Sarira Creative Process (Solo, Jawa Tengah), Tomy Herseta & Convert Textured (Bandung, Jawa Barat), serta Waft Lab (Surabaya, Jawa Timur).
Setiap karya digagas dengan ide, konsep, dan pembuatan yang berbeda dalam beragam medium. ”Media terus berkembang, ekspresi seni juga berkembang. Hal ini membuat seniman mempunyai banyak pilihan dalam berkarya,” ujar Yudi Ahmad Tajudin.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bengkulu Eri Yulian Hidayat mengatakan, status tuan rumah FKSM 2022 menjadi kesempatan bagi provinsi tersebut untuk memanggungkan dan memajukan budaya lokal lewat kolaborasi dengan berbagai pihak. Ia berharap kegiatan itu dimanfaatkan komunitas seni di Bengkulu untuk bertukar pengetahuan dan pengalaman dengan komunitas dari berbagai daerah.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan, pelaku seni media dengan berbagai mediumnya tidak lagi hanya berbicara dalam satu perspektif teknologi, tetapi juga membuka wacana baru mengenai keselarasan manusia berteknologi dengan dirinya sendiri, masyarakat, dan alam. ”Karya-karya ini sudah bukan lagi berfokus pada sebuah diskursus daerah saja, melainkan telah menjadi karya-karya yang juga merespons sebuah fenomena global,” ujarnya.
Seni media semakin bergairah seiring perkembangan medium dan teknologi. Buah kreativitasnya bukanlah sebatas perwujudan karya, melainkan juga mengandung beragam gagasan, dari relasi sosial dalam kehidupan sehari-hari hingga fenomena global, yang tetap mengakar pada kebudayaan lokal.