Kehancuran bangunan akibat gempa terutama disebabkan buruknya kualitas bangunan dan hal itu kerap terkait dengan kelalaian dalam pembangunan.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
DRAWING/ILHAM KHOIRI
Ahmad Arif, wartawan Kompas
Lebih dari 35.000 orang meninggal di Turki dan Suriah akibat gempa magnitudo 7,8 yang melanda pada Senin (6/2/2023), menjadikannya sebagai gempa paling mematikan ke-5 di abad ke-21. Besarnya korban disebabkan banyak bangunan yang hancur. Kehancuran bangunan itu tidak semata-mata karena besarnya kekuatan gempa dan episenternya yang dangkal, tetapi terutama disebabkan buruknya kualitas bangunan dan hal itu kerap terkait dengan korupsi dan kelalaian dalam pembangunan.
Turki sebenarnya telah memberlakukan undang-undang bangunan baru setelah gempa bumi Izmit tahun 1999 yang menewaskan lebih dari 17.000 orang. Undang-undang ini mensyaratkan konstruksi baru agar tahan gempa.
Namun, penegakan hukum yang longgar, membuat banyak bangunan tetap rentan ambruk akibat gempa. Padahal, para ahli geologi dan teknik di Turki, sudah sering memperingatkan hal ini.
Berulang kali gempa bumi terjadi, bahkan dengan kekuatan relatif kecil telah merobohkan banyak bangunan, tetapi sejauh ini belum ada yang diproses hukum.
Eyup Muhcu, Presiden Organisasi Arsitek Turki, kepada AP pada Sabtu (11/2/2023) mengatakan, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak bangunan di daerah yang dilanda gempa besar kali ini dibangun dengan bahan dan metode yang lebih rendah, dan sering kali tidak sesuai dengan standar pemerintah.
AFP/BULENT KILIC
Warga berada di sekitar kantong jenazah di area bangunan ambruk di Hatay, Turki, akibat gempa, Senin (13/2/2023). Gempa magnitudo 7,8 di perbatasan Turki dan Suriah pada 6 Februari 2023 lalu menewaskan 35.000 jiwa
Dia mengatakan itu termasuk banyak bangunan tua, tetapi juga gedung-gedung yang didirikan dalam beberapa tahun terakhir, hampir dua dekade setelah pemberlakuan standar bangunan baru. ”Kondisi bangunan di kawasan (terdampak) itu lemah dan tidak kokoh,” kata Muhcu.
Kebijakan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan yang mengeluarkan program amnesti terhadap banyak bangunan yang tidak sesuai standar pada 2018 dinilai turut memicu kerentanan terhadap gempa. Selama masa amnesti ini, Pemerintah Erdogan menyetujui 7,4 juta aplikasi, memberikan status hukum untuk bangunan yang telah melanggar serangkaian peraturan dasar perizinan, desain, dan keselamatan. Sekitar 75.000 bangunan yang terdampak gempa di Turki selatan ini termasuk yang mendapat amnesti ini,.
Kini, di tengah duka, pihak berwenang di Turki mulai menyelidiki 163 orang yang dianggap bertanggungjawab dengan runtuhnya bangunan setelah gempa. Menurut laporan kantor berita Turki, Anadolu, pada Senin (13/2/2023), sebanyak delapan orang telah dipenjara guna menunggu persidangan dan 48 orang berada dalam tahanan polisi.
Di antara mereka yang ditahan adalah Mehmet Ertan Akay, pembangun kompleks bangunan apartemen yang runtuh di Kota Gaziantep. Dia didakwa melakukan pembunuhan tak disengaja dan pelanggaran undang-undang konstruksi publik.
Menteri Kehakiman Turki Bekir Bozdag mengatakan, Kantor Kejaksaan di semua wilayah yang terkena dampak gempa sedang melakukan penyelidikan yudisial. Beberapa kontraktor diyakini bertanggung jawab atas sejumlah bangunan yang hancur karena gempa.
Menurut Bozdag, beberapa bangunan berusia 30 tahun, beberapa lebih tua, beberapa 20 tahun, dan beberapa dibangun baru-baru ini. ”Audit tunduk pada informasi ini dan jaksa penuntut umum kami melakukan penyelidikan untuk menentukan siapa yang terlibat dalam (kesalahan) konstruksi ini,” katanya.
Langkah baru Pemerintah Turki ini sepertinya dilakukan untuk meredam kemarahan dan kekecawaan publik terhadap lemahnya pengawasan terhadap kualitas bangunan mereka.
Proses hukum
Proses hukum atas jatuhnya korban gempa sebenarnya tidak hanya dilakukan di Turki. Kejaksaan Taiwan misalnya, pernah menyeret pengembang dan arsitek apartemen 17 lantai yang roboh saat gempa M 6,4 pada 6 Februari 2016. Jaksa menuduh pengembang mengabaikan standar bangunan sehingga berujung kematian puluhan orang.
Berulang kali gempa bumi terjadi, bahkan dengan kekuatan relatif kecil telah merobohkan banyak bangunan. Namun, sejauh ini belum ada yang diproses hukum. Padahal, sebagian yang hancur adalah sekolah dan rumah sakit sebagaimana terjadi dalam gempa bumi M 5,6 yang melanda Cianjur, Jawa Barat pada 21 November 2022.
KOMPAS/AGUIDO ADRI
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri PUPR Basuki Basuki Hadimuljono dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat mengunjungi Sekolah Dasar Negeri Sukamaju 1, Kampung Pangkalan, Desa Benjot, Kecamatan Cugenang, Cianjur, Kamis (8/12/2022). Sekolah itu merupakan sekolah yang paling parah terdampak gempa bermagnitudo 5,6.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan, ada 525 fasilitas pendidikan dan 14 fasilitas kesehatan yang rusak akibat gempa Cianjur yang lalu. Padahal, gempa ini terjadi saat masih jam sekolah sehingga menyebabkan banyaknya korban di kalangan anak-anak. Dari 280 korban jiwa yang telah diidentifikasi usianya, sebanyak 21 persen berumur di bawah 5 tahun dan 23 persen berusia di bawah 16 tahun.
Berbeda dengan rumah rakyat yang umumnya dibangun sendiri, sekolah merupakan bangunan publik, yang proses pembangunannya seharusnya didesain mengikuti standar aman gempa. Dengan kekuatan gempa seperti di Cianjur sekalipun ada kerusakan, struktur utama seharusnya bisa bertahan. Jika kemudian bangunan tersebut ambruk, perlu diselidiki penyebabnya, apakah ada unsur kelalaian dalam pembangunan atau perawatannya.
Selain audit terhadap gempa-gempa yang lalu, yang urgen dilakukan saat ini adalah audit terhadap kekuatan bangunan kita, terhadap ancaman gempa yang bisa terjadi kapan saja di masa depan.