Pernikahan Usia Dini Meningkat, Kesehatan Reproduksi Anak Perempuan Dipertaruhkan
Pandemi turut berdampak pada peningkatan angka pernikahan dini. Kondisi ini harus segera disikapi untuk melindungi melindungi masa depan anak, termasuk anak perempuan.
JAKARTA, KOMPAS—Selama pandemi Covid-19, pernikahan usia anak mengalami peningkatan, terutama di daerah pedesaan. Hal ini perlu menjadi perhatian bersama karena dapat mengancam kesehatan reproduksi anak perempuan.
Maka dari itu, Hari Anak Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 11 Oktober menjadi momentum untuk mencegah pernikahan usia anak. Dari data yang dihimpun oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), angka pernikahan dini di Jawa Tengah mengalami peningkatan.
Setidaknya ada lima kabupaten dengan angka pernikahan dini yang meningkat, yakni Kabupaten Jepara (146 pernikahan pada 2019 menjadi 234 pernikahan pada 2020) dan Kabupaten Kendal (125 pernikahan pada 2019 menjadi 179 pernikahan pada 2020).
Angka pernikahan dini di beberapa daerah lain juga meningkat meliputi Kabupaten Rembang (dari 70 pernikahan menjadi 150 pernikahan), Kabupaten Blora (dari 100 pernikahan menjadi 203 pernikahan), serta Kabupaten Demak (dari 63 pernikahan menjadi 157 pernikahan).
Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Eny Gustina, saat dihubungi di Jakarta, Senin (11/10/2021) menilai, jumlah pernikahan pada anak yang meningkat bisa disebabkan pandemi Covid-19. Banyak faktor yang bisa memengaruhi antara lain kondisi ekonomi keluarga, putus sekolah, serta berkurangnya kegiatan di sekolah.
“Hal ini perlu segera diantisipasi. Pernikahan dini bisa menyebabkan kejadian kehamilan yang tidak diharapkan menjadi lebih tinggi. Padahal, kehamilan usia anak bisa berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi dari anak perempuan,” tuturnya.
Kehamilan berisiko
Data BKKBN menunjukkan, persentase kehamilan yang tidak diinginkan di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 20,3 persen, sementara target pemerintah seharusnya 17,5 persen. Kehamilan pada usia anak berisiko menyebabkan proses persalinan menjadi sulit.
Eny mengatakan, perempuan berusia di bawah 20 tahun memiliki ukuran rongga panggul yang sempit. Kondisi rahim pun belum matang. Hal ini bisa berbahaya dalam proses persalinan.
Selain meningkatkan risiko terjadi pendarahan yang dapat berakibat pada kematian ibu, risiko gangguan pada bayi juga besar. Perempuan usia anak yang melakukan hubungan seksual pun rentan mengalami kanker serviks atau leher rahim di kemudian hari.
Baca juga Rentetan Panjang Dampak Perkawinan Anak
Karena itu, edukasi mengenai kesehatan reproduksi harus terus ditingkatkan, termasuk kesehatan reproduksi pada anak perempuan. Berbagai risiko yang bisa terjadi perlu diketahui sehingga upaya pencegahan dapat dilakukan secara optimal.
Pernikahan dini bisa menyebabkan kejadian kehamilan yang tidak diharapkan menjadi lebih tinggi. Padahal, kehamilan usia anak bisa berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi dari anak perempuan.
Sebagai upaya strategis, Eny menuturkan, pemerintah melalui BKKBN dalam program percepatan penurunan stunting atau tengkes merencanakan program persiapan calon pengantin. Pendampingan akan diberikan secara menyeluruh pada calon pengantin di Indonesia dengan melibatkan kader, PKK, dan bidan.
“Jadi, sebelum menikah calon pengantin akan dibekali dengan persiapan pernikahan. Pemeriksaan juga akan dilakukan, terutama pada perempuan. Itu seperti pemeriksaan lingkar lengan atas, berat badan, tinggi badan, dan status anemia,” ucapnya.
Pemeriksaan lingkar lengan atas dimaksudkan untuk mengetahui risiko terjadinya kekurangan energi kronik (KEK).Perempuan dikatakan mengalami KEK apabila lingkar lengan atasnya kurang dari 23,5 sentimeter (cm).
Selain itu, perempuan yang siap hamil harus memiliki indeks massa tubuh yang ideal. Indeks ini bisa diukur dari berat badan dan tinggi badan. Perempuan dengan indeks massa tubuh yang kurang maupun lebih dapat berpengaruh pada kualitas kehamilan.
Begitu pula dengan anemia. Perempuan dengan anemia rentan mengalami gangguan saat kehamilan dan persalinan. Anak yang dikandung pun berisiko mengalami berbagai gangguan kesehatan, termasuk stunting atau gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis.
Sertifikasi layak hamil
Eny mengatakan, pendampingan tersebut kini baru berjalan di 10 provinsi sebagai uji coba. Mulai 2022, pendampingan tersebut rencananya akan berjalan di seluruh provinsi dengan melibatkan 200 tim pendamping, yang terdiri dari kader, PKK, dan bidan.
“Nantinya, calon pengantin yang selesai menjalani pendampingan dan memenuhi syarat dalam pemeriksaan akan mendapatkan sertifikasi layak hamil. Diharapkan, persoalan kehamilan yang tidak direncanakan bisa ditekan,” tuturnya.
Baca juga Mencegah Kehamilan yang Memupus Cita-cita Remaja
Selain itu, Eny menambahkan, edukasi terkait kesehatan reproduksi pada anak dan remaja, termasuk remaja perempuan perlu lebih masif. Berbagai modul terkait edukasi kesehatan reproduksi sudah diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan.Namun, implementasi dari edukasi ini masih kurang.
Belum dimasukkannya edukasi kesehatan reproduksi dalam kurikulum di sekolah membuat penyampaiannya menjadi tidak optimal. Edukasi yang diberikan bergantung pada komitmen dari sekolah dan guru. Karena itu, diharapkan edukasi kesehatan reproduksi bisa masuk dalam kurikulum wajib di sekolah, mulai dari tingkat SD, SMP, dan SMA.
Kekerasan pada anak perempuan
Secara terpisah, Direktur Nasional dan CEO Wahana Visi Indonesia Angelina Theodora, dalam acara peringatan Hari Anak Perempuan Internasional, mengatakan, kekerasan seksual pada anak perempuan juga harus menjadi perhatian penting bagi masyarakat. Selain kekerasan yang dialami secara langsung, kekerasan digital juga menjadi ancaman.
“Mengupayakan anak perempuan bebas dari kekerasan fisik, seksual, pernikahan dini belum sepenuhnya berhasil. Kiini ditambah lagi ancaman kekerasan di dunia digital,” ucap dia.
Berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2018, anak perempuan mengalami kekerasan seksual lebih banyak dibanding anak laki-laki. Sebanyak satu dari 11 anak perempuan mengalami kekerasan seksual.Sementara pada anak laki-laki tercatat ada satu dari 17 anak laki-laki mengalami kekerasan seksual.
Baca juga Lima Tantangan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ciput Eka Purwianti menuturkan, keterbatasan sumber daya manusia, terutama ketersediaan kader dan aktivis di tingkat desa maupun kelurahan menjadi kendala dalam penyampaian edukasi pada masyarakat. Saat ini baru ada 10 persen dari 80.000 desa atau kelurahan yang memiliki kader atau aktivis perlindungan anak yang terlatih.
“Pemerintah akan berfokus pada program desa ramah perempuan dan peduli anak. Program ini mendorong percepatan terwujudnya kota/kabupaten layak anak untuk mendorong keterlibatan semua pihak memenuhi hak-hak anak dan memberikan perlindungan khusus,” tutur Ciput.