Serangan terhadap Jurnalis Meningkat di Tengah Lemahnya Pelindungan
Serangan terhadap jurnalis dan media sepanjang 2022 meningkat daripada tahun sebelumnya. Pelindungan keselamatan wartawan perlu diperkuat.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aliansi Jurnalis Independen atau AJI mencatat 61 kasus serangan terhadap jurnalis dan media sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat daripada tahun lalu dengan 43 kasus. Peningkatan serangan dalam berbagai bentuk itu terjadi di tengah lemahnya pelindungan terhadap wartawan sehingga perlu diperkuat.
Serangan tersebut menyebabkan 97 korban dari jurnalis dan pekerja media serta 14 organisasi media. Bentuknya berupa serangan digital, perusakan alat kerja, kekerasan verbal, kekerasan berbasis jender, penangkapan dan pelaporan pidana, serta penyensoran.
Sejumlah regulasi yang disahkan pada 2022, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Pelindungan Data Pribadi, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja membuat ancaman terhadap jurnalis semakin besar. Jurnalis juga belum mendapatkan pelindungan memadai, baik dari negara maupun organisasi atau perusahaan media.
”Serangan yang meningkat, regulasi atau undang-undang yang semakin membatasi, ini semua terkait erat dengan melemahnya demokrasi di Indonesia dan menguatnya otoritarianisme,” ujar Sekretaris Jenderal AJI Ika Ningtyas dalam diseminasi Laporan Situasi Keamanan Jurnalis 2022, di Jakarta, Senin (16/1/2023).
Ika menuturkan, dari 61 kasus serangan pada 2022, hanya 16 kasus yang dilaporkan ke kepolisian. Sebab, tidak semua jurnalis atau media yang menjadi korban mau membawa kasus tersebut ke ranah hukum.
Padahal, dukungan perusahaan media terhadap jurnalis sangat dibutuhkan. Dalam proses hukum, misalnya, tidak jarang memakan waktu cukup panjang sehingga wartawan memerlukan pengacara dalam menangani kasus dan jaminan keamanan dari serangan balik oleh pelaku.
”Akhirnya, sebagian besar kasus kekerasan tidak dilanjutkan oleh korban. Dari 16 kasus, hanya empat kasus yang diproses atau pelakunya ditangkap oleh kepolisian,” ucapnya.
Sebanyak 24 kasus kekerasan terhadap jurnalis melibatkan pelaku dari polisi, TNI, dan aparat pemerintah. Sementara 20 kasus melibatkan pelaku dari organisasi masyarakat, partai politik, perusahaan, dan warga. Adapun 17 kasus lainnya belum teridentifikasi pelakunya.
Dari 61 kasus serangan pada 2022, hanya 16 kasus yang dilaporkan ke kepolisian. Sebab, tidak semua jurnalis atau media yang menjadi korban mau membawa kasus tersebut ke ranah hukum.
”Kebebasan pers mengalami hambatan cukup besar dari aspek penegakan hukum dan bagaimana kuatnya impunitas yang dibudayakan oleh negara,” katanya.
Serangan paling masif sepanjang 2022 menimpa puluhan awak redaksi dan eks karyawan Narasi TV pada September yang mengalami peretasan pada akun media sosialnya. Jenis serangan paling banyak adalah kekerasan fisik dan perusakan alat kerja dengan 20 kasus serta serangan digital berjumlah 15 kasus.
Serangan berbasis jender berbentuk kekerasan seksual juga masih menghantui jurnalis perempuan. AJI menerima tiga laporan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Papua.
Laporan AJI turut menyoroti lemahnya pelindungan keselamatan jurnalis. Dewan Pers dan Polri memang telah mempunyai nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama tentang pelindungan kemerdekaan pers. Namun, hal itu dinilai minim sosialisasi dan tidak dilatihkan secara menyeluruh kepada jajaran kepolisian di tingkat bawah.
Selain itu, organisasi media juga belum memberikan pelindungan secara holistik terhadap jurnalisnya. Dalam riset Indeks Keselamatan Jurnalis AJI (2022), mayoritas responden menyatakan dukungan keamanan dari tempat kerja mendapat indeks rendah. Beberapa indikatornya adalah minim pelatihan keamanan yang diberikan oleh perusahaan media dan kurangnya protokol keamanan khusus bagi perempuan jurnalis.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin menyebutkan, tahun 2022 mencatatkan tantangan untuk kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, baik lewat kekerasan langsung maupun dengan potensi kekerasan melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Pihaknya mencatat 51 kasus kekerasan yang menyasar media, wartawan, narasumber, aktivis pers, dan mahasiswa yang menjalankan kerja jurnalistik.
Pelanggaran etik
Kepatuhan terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menjadi salah satu mitigasi untuk mengurangi kerentanan jurnalis mendapatkan ancaman atau kekerasan. Etik juga menjadi kunci bagi jurnalis mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari publik.
Akan tetapi, pelanggaran etik oleh jurnalis masih terus terjadi. Dalam Laporan AJI disebutkan, salah satu kasus yang mencolok pada tahun ini adalah pengakuan seorang presenter televisi Brigita Manohara yang menerima sejumlah uang dari Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak yang telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi. Brigita mengakui menerima uang tersebut sebagai apresiasi atas profesinya sebagai presenter dan konsultan komunikasi.
Padahal, wartawan yang menerima uang atau hadiah dari narasumber merupakan pelanggaran terhadap KEJ. Menerima suap berupa uang, hadiah, ataupun fasilitas lainnya dapat memengaruhi independensi jurnalis.
Pelanggaran etika juga masif terjadi pada media daring. Faktor judul umpan klik atau click bait sering memicu media daring menabrak etika demi mengejar traffic.
Ketua Bidang Pendidikan, Etik, dan Profesi AJI Edy Can menuturkan, terdapat risiko saat jurnalis atau media membuat berita dengan judul yang tidak sesuai kaidah atau etika jurnalistik. Dewan Pers dapat merekomendasikan redaksi media tersebut untuk mencabut berita dan meminta maaf atas kesalahan itu.
”Berita dengan judul yang hanya memancing orang untuk mengklik berisiko terhadap keberlanjutan usaha (perusahaan pers). Padahal, banyak contoh media berhasil tanpa mengandalkan algoritma atau judul berita yang sensasional,” ucapnya.