Lembaga Vokasi Dilibatkan untuk Pencegahan Kekerasan Seksual
Pelibatan lembaga vokasi melengkapi upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi. Mahasiswa dan seluruh warga kampus diharapkan bisa belajar dan bekerja dengan aman.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi dilibatkan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Salah satu caranya adalah dengan mengarusutamakan kesetaraan jender, disabilitas, dan inklusi sosial atau GEDSI.
Pengarusutamaan GEDSI di lembaga vokasi dapat mengacu pada buku panduan yang diluncurkan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada Selasa (24/1/2023). Panduan berjudul Pengarusutamaan Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (Gedsi) dan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Vokasi ini bagian dari program Skills for Prosperity (SfP) Indonesia yang didanai Pemerintah Inggris.
Buku panduan ini disusun ILO bersama empat institusi selama tiga tahun. Keempatnya adalah Politeknik Negeri Batam (Kepulauan Riau), Politeknik Maritim Negeri Indonesia (Jawa Tengah), Politeknik Negeri Manado (Sulawesi Utara), dan Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya (Jawa Timur).
Promosi GEDSI diharapkan dapat menumbuhkan pemahaman warga perguruan tinggi (PT) tentang kesetaraan jender. Kekerasan seksual di lingkup PT pun diharapkan bisa dicegah atau ditangani dengan baik, misalnya dengan menjamin perlindungan dan rehabilitasi bagi korban.
Direktur ILO untuk Indonesia dan Timor Leste Michiko Miyamoto mengatakan, pemahaman tentang kesetaraan jender serta pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) mesti disosialisasikan dari sekolah. Dengan demikian, warga kampus dapat belajar tanpa takut akan kekerasan seksual. Pemahaman ini juga mendorong lingkungan kerja yang aman.
”Kami harap ini mendorong pemuda dan institusi pendidikan tinggi untuk menjadi bagian dari aksi global dan nasional, yaitu menciptakan dunia kerja di Indonesia yang bebas dari kekerasan,” kata Miyamoto di Jakarta.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins menambahkan, promosi kesetaraan jender hingga penanganan kekerasan seksual dapat memastikan akses pendidikan bagi perempuan dan anak.
Ketimpangan relasi kuasa
Kepala Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia Valerie Juliand mengatakan, kekerasan seksual berhubungan dengan ketimpangan relasi kuasa. Hal ini membuat sebagian korban enggan melapor. Di sisi lain, ada potensi korban menerima stigma negatif dan malah disalahkan atas kekerasan seksual yang dialami. Proses hukum yang panjang juga menjadi salah satu alasan korban enggan melapor.
Direktur Akademik Pendidikan Tinggi Vokasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Benny Bandanadjaja mengatakan, jumlah kasus kekerasan seksual di PT cukup banyak. Namun, tidak semua kasus tercatat. Ini berdasarkan survei tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Kemendikbudristek.
Kekerasan seksual berhubungan dengan ketimpangan relasi kuasa.
”Menurut survei tim PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) Kemendikbudristek, kasus di perguruan tinggi sangat banyak, tapi tidak muncul karena tidak ada prosedur yang jelas dari kampus. Belum lagi, ada rasa malu (dari korban) saat mengadukan masalah,” kata Benny.
Berdasarkan survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek pada 2020, ada 77 persen dosen yang mengaku kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Walakin, 63 persen dosen tidak pernah melaporkan kasus yang mereka tahu ke pihak kampus. Sementara itu, Komnas Perempuan mencatat ada 27 persen kasus kekerasan seksual pada 2015-2020 yang terjadi di PT.
PT lantas diminta membuat satuan tugas (satgas) PPKS sesuai Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Ada PT yang tidak melakukan PPKS akan mendapat sanksi, seperti penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana serta penurunan tingkat akreditasi (Kompas.id, 20/4/2022).
”Hingga 16 Januari 2023, ada 75 perguruan tinggi akademik dan 49 perguruan tinggi vokasi, termasuk 19 perguruan tinggi swasta yang sudah membentuk satgas PPKS. Kami akan mendorong agar satgas dibentuk di perguruan-perguruan tinggi di bawah Kemendikbudristek,” katanya.
Perwakilan Satgas PPKS Universitas Pendidikan Indonesia, Hani Yuliandrasari, mengatakan, satgasnya menilai korban dan pelaku kekerasan seksual sebagai peserta didik yang perlu dibina. Itu sebabnya pembinaan dan pendampingan psikologis diberikan ke keduanya.
Ia menambahkan, kampus perlu bekerja sama dengan berbagai pihak untuk PPKS. Kampusnya, misalnya, bekerja sama dengan lembaga lain untuk menyediakan rumah aman bagi korban, melakukan asesmen psikologi, dan membuat konten edukasi.