Mendengkur Bisa Jadi Tanda Gangguan Pernapasan Saat Tidur
Mendengkur jangan diartikan sebagai kondisi tidur yang nyenyak. Kebiasaan mendengkur justru bisa menjadi tanda adanya gangguan pernapasan saat tidur.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat yang memiliki kebiasaan mendengkur saat tidur diharapkan waspada akan adanya gangguan pernapasan. Pasalnya, mendengkur bisa menjadi tanda awal terjadinya gangguan henti napas saat tidur.
Ketua Kelompok Kerja Sleep Related Breathing Disorder Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PP PDPI) Andika Chandra Putra mengatakan, gangguan henti napas saat tidur atau obstructive sleep apnea (OSA) merupakan kejadian berhentinya napas lebih dari 10 detik yang terjadi secara berulang sepanjang seseorang tidur. Terdapat sejumlah tanda dari gangguan tersebut, salah satunya mendengkur.
”Pada kondisi tertentu, mendengkur atau ngorok dapat dikatakan normal. Namun, jika mendengkur yang dialami frekuensinya tinggi sehingga sampai menyebabkan hipoksia atau kadar oksigen dalam tubuh menurun, itu perlu diwaspadai. Apalagi jika muncul gejala atau tanda lain dari OSA,” katanya dalam acara terkait peringatan Hari Tidur Sedunia di Jakarta, Jumat (18/3/2022).
Gejala lain dari gangguan henti napas saat tidur adalah mengantuk berlebihan saat siang hari, sakit kepala pada pagi hari, daya ingat berkurang, sulit konsentrasi, berat badan meningkat, mudah lelah, mulut terasa kering, sakit tenggorokan, sulit menurunkan berat badan, serta merasa depresi dan cemas berat. Selain itu, gejala lainnya antara lain napas melalui mulut ketika tidur, sulit bernapas lewat hidung, merasa seperti tercekik ketika bangun, dan hipertensi.
Andika menuturkan, apabila seseorang mengalami gejala-gejala tersebut, sebaiknya segera melakukan pemeriksaan sebagai langkah penapisan serta deteksi dini dari OSA. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pemeriksaan sederhana berupa wawancara untuk menilai latensi tidur atau lamanya tidur, riwayat terbangun saat tidur, serta efisiensi tidur.
Selain itu, pemeriksaan lain juga bisa dilakukan melalui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti polisomnografi. Pemeriksaan penunjang polisomnografi dilakukan dengan cara merekam aktivitas gelombang otak, merekam jantung, mengukur gerakan bola mata, dan mengukur aktivitas otot. Melalui pemeriksaan ini, gangguan tidur terhadap kondisi tidur normal dapat dikenali sehingga dapat membantu dokter untuk mendiagnosis gangguan yang terjadi.
Jika mendengkur yang dialami frekuensinya tinggi sehingga sampai menyebabkan hipoksia atau kadar oksigen dalam tubuh menurun, itu perlu diwaspadai. Apalagi jika muncul gejala atau tanda lain dari OSA.
Ketua Umum PP PDPI Agus Dwi Susanto menyampaikan, deteksi dini gangguan OSA diperlukan untuk mencegah dampak jangka panjang yang bisa lebih buruk. Gangguan henti napas ini dapat berpengaruh pada kondisi tidur serta kondisi obstruksi.
Pada kondisi tidur, orang yang mengalami gangguan OSA cenderung memiliki kualitas tidur yang buruk. Orang tersebut juga jarang mendapatkan fase tidur mendalam sebab sering terbangun akibat gangguan napas yang dialami. Kondisi tidur yang terganggu ini juga akan berpengaruh pada performa harian. Biasanya, penderita OSA mudah mengantuk. Tingkat kecelakaan di jalan juga tinggi pada penderita OSA.
Agus menambahkan, selain pengaruh pada kondisi tidur, orang dengan gangguan OSA juga mengalami gangguan obstruksi. Ketika gangguan henti napas terjadi, kadar oksigen dalam tidur akan berkurang ketika tidur sehingga terjadi kondisi hipoksia intermiten atau kadar oksigen yang rendah yang terjadi berulang.
Jika tidak segera diatasi, gangguan ini dapat menimbulkan berbagai risiko kesehatan lain, seperti hipertensi, diabetes melitus, jantung, dan stroke. Karena itu, apabila pasien dengan penyakit kronis tersebut tidak juga membaik meski sudah mengonsumsi obat, pemeriksaan gangguan OSA perlu dilakukan. Gangguan OSA dapat menyebabkan penyakit tersebut menjadi sulit terkontrol.
”Sejumlah kasus juga ditemukan adanya pasien jantung dengan OSA yang meninggal akibat serangan jantung saat sedang tidur. Itu terjadi karena terjadi henti napas saat tidur yang menyebabkan kadar oksigen rendah sehingga aliran oksigen ke jantung menjadi kurang,” ucap Agus.
Faktor risiko
Andika menuturkan, kewaspadaan akan adanya gangguan OSA harus ditingkatkan pada kelompok orang dengan risiko tinggi. Faktor risiko orang yang mengalami OSA antara lain bentuk kepala dan leher yang membuat jalan napas lebih kecil dari bentuk normal, adanya amandel, bentuk lidah yang besar, obesitas, serta relaksasi otot tenggorokan dan lidah yang berlebihan saat tidur.
Kesadaran untuk melakukan pemeriksaan pun amat penting pada orang yang memiliki faktor risiko tersebut. Masyarakat perlu memahami pentingnya mengenali secara dini gangguan tidur yang dialami dan segera menemui dokter ahli untuk penanganan lebih lanjut.
”Kami dari PDPI pun mendorong agar setiap sarana kesehatan menyediakan klinik atau laboratorium pemeriksaan gangguan tidur, seperti pemeriksaan polisomnografi. Upaya preventif juga perlu dengan melakukan pendekatan pada JKN agar pemeriksaan bisa didapatkan oleh masyarakat luas,” ucap Andika.