Edukasi Pengelolaan Sampah Mesti Terus Dijalankan sejak Usia Dini
Pengelolaan sampah masih menjadi masalah serius di berbagai tempat, bahkan di rumah. Untuk itu, edukasi pengelolaan sampah terus dijalankan sejak usia dini.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Edukasi pengelolaan sampah berkelanjutan terus dijalankan demi kelestarian bumi. Anak-anak usia dini dan generasi muda mendapatkan edukasi baik di masyarakat maupun sekolah agar dapat mengelola sampah secara baik dimulai dari lingkungan sekitar, khususnya untuk mengatasi sampah plastik.
Co-Founder of The Antheia Project Ruhani Nitiyudo, Kamis (5/1/2023), mengatakan, generasi muda menggerakkan The Antheia Project karena ingin membawa perubahan baik untuk lingkungan demi memastikan bahwa ruang hidup mereka di masa depan yang ditinggali bisa tetap lestari. Untuk itu, program-program edukasi dan aksi lingkungan dijalankan sejak tahun 2020, khususnya dalam mengajak masyarakat mengelola sampah mulai dari rumah.
Menurut Ruhani, dalam periode Beach Clean Up atau Aksi Bersih Pantai, stirofoam menjadi sampah yang sering ditemui dalam bentuk pecahan kecil-kecil. Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di 18 kota utama Indonesia menemukan 0,27 juta ton hingga 0,59 juta ton sampah masuk ke laut selama kurun waktu 2018.
Sampah yang paling banyak ditemukan adalah sampah stirofoam. Saat ini banyak orang menggunakan stirofoamkarena mudah digunakan, tetapi sangat sulit untuk dihancurkan.
Ruhani memaparkan, dalam proses pembuatan stirofoam, chlorofluorocarbons atau CFC terlibat. Bahkan, setelah itu, stirofoamtidak bisa terurai.
Stirofoam membutuhkan waktu sekitar 500 tahun sampai satu juta tahun untuk dapat terurai oleh tanah. Namun, stirofoam tidak terurai sempurna, melainkan berubah menjadi mikroplastik dan dapat mencemari lingkungan. Karena itulah, stirofoam disebut sebagai sampah abadi.
”Melihat fenomena ini, kami memiliki sebuah aksi yang lebih progresif, yaitu kampanye #SayNoToStyrofoam. Pengelolaan sampah yang kurang baik membuat kami tergerak untuk membenahi dan mengajak berbagai pihak untuk berkolaborasi,” papar Ruhani.
Sementara itu, Samira Jha, Co-Founder of The Antheia Project mengatakan, sampah stirofoam yang tidak dibuang merupakan masalah yang harus segera diatasi dan membutuhkan komitmen dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk pemerintah pusat dan daerah. Kolaborasi dan kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan diperlukan untuk mendukung gerakan agar semakin banyak orang yang terlibat untuk bersikap baik kepada alam.
Kolaborasi dengan institusi pendidikan dilakukan, antara lain, dengan Sampoerna Academy BSD Campus, Universitas Paramadina, Esmod Jakarta, dan siswa MTS Negeri 26 Kepulauan Seribu Kampus C dengan melakukan lokakarya manajemen pengelolaan sampah. Tahun 2023 ini, kampanye #SayNoToStyrofoam tetap terus dilakukan lewat edukasi ke berbagai kampus.
”Kami juga ingin membagikan buku panduan pengelolaan sampah berkelanjutan yang nantinya akan kami ajukan sebagai penambah kurikulum mengajar, workshop pengelolaan limbah, Beach Clean Up, dan berbagai aksi serta edukasi lingkungan. Ke depan kita akan terus melakukan Marine Life Project yang berfokus untuk mengembalikan kehidupan laut dan berbagai aksi untuk membuat perubahan baik untuk alam. Tentunya kami tidak bisa berjalan sendiri kami harap semakin banyak kolaborasi yang akan dilakukan tahun 2023,” kata Samira.
Tak hanya generasi muda yang mendapatkan edukasi pengelolaan sampah. Dengan memanfaatkan proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila, anak-anak usia dini juga diajak mendapatkan edukasi mengelola sampah, khususnya sampah plastik dengan benar.
Pembentukan karakter
Sebelumnya, Ketua Dharma Wanita Pembangunan dan Ketua Bidang 1 OASE Kabinet Indonesia Maju Franka Makarim mengatakan, edukasi penanganan sampah plastik (EPSP) menjadi salah satu solusi yang bisa diterapkan dalam pendidikan sejak usia dini untuk membantu mengatasi permasalahan lingkungan. Aktivitas tersebut sekaligus menjadi bagian dari Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang penting untuk ditanamkan sedini mungkin pada anak-anak.
”Kepedulian masyarakat sedini mungkin terhadap lingkungan sekitar berkaitan erat dengan proses pembentukan karakter anak usia dini yang peduli dan cinta lingkungan. Nilai tersebut menjadi salah satu capaian yang diharapkan dari Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila,” ujar Franka.
Lebih lanjut, Franka menekankan, diperlukan keterlibatan masyarakat agar turut serta mengurangi penumpukan sampah plastik. ”Diharapkan, setelah timbul kesadaran yang dimulai dari anak-anak usia dini, akan muncul aksi di masyarakat yang mengubah sampah plastik menjadi material bernilai ekonomi dan tidak membahayakan bagi lingkungan hidup,” katanya.
Pentingnya penanaman dan pembentukan karakter baik dan positif bagi anak usia dini, kata Franka, selayaknya dipraktikkan secara terpadu di lingkungan terdekat anak, baik itu di lingkungan rumah, lingkungan sekolah maupun di masyarakat. Hal tersebut juga berlaku dalam penanaman perilaku sadar dan bijak terhadap sampah, yang idealnya ditanamkan sedini mungkin, hingga pada akhirnya membentuk pelajar yang sadar dan bijak terhadap sampah dan lingkungan.
Pembiasaan dan penanaman perilaku bijak sampah di lingkungan sekolah dapat dilakukan melalui perancangan pembelajaran, serta perancangan lingkungan budaya dan kebiasaan di sekolah. ”Hal ini sejalan dengan konsep Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila yang berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik mencakup kompetensi literasi, numerasi, dan pengembangan karakter,” tutur Franka.