Pemanasan Global Mengubah Suhu Samudra Hindia, Indonesia Lebih Basah
Penelitian terbaru menemukan, pemanasan global menyebabkan perubahan pola osilasi suhu air laut di Samudra Hindia. Fenomena ini menyebabkan perubahan pola hujan, yaitu situasi lebih basah di Indonesia bagian selatan.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Pengemudi motor melintasi banjir dengan latar belakang kawasan pertokoan oleh-oleh yang tutup di Tanggulangin, Desa Jati Wetan, kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Rabu (4/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Penelitian terbaru menemukan bahwa pemanasan global menyebabkan perubahan pola osilasi suhu air laut di Samudra Hindia. Fenomena ini menyebabkan perubahan pola hujan, yaitu situasi lebih kering di Afrika Timur dan lebih basah di Indonesia.
Hasil kajian yang dipublikasikan di jurnal Science Advances pada Rabu (4/1/2023) ini dipimpin oleh peneliti dari Brown University. Para peneliti membandingkan 10.000 tahun kondisi iklim masa lalu yang direkonstruksi dari kumpulan catatan geologi dan kemudian dijadikan dasar pemodelan.
Temuan menunjukkan bahwa sekitar 18.000 hingga 15.000 tahun lalu, sebagai akibat dari pencairan air tawar dari gletser besar yang pernah menutupi sebagian besar Amerika Utara yang mengalir ke Atlantik Utara, arus laut yang membuat Samudra Atlantik tetap hangat melemah. Melemahnya sistem tersebut pada akhirnya mengarah pada perubahan arus laut bolak-balik di Samudra Hindia.
Memahami dipol dapat membantu kita memprediksi dan mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk perubahan iklim di masa depan.
Pola cuaca ekstrem ini mendorong satu wilayah di Samudra Hindia memiliki curah hujan lebih tinggi dari rata-rata dan sisi lainnya mengalami kekeringan yang meluas. Para peneliti melihat contoh pola ini baik dalam data historis yang mereka pelajari maupun dalam simulasi model.
FRANSISKUS PATI HERIN
Penanaman 25.000 anakan pohon di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, dimulai dari Bolok, Kabupaten Kupang, pada Selasa (22/2/2022). Gerakan itu sebagai bagian dari upaya mengatasi kekeringan di daerah tersebut.
Mereka mengatakan, temuan itu dapat membantu para ilmuwan tidak hanya lebih memahami mekanisme di balik dipol timur-barat di Samudra Hindia, tetapi juga dapat membantu menghasilkan prakiraan kekeringan dan banjir yang lebih sesuai dengan perubahan iklim di wilayah tersebut.
”Kita tahu bahwa saat ini gradien suhu Samudra Hindia (disebut Indian Ocean Dipole/IOD) penting untuk memprediksi pola curah hujan dan kekeringan, terutama di Afrika Timur. Akan tetapi, hal ini sulit untuk menunjukkan bahwa gradien tersebut berubah dalam skala waktu yang lama dan menghubungkannya dengan curah hujan jangka panjang dan pola kekeringan di kedua sisi Samudra Hindia,” kata James Russell, penulis studi dan profesor ilmu Bumi, lingkungan, dan planet di Brown University.
Menurut Russell, temuan ini menjadi dasar mekanistik untuk memahami mengapa beberapa perubahan jangka panjang dalam pola curah hujan di dua wilayah telah berubah sepanjang waktu.
Pola hujan
Dengan temuan ini, para peneliti mengarakterisasi adanya dipol timur-barat di mana air di sisi barat—yang berbatasan dengan negara-negara Afrika Timur modern seperti Kenya, Etiopia, dan Somalia—lebih dingin daripada air di sisi timur menuju Indonesia. Mereka melihat bahwa kondisi air dipol yang lebih hangat membawa curah hujan yang lebih besar ke Indonesia, sedangkan air yang lebih dingin membawa cuaca yang jauh lebih kering ke Afrika Timur.
AP/BRIAN INGANGA
Anak-anak Maasai berlari melewati seekor zebra, yang menurut warga setempat, mati karena kekeringan, saat mereka menggembalakan ternak mereka di Desa Ilangeruani, dekat Danau Magadi, di Kenya, pada Rabu, 9 November 2022. Sebagian wilayah Kenya telah mengalami empat musim berturut-turut dalam dua tahun terakhir,
Temuan ini sesuai dengan apa yang sering terlihat dalam peristiwa dipol Samudra Hindia baru-baru ini. Pada bulan Oktober 2020, misalnya, hujan lebat menyebabkan banjir dan tanah longsor di Pulau Jawa dan Sulawesi di Indonesia, menyebabkan empat orang tewas, serta berdampak pada lebih dari 30.000 orang.
Sebaliknya pada bulan yang sama, Etiopia, Kenya, dan Somalia mengalami kekeringan hebat mulai tahun 2020 yang mengancam akan menyebabkan kelaparan. Perubahan yang diamati penulis 17.000 tahun lalu bahkan lebih ekstrem, termasuk pengeringan menyeluruh Danau Victoria, salah satu danau terbesar di bumi.
Dipol Samudra Hindia atau Indian Ocean Dipole (IOD) selama ini didefinisikan sebagai perbedaan suhu permukaan laut di antara dua wilayah, yaitu di Laut Arab atau Samudra Hindia bagian barat dan Samudra Hindia bagian timur di selatan Indonesia. Fenomena IOD ini sebelumnya merupakan suatu osiliasi suhu air permukaan laut yang tak teratur yang menyebabkan wilayah barat Samudra Hindia lebih hangat (di fase positifnya) dan lebih dingin (di fase negatifnya) dibandingkan wilayah timur Samudra Hindia.
”Pada dasarnya, dipol mengintensifkan kondisi kering dan basah yang dapat mengakibatkan peristiwa ekstrem seperti peristiwa kering selama bertahun-tahun atau puluhan tahun di Afrika Timur dan peristiwa banjir di Indonesia bagian selatan,” kata Xiaojing Du, peneliti postdoctoral Brown University.
Ahli iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Siswanto, Kamis (5/1/2023), mengatakan, temuan ini sejalan dengan riset yang dilakukan bersama tim Institut Teknologi Bandung. ”Saat ini masih dalam proses penulisan untuk publikasi,” ujarnya.
Perubahan pola cuaca ini, yang disebabkan oleh perubahan dipol Samudra Hindia, bakal memengaruhi kehidupan masyarakat dan pertanian di wilayah Afrika hingga Indonesia. ”Memahami dipol dapat membantu kita memprediksi dan mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk perubahan iklim di masa depan,” kata Siswanto.