Masalah yang tersembunyi di balik perilaku mendengkur dinilai perlu pelibatan kedokteran multidisiplin. Kebiasaan mendengkur bisa menjadi alarm bahaya gangguan pernapasan saat tidur.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perilaku mendengkur atau mengorok yang dilakukan masyarakat saat tidur bisa menjadi pertanda gangguan pernapasan yang serius. Bahaya yang ditimbulkan terjadi secara berantai dan mengancam kehidupan jangka panjang.
Secara ilmiah, suara dengkuran merupakan hasil vibrasi atau getaran pada saluran napas bagian atas. Pada dasarnya mendengkur bukan suatu penyakit, melainkan dapat memicu sejumlah masalah akibat kurang tidur.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia Laura Susanti Himawan mengatakan, mendengkur jadi berbahaya saat memasuki tahap sleep apnea atau berhenti bernapas saat tidur. Gangguan ini terjadi akibat udara tidak dapat masuk dari hidung atau mulut ke paru-paru.
”Penghentian ini dapat berlangsung sekitar 10 detik dan terjadi lebih dari 30 kali dalam satu jam,” ujar Laura dalam peluncuran bukunya yang berjudul Peran Dokter Gigi Atasi Gangguan Ngorok dan OSA di Jakarta, Sabtu (28/1/2023).
Para penderita sleep apnea tergolong kecil kemungkinannya untuk mengalami tidur REM. Pengabaian terhadap hal ini dapat menyebabkan masalah komplikasi kesehatan yang serius.
Gangguan pernapasan tingkat normal terjadi kurang dari lima kali per jam, tingkat ringan terjadi 5-14 kali per jam, tingkat sedang terjadi 15-30 kali per jam, dan tingkat parah terjadi lebih dari 30 kali dalam satu jam. Kejadian berulang ini yang mengakibatkan kualitas tidur seseorang menurun.
Adapun gejala awal sleep apnea di antaranya mendengkur keras dan berat, tidak merasa bugar saat bangun, mengantuk berlebihan, bangun tiba-tiba disertai tersedak, mulut kering saat bangun, dan sakit kepala pada pagi hari. Selain itu, kesulitan konsentrasi, sering lupa, suasana perasaan negatif, tekanan darah tinggi, penurunan libido, dan kualitas tidur yang buruk.
Ada beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan potensi sleep apnea, seperti kelainan bentuk anatomi saluran napas, obesitas, usia, jenis kelamin. Untuk obesitas, kata Laura, dua hingga tiga dari empat penderita sleep apnea memiliki kelebihan berat badan 15 persen dari berat badan ideal. Sementara itu, pria berisiko menderita sleep apnea 2-3 kali lebih besar ketimbang perempuan.
”Seiring bertambahnya usia, semakin besar pula risiko mengidap sleep apnea, khususnya bagi usia 60-70 tahun,” kata Laura.
Wakil Ketua Perkumpulan Ilmu Kedokteran Tidur Indonesia (Perdoktin) Fauziah Fardizza menuturkan, tidur memberi waktu bagi tubuh dan pikiran manusia untuk mengisi kembali energinya. Kualitas tidur akan memengaruhi konsentrasi, memproses ingatan, dan kesehatan seseorang.
Gangguan pada saat tidur dapat meningkatkan risiko kesehatan, seperti depresi, kejang, tekanan darah tinggi, dan gangguan imunitas. Oleh karena itu, kuantitas (jumlah waktu) tidur dan kualitas harus dipenuhi sesuai kebutuhan usia setiap orang.
”Ada dua siklus tidur, non-REM (non rapid eye movement) dan REM (rapid eye movement). Pada orang dewasa, biasanya kebutuhan non-REM sebesar 80 persen waktu tidur dan REM 20 persen,” kata Fauziah.
Tahap NonREM terdiri dari quietsleep (penurunan aktivitas otot) yang berlangsung 5-10 menit sejak mulai tidur, light sleep (penurunan pola bernapas dan detak jantung) yang berlangsung 10-25 menit setelah tahap sebelumnya, dan deep sleep–tahapan penting untuk memperbarui dan memperbaiki diri. Tahapan selanjutnya ialah tidur REM yang terjadi saat seseorang bermimpi karena otak bekerja lebih aktif. Tahap non-REM dan REM terjadi secara berulang pada saat tidur.
Para penderita sleep apnea tergolong kecil kemungkinannya untuk mengalami tidur REM. Pengabaian terhadap hal ini dapat menyebabkan masalah komplikasi kesehatan yang serius.
Lebih jauh, masalah kardiovaskular, seperti serangan jantung, gagal jantung, stroke, dan kematian mendadak, akan mengintai. Selain itu, kondisi tubuh mengantuk dan lelah juga dapat meningkatkan risiko kecelakaan saat berkendara atau di tempat kerja.
Diagnosis
Menurut Laura, diagnosis sleepapnea tergolong tidak mudah karena penyebabnya beragam dan penderitanya cenderung sulit mendeskripsikan apa dialami. Walakin, rangkaian diagnosisnya mencakup pemeriksaan fisik dan tes polisomnografi (PSG). Tes PSG hingga kini masih menjadi alat diagnosis terbaik meski prosesnya memerlukan rawat inap untuk memeriksa aktivitas selama tidur.
Rektor Universitas Respati Indonesia dan pakar gerontologi, Tri Budi Wahyuni Rahardjo, mengutarakan, masyarakat cenderung abai terhadap bahaya dari perilaku mendengkur. Hal ini yang menyebabkan 80 persen dari penderita sleep apnea tidak terdiagnosis.
Persoalan mendengkur merupakan permasalahan multidisiplin yang membutuhkan keterlibatan kedokteran tidur, spesialis paru, spesialis saraf, spesialis telinga hidung tenggorokan (THT), dan spesialis jiwa. Penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk meningkatkan peran dokter umum dan dokter spesialis dalam kemampuan diagnosis sleep apnea berdasarkan perilaku mendengkur.
”Kehadiran buku ilmiah mengenai perilaku mendengkur dan potensi sleep apnea membuka ruang penelitian keilmuan lain untuk turut serta. Ini memperluas khazanah pengetahuan dan perluasan informasi bagi masyarakat,” kata Tri.