Penambahan Panas Lautan Memecahkan Rekor pada 2022
Sepanjang 2022, ada penambahan 10 zetta joule ke laut daripada tahun 2021. Salah satu dampak memanasnya lautan ini adalah meningkatnya frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Temperatur laut terus memecahkan rekor pada 2022 yang berdampak pada ekosistem terestrial hingga meningkatkan cuaca ekstrem. Sepanjang 2022, ada penambahan sekitar 10 zetta joule atau setara dengan 100 kali produksi listrik dunia ke laut daripada yang terjadi pada tahun 2021.
Joule merupakan satuan untuk mengukur panas. Dan zetta joule artinya ada 21 angka nol di belakangnya satuan joule ini. Energi panas 10 zetta joule ini setara dengan kira-kira 100 kali produksi listrik dunia pada tahun 2021 (28.466 TWH/terawatt hour), sekitar 325 kali produksi listrik China tahun 2021 (8.537 TWH), dan hampir 634 kali produksi listrik Amerika Serikat tahun 2021 (4.381 TWH).
Besarnya energi panas yang masuk ke lautan ini dilaporkan 24 ilmuwan dari 16 lembaga di seluruh dunia di jurnal Advances in Atmospheric Sciences pada Rabu (11/1/2023). Publikasi disarikan dari dua set data dari Institute of Atmospheric Physics (IAP) di Chinese Academy of Sciences (CAS), dan dari National Centers for Environmental Information (NCEI) dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), yang menganalisis penambahan konten panas lautan dan dampaknya sejak tahun 1950-an.
”Baik data IAP maupun NCEI menunjukkan pesan yang konsisten bahwa kandungan panas lautan di atas 2.000 m mencapai rekor tertinggi pada tahun 2022,” kata Tim Boyer, peneliti senior dari NCEI/NOAA.
”Pemanasan global terus berlanjut dan dimanifestasikan dalam rekor panas lautan, dan juga dalam salinitas ekstrem yang berkelanjutan. Yang terakhir menyoroti bahwa daerah asin menjadi lebih asin dan daerah segar menjadi lebih segar sehingga ada peningkatan intensitas siklus hidrologi secara terus-menerus,” kata Lijing Cheng, penulis utama dan peneliti untuk IAP/CAS.
Para peneliti menemukan, jumlah panas yang masuk ke lautan akan memiliki konsekuensi serius dan hal itu terjadi jauh lebih cepat daripada yang diharapkan. Meningkatnya rasa asin dan stratifikasi lautan yang dihasilkan dapat mengubah cara pertukaran panas, karbon, dan oksigen antara lautan dan atmosfer di atasnya.
Fenomena tersebut menjadi faktor yang dapat menyebabkan deoksigenasi laut atau hilangnya oksigen di dalam air. Deoksigenasi sendiri merupakan mimpi buruk tidak hanya bagi kehidupan dan ekosistem laut, tetapi juga bagi manusia dan ekosistem terestrial kita.
Berkurangnya keragaman laut dan migrasi spesies penting dapat mendatangkan malapetaka pada komunitas yang bergantung pada penangkapan ikan dan ekonomi mereka. Dan, ini dapat memiliki efek riak pada cara sebagian besar orang dalam berinteraksi dengan lingkungan mereka.
Salah satu dampak memanasnya lautan adalah meningkatnya frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia. Beberapa tempat mengalami lebih banyak kekeringan yang menyebabkan peningkatan risiko kebakaran hutan dan tempat lain mengalami banjir besar akibat hujan lebat, sering kali didukung oleh peningkatan penguapan dari lautan yang hangat.
”Hal ini berkontribusi pada perubahan siklus hidrologi dan menekankan peran interaktif bahwa lautan berperan,” kata Kevin Trenberth, penulis ketiga makalah dan peneliti di National Center for Atmospheric Research dan University of Auckland.
Peningkatan suhu air dan salinitas secara langsung juga berkontribusi pada pelapisan air alih-alih pencampuran, dan ini hanyalah bagian dari apa yang mengganggu keseimbangan antara lautan dan atmosfer kita.
Salah satu dampak memanasnya lautan adalah meningkatnya frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia.
”Ke depannya, kelompok ini akan fokus untuk memahami perubahan siklus utama bumi dan meningkatkan proyeksi panas bumi, air, dan perubahan karbon di masa depan. Ini adalah dasar bagi manusia untuk bersiap menghadapi perubahan dan risiko di masa depan, kata John Abraham, profesor Universitas St Thomas, penulis kedua studi ini.
Pelacakan lanjutan dari perubahan ini akan memberi para ilmuwan gagasan tentang apa yang dapat dilakukan, terlebih untuk mempersiapkan umat manusia menghadapi suhu yang lebih tinggi, cuaca ekstrem, dan semua konsekuensi lain yang menyertai pemanasan lautan dan dampak siklus hidrologi.
”Lautan menyerap sebagian besar pemanasan dari emisi karbon manusia,” kata penulis makalah Michael Mann, seorang profesor dari University of Pennsylvania.
”Sampai kita mencapai emisi nol bersih, pemanasan itu akan terus berlanjut dan kita akan terus memecahkan rekor kandungan panas lautan, seperti yang kita lakukan tahun ini. Kesadaran dan pemahaman yang lebih baik tentang lautan adalah dasar tindakan untuk memerangi perubahan iklim,” tambahnya.