Perguruan Tinggi Mulai Bentuk Satgas Kekerasan Seksual
Perguruan tinggi diminta segera membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Satgas yang terdiri dari perwakilan dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan jadi pusat penanganan kekerasan seksual.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Semua perguruan tinggi wajib memiliki satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021. Untuk itu, perguruan tinggi diminta segera membentuk satuan tugas sebagai komitmen dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di kampus masing-masing.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek, Nizam, di Jakarta, Rabu (20/4/2022), mengatakan, pihaknya sudah bersurat kepada seluruh pimpinan perguruan tinggi (PT) agar segera membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (satgas PPKS). Apalagi, uji materi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan PT sudah ditolak Mahkamah Agung.
”Selama beberapa bulan ini sudah dan sedang terus dilakukan workshop untuk pengembangan kapasitas PT dalam PPKS. Sebagian besar PT sedang menyiapkan panitia kerja dan satgasnya. Kecuali yang sudah ada laporan kasus, dibentuk satgas ad hoc. Saat ini, belum semua PT melaporkan perkembangan pembentukan satgas PPKS,” kata Nizam.
Sesuai Permendikbudristek No 30/2021, satgas PPKS di PT berfungsi sebagai pusat pencegahan dan penanganan Kekerasan seksual. PT tidak hanya wajib menangani kasus kekerasan seksual, tetapi yang tak kalah penting juga mencegah agar kasus kekerasan seksual tidak terjadi dan tidak berulang.
Pada 2022 ini, seharusnya semua PT sudah membentuk satgas. Di dalamnya ada unsur dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa.
Ada sanksi bagi PT yang tidak melakukan PPKS. Bentuk sanksi administrasinya bisa penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk PT; dan/atau penurunan tingkat akreditasi.
Secara umum, kasus kekerasan/pelecehan seksual selama ini sudah ditangani perguruan tinggi sebagai bagian dari pelanggaran etika atau kode etik. Perguruan tinggi memiliki peraturan rektor yang mengatur perilaku atau etika, mulai dari dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa.
Wakil Rektor IPB University Bidang Sumber Daya Manusia, Perencanaan, dan Keuangan Agus Purwito mengatakan, kampusnya melakukan penyesuaian dengan permendikbudristek untuk membentuk satgas PPKS. ”Kami sudah mengusulkan calon panitia seleksi Satgas PPKS IPB University ke Kemendikbudristek. Kami masih menunggu respons dari Ditjen Dikti karena masih ada pelatihan juga untuk nama yang diusulkan. Setelah disetujui baru nanti melaksanakan pemilihan satgas PPKS yang di dalamnya ada perwakilan dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa,” kata Agus.
Sekretaris Rektor Universitas Indonesia Agustin Kusumayati mengatakan, di UI memang selama ini tidak ada tim khusus kekerasan seksual. Namun, UI berkomitmen dalam masalah etika dan perilaku, yang di dalamnya termasuk kekerasan/pelecehan seksual.
”UI ada kode etik dan kode perilaku untuk warga UI. Jika ada aduan kasus pelanggaran etika, termasuk kekerasan seksual yang valid, dibentuklah tim untuk menyelesaikan pelanggaran tata tertib kampus. Untuk kasus kekerasan seksual, tim yang dibentuk komprehensif,” kata Agustin.
Bahkan, UI membuat aplikasi SIP Duga untuk pelaporan pelanggaran secara daring. Awalnya diperkirakan banyak aduan terkait pengadaan lelang barang/jasa. Namun, ternyata muncul pula laporan kasus pelanggaran etika/perilaku, termasuk kekerasan seksual.
”Sejak tahun 2020, SIP Duga yang tadinya di bawah Badan Audit menjadi di bawah Rektor untuk menangani pengaduan, termasuk kekerasan seksual,” ujar Agustin.
Terkait Satgas PPKS, UI sedang merekrut calon panitia seleksi. Setelah terpilih nanti diusulkan ke Kemendikbudristek.
”Kami sudah menyosialisasikan tentang permendikbudristek ini. Di sini bukan soal penanganan saja yang diatur, tapi juga pencegahan lewat pendidikan, seperti kokurikuler dan ekstrakurikuler juga penting sehingga harus juga disiapkan,” ucapnya.
Ada sanksi bagi PT yang tidak melakukan PPKS. Bentuk sanksi administrasifnya bisa penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk PT; dan/atau penurunan tingkat akreditasi.
Sementara itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB), Lucky Endrawati, mengatakan, sejak tahun 2020 di kampus sudah dibentuk Unit Layanan Terpadu Kekerasan Seksual dan Perundungan (ULTKSP). Pembentukan ini didasari adanya kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswa UB sehingga mendapat dukungan rektorat untuk membentuk ULTKSP. Kini, di semua fakultas sudah ada ULTPKS.
”Dengan adanya Permendikbudristek No 30/2021, ULTPKS UB tinggal melakukan penyesuaian, sekaligus mengambil momen perubahan UB menjadi PTN badan hukum,” katanya.
Menurut Lucky, komitmen untuk PPKS ini harus semakin serius. Salah satunya memastikan pimpinan PT untuk memahami dan berkomitmen tentang PPKS di kampus.
”Saya melihat dalam pemilhan rektor, visi misi masih seperti biasa yang mengedepankan pencapaian akademik. Belum terlihat bagaimana komitmen menciptakan lingkungan yang aman dengan PPKS ini. Nah, Mendikbudristek bisa memakai momentum pemilihan rektor di PTN karena punya hak suara untuk mendukung pimpinan PTN yang punya komitmen pada PPKS,” kata Lucky.