Media Diminta Jangan Lagi Gunakan Kata ”Pembantu” atau ”Asisten”
Media diharapkan ikut menyosialisasikan pentingnya Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT). Media juga perlu meluruskan berbagai pandangan negatif terhadap RUU PPRT.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga diperlukan untuk melindungi pekerja rumah tangga dari berbagai kekerasan dan bahkan perbudakan modern yang hingga kini masih terus terjadi. Kehadiran undang-undang tersebut mendesak guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap pekerja rumah tangga dan pemberi kerja.
Karena itulah, media diharapkan ikut menyosialisasikan pentingnya Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT). Media juga perlu meluruskan berbagai pandangan negatif terhadap Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang dinilai sejumlah orang hanya untuk kepentingan PRT semata.
Tak hanya itu, media juga diharapkan menghentikan penggunaan istilah pembantu ataupun asisten rumah tangga. ”Saya mohon teman-teman media stop menulis PRT sebagai asisten rumah tangga. Kelihatannya indah di kuping, tetapi enggak berdampak secara ekonomi politik karena terminologi asistennya tidak ada cantolan hukumnya,” ujar Ketua Koalisi Sipil untuk UU PPRT Eva K Sundari, Rabu (25/1/2023), saat berdialog dengan Perempuan Pemimpin Redaksi dan Perempuan Jurnalis secara daring.
Pertemuan ini juga dihadiri Pemimpin Redaksi CNN Indonesia Titin Rosmasari dan Redaktur Senior Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy serta Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini dan para PRT serta aktivis yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk UU PPRT.
Selain meminta dukungan media untuk ikut mendorong dan mengawal proses RUU PPRT di DPR, baik Eva maupun Lita menjelaskan, RUU PPRT mengatur hak dan kewajiban kedua pihak, baik PRT maupun pemberi kerja.
RUU ini mencegah segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan terhadap pekerja rumah tangga, yang hingga kini terus terjadi.
Terkait dengan RUU PPRT, Eva dan Lita menegaskan, selain memberikan kepastian hukum pekerja rumah tangga dan pemberi kerja, UU PPRT akan mencegah segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan terhadap PRT; mengatur hubungan antara PRT dan pemberi kerja dengan menjunjung nilai kekeluargaan dan gotong royong.
DPR didorong segera mempercepat pembahasan dan pengesahannya sebagai UU sebelum periode DPR saat ini berakhir.
RUU PRT juga mengatur bagaimana pentingnya PRT mendapat jaminan sosial baik kesehatan maupun ketenagakerjaan. Tak hanya itu, RUU PPRT mengatur PRT harus meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan.
Eva menjelaskan, UU PPRT hanya mengatur PRT yang memang bekerja untuk mencari nafkah. Jadi, tidak RUU ini tidak mengatur orang yang ikut saudara, keluarga, kerabat, atau ngenger dan sejenisnya, termasuk santri dan sejenisnya, juga abdi dalem dan sejenisnya.
Momentum disahkan
Perjuangan untuk mewujudkan UU PPRT sudah berjalan lama, hingga 19 tahun. Tahun 2023 menjadi momentum untuk mendorong disahkannya UU PPRT yang sudah lama macet proses legislasinya.
DPR didorong segera mempercepat pembahasan dan pengesahannya sebagai UU sebelum periode DPR saat ini berakhir. Jika tidak disahkan DPR pada periode ini, proses RUU PPRT akan mulai dari nol lagi. Hal ini karena DPR periode baru tidak punya kewajiban melanjutkannya.
Karena itulah, berbagai aksi terus dilakukan untuk mengawal proses pembahasan dan pengesahan RUU PPRT menjadi UU. Apalagi pada 15 Februari 2023 merupakan momentum peringatan Hari PRT Nasional.
Selain menggelar aksi di Istana yang akhirnya membuat Presiden Jokowi memberikan dukungan penuh atas RUU PPRT, hingga kini Koalisi Sipil untuk PPRT terus melanjutkan aksi di DPR agar RUU PPRT segera disahkan.
Ninuk Pambudy menyatakan prihatin atas berbagai kekerasan yang dialami oleh PRT. Pada kesempatan tersebut, Ninuk juga meminta agar publik diberi penjelasan alasan RUU PPRT harus diatur secara khusus atau menjadi lex specialis.
Dia berharap komunikasi ke publik juga harus terus dibangun. Hal itu termasuk penjelasan lengkap kepada publik ihwal hak dan kewajiban PRT dan pemberi kerja. Hal ini agar publik semakin tahu soal urgensi dari UU PPRT tersebut.
Baik Lita maupun Eva menjelaskan soal hak dan kewajiban pemberi kerja juga diatur lengkap dalam RUU PPRT. Lita juga menambahkan bahwa draf dalam RUU PPRT sudah mengakomodasi semua kepentingan baik PRT maupun pemberi kerja.