Kemerdekaan pers di Tanah Air dihadapkan pada masa depan kelam pascapengesahan KUHP baru. Para jurnalis bekerja di bawah bayang-bayang ancaman kriminalisasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
Pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun, bagaimana pilar itu bisa kokoh jika jurnalisnya bekerja di bawah bayang-bayang ancaman kriminalisasi?
Kemerdekaan pers di Tanah Air dihadapkan pada masa depan kelam pascapengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Sejumlah ketentuan di dalamnya sangat berpotensi menjerat wartawan dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik.
Komunitas pers telah menyadari hal ini jauh sebelum KUHP disahkan. Bahkan, Dewan Pers melakukan road show ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah untuk menyarankan reformulasi 11 kluster dan 17 pasal bermasalah dalam RKUHP.
Akan tetapi, upaya ini menemui jalan buntu. KUHP baru telah disahkan pada Desember 2022 dan menjadi kado pahit bagi dunia pers.
Menurut Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, sebelum KUHP berlaku efektif tiga tahun setelah disahkan, sangat perlu adanya simulasi untuk melihat penggunaan pasal-pasal yang dinilai bermasalah tersebut. ”Kita butuh ruang untuk bedah kasus. Jika ada kasus diselesaikan dengan pasal tertentu, misalnya, teman-teman jurnalis akan dikriminalisasi atau tidak?” ujarnya di Jakarta, Selasa (17/1/2023).
Jika mencermati sejumlah pasal dalam KUHP, potensi ancaman kriminalisasi terhadap jurnalis sangat terbuka. Pasal 264, misalnya, mengatur tentang tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap. Pelanggaran pasal ini dapat dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 50 juta.
Ketentuan ini sangat rentan ”dimanfaatkan” untuk menjerat jurnalis. Dalam praktik kerja wartawan, misalnya, pemberitaan breaking news, informasi disampaikan secara bertahap. Jadi, sangat memungkinkan tidak lengkap karena berita yang disampaikan terus diperbarui.
Perlindungan terhadap jurnalis diharapkan juga diberikan oleh perusahaan media. Sebab, ancaman kekerasan dan kriminalisasi terhadap wartawan diprediksi akan menguat seiring disahkannya sejumlah regulasi.
Ketentuan lainnya adalah Pasal 218, 219, dan 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Ada juga Pasal 240 dan 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah.
Dalam seminar bertajuk ”Jurnalisme di Bawah Kepungan Digital”, di Jakarta, Jumat (9/12/2022), Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Usman Kansong mengatakan, KUHP tidak spesifik mengatur pers. Oleh karena itu, pers tetap diatur menggunakan UU Pers.
UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mengatur penyelesaian masalah akibat pemberitaan pers. Mekanismenya dapat melalui hak jawab atau hak koreksi. Namun, dalam praktiknya, kasus jurnalis yang dipidana karena karya jurnalistiknya masih terus terjadi.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 61 kasus serangan terhadap jurnalis dan media sepanjang 2022. Lima kasus di antaranya merupakan penangkapan dan pelaporan pidana.
Hal ini menunjukkan wartawan belum mendapatkan perlindungan menyeluruh dalam menjalankan tugasnya. Lemahnya perlindungan itu disertai oleh masih kuatnya impunitas terhadap pelaku kejahatan kepada jurnalis. Padahal, pembiaran terhadap satu kekerasan akan membuka pintu lebar bagi kekerasan lainnya.
”Serangan terhadap jurnalis adalah bentuk serangan terhadap kebebasan pers dan hak publik untuk mendapatkan informasi,” ujar Sekretaris Jenderal AJI Ika Ningtyas.
Ika berharap, perlindungan terhadap jurnalis juga diberikan oleh perusahaan media. Sebab, ancaman kekerasan dan kriminalisasi terhadap wartawan diprediksi akan menguat seiring disahkannya sejumlah regulasi.
”AJI mencatat ada 17 pasal dalam KUHP yang bisa secara langsung membawa jurnalis ke jeruji besi. Undang-undang tanpa melibatkan partisipasi publik secara bermakna akan menjadi tantangan besar yang tidak hanya mengancam jurnalis, tetapi masyarakat umum,” ujarnya.
Selain ancaman kriminalisasi terhadap jurnalis, pers di Indonesia juga dihadapkan pada riuhnya pelanggaran etik wartawan serta kesejahteraan yang masih sering diabaikan. Jika dibiarkan, segudang masalah itu akan terus menggerogoti peran pers sebagai pilar keempat demokrasi yang membuatnya semakin keropos.