Wapres: Perlu Edukasi dengan Pendekatan Agama Cegah Pernikahan Anak
Pencegahan pernikahan anak tidak cukup hanya dengan pendekatan yuridis melalui undang-undang. Edukasi dengan pendekatan agama pun dinilai penting untuk cegah pernikahan anak dilakukan.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus berupaya mencegah pernikahan anak. Hal itu dilakukan karena banyaknya potensi bahaya, mulai dari tengkes atau stunting, kematian ibu, dan terciptanya keluarga miskin baru. Selain dari aspek yuridis atau hukum, diperlukan juga edukasi dengan pendekatan agama kepada masyarakat untuk mencegah pernikahan anak.
”Memang ada pikiran di masyarakat bahwa agama tidak melarang (pernikahan anak). Oleh karena itu, kita harus bisa memberikan edukasi kepada masyarakat (bahwa) walaupun tidak dilarang oleh agama, tetapi agama melarang sesuatu yang membahayakan. (Agama) menyuruh kita melakukan hal yang maslahat (kebaikan),” kata Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam keterangan persnya seusai membuka acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pembangunan Pertanian Tahun 2023, di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Menurut Wapres Amin, melakukan kebaikan yang diajarkan agama salah satunya dengan menghindari tindakan yang akan menyebabkan kemudaratan di masa depan. Artinya, dengan menghindari bahaya yang akan terjadi akibat menikahkan anak di usia muda, seorang individu telah melaksanakan kebaikan yang diajarkan di agama.
”Pernikahan di bawah umur itu tidak maslahat, tidak baik. Maka itu kita harus mengedukasi masyarakat supaya masyarakat itu mengambil yang terbaik. (Hal) yang terbaik tidak menikahkan (di masa anak-anak), ini menurut pendekatan keagamaan. (Hal ini) karena memang akibatnya itu tidak baik, ada stunting, ada kemiskinan, dan bahkan juga kematian anak, kematian ibu, itu banyak,” ujarnya.
Di sisi lain, Wapres juga memaparkan tentang upaya-upaya pemerintah selama ini dari aspek hukum untuk mencegah terjadinya fenomena pernikahan anak di bawah umur. “Sebenarnya pemerintah sudah berusaha, negara berusaha supaya tidak terjadi perkawinan anak di bawah umur. (Oleh) karena itu ada undang-undangnya,” kata Wapres Amin.
Dengan demikian, Wapres Amin menuturkan, melalui dua pendekatan, yakni hukum dan agama, diharapkan praktik pernikahan anak di masyarakat dapat dieliminasi. ”Jadi, undang-undangnya sudah ada, maka juga edukasi, terutama pendekatan keagamaannya, diperkuat agar masyarakat tahu betul, paham. Bahwa larangan itu adalah untuk membawa kebaikannya karena akibat-akibatnya seperti itu,” ujarnya.
Secara terpisah, ketika ditanya tentang dispensasi pernikahan anak, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pernikahan anak berkorelasi dengan tengkes. Kepala Negara pun menegaskan bahwa persiapan lahir dan batin sebelum hamil menjadi sangat penting.
”Itu masalah stunting, itu juga masalah mengenai bagaimana kita menyiapkan pra-hamil dan saat hamil. Penting sehingga yang namanya pernikahan itu harus dilihat mereka yang mau nikah itu benar-benar siap, lahir dan batin,” ujar Presiden Jokowi ketika memberikan keterangan pers usai membuka Rapat Kerja Nasional Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di auditorium kantor BKKBN Pusat, Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Penyelesaian saat anak di kandungan
Presiden Jokowi menambahkan bahwa pengobatan tengkes akan sulit jika terjadi setelah masa kehamilan atau ketika anak telah lahir. ”Jangan sampai mau nikah ada anemia, kurang darah, itu nanti waktu hamil kalau ini enggak diselesaikan, anaknya jadi stunting. Menyelesaikan setelah hamil itu sulit, jadi akan lebih mudah diselesaikan ketika anak masih di dalam kandungan,” tambah Presiden Jokowi.
Selama delapan tahun terakhir, angka prevalensi tengkes turun drastis dari 37 persen menjadi 21,6 persen pada 2022. Namun, upaya percepatan penurunan tengkes perlu terus didongkrak agar target prevalensi stunting menjadi 14 persen pada 2024 bisa tercapai.
Senada, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo juga menegaskan bahwa pernikahan anak meningkatkan peluang tengkes. ”Perempuan yang usianya belum 20 tahun, badannya masih tambah panjang, tulangnya tambah keras. Tetapi, begitu dia mengandung anak di dalamnya, ada bayi di dalamnya, maka kalsiumnya diambil untuk bayinya sehingga tulang yang harusnya tambah panjang enggak tambah panjang. Ibunya cenderung pendek dan tulang keropos,” tambah Hasto.
“Jangan sampai mau nikah ada anemia, kurang darah, itu nanti waktu hamil kalau ini enggak diselesaikan, anaknya jadi stunting. Menyelesaikan setelah hamil itu sulit, jadi akan lebih mudah diselesaikan ketika anak masih di dalam kandungan.”
Selain itu, perempuan juga harus memiliki ukuran diameter panggul 10 sentimeter untuk bisa melahirkan normal. ”Kalau usia 15 tahun, saya yakin diameternya belum 10 sentimeter. Padahal, bayi diciptakan kepala oleh Tuhan diameternya 9,9; 9,8. Jadi, begitu dia 15, 16 tahun hamil, wah, bahaya sekali. Kalau di kota cepat di-caesar, dioperasi, tetapi kalau di pedalaman yang jauh, kan. Maka, angka kematian ibu kita masih tinggi,” tambahnya.
Pernikahan anak juga berkontribusi pada angka kematian bayi yang masih tinggi. Kawin usia muda juga berisiko pada kanker mulut rahim. Posisi mulut rahim remaja perempuan juga masih menghadap keluar sehingga berisiko menyebabkan kanker jika berhubungan suami istri di usia dini.
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak I Gusti Bintang Ayu Darmawati, Rabu (18/1/2023) di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, menuturkan keseriusan pemerintah memerhatikan banyaknya pernikahan anak. Rapat koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan baik kementerian/lembaga, kepala daerah, serta lembaga sipil masyarakat dan badan peradilan agama (badilag) akan digelar untuk mencegah pernikahan anak.
Sejauh ini, permohonan dispensasi nikah marak diajukan di berbagai wilayah. Sepanjang 2022, misalnya, terdapat 191 permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Ponorogo. Rentang usia pemohon terbanyak adalah 15 sampai 18 tahun.