Panas dan Bakteri Bisa Mendaur Ulang Plastik Menjadi Bahan Kimia Berguna
Para peneliti telah menemukan cara untuk mengubah campuran plastik menjadi molekul kecil yang berguna melalui pemanasan dan bantuan bakteri.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Siswa SMKN 71 Jakarta memilah sampah plastik saat mengikuti magang di Yayasan Pulo Kambing yang mengelola pengolahan dan daur ulang sampah dan perkebunan hidroponik di kawasan Cakung, Jakarta Timur, Kamis (13/10/2022). Pemberdayaan masyarakat dan lingkungan menjadi salah satu poin penting yang dipelajari siswa sekolah peserta magang di tempat tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Para peneliti telah menemukan cara untuk mengubah campuran plastik menjadi molekul kecil yang berguna melalui pemanasan dan bantuan bakteri. Temuan ini menjadi langkah maju untuk mengatasi sampah plastik yang saat ini jadi masalah global.
Keberhasilan memecah campuran plastik menjadi bahan kimia yang lebih berguna dalam proses dua langkah ini dilaporkan di jurnal Science pada 13 Oktober. Penelitian dipimpin oleh Gregg Beckham, seorang insinyur kimia di United States National Renewable Energy Laboratory (NREL), Golden, Colorado, Amerika Serikat.
Selama ini masalah plastik yang dihadapi planet ini diperparah oleh sulitnya mendaur ulang bahan-bahan ini. Meskipun ada metode untuk memotong rantai polimer panjangnya, teknik ini sulit diterapkan dalam skala besar, sebagian karena daur ulang harus berurusan dengan campuran plastik.
Dalam kajian ini, Beckham dan tim berhasil mengembangkan proses dua langkah yang menggunakan kimia dan kemudian biologi untuk memecah campuran plastik paling umum, yaitu polietilen densitas tinggi (HDPE), plastik lunak yang sering ditemukan dalam kemasan makanan; polystyrene, yang termasuk styrofoam; dan polietilen tereftalat (PET), plastik kuat dan ringan yang digunakan untuk membuat botol minuman.
”Hanya beberapa karya yang melaporkan daur ulang kimia campuran plastik sebelumnya,” kata Ning Yan, ahli kimia di National University of Singapore, dan salah satu dari sedikit peneliti yang telah mengembangkan sistem yang mampu melakukannya, sebagaimana ditulis Nature.
Yan mengatakan, menggabungkan jalur kimia dan biologi untuk mengubah campuran plastik bahkan lebih jarang lagi. Oleh karena itu, temuan Beckham dan tim ini sangat penting dalam upaya mendaur ulang campuran plastik.
Sampah plastik menumpuk di saluran Kali Baru, Ratu Jaya, Depok, Jawa Barat, Senin (19/8/2019). Sampah plastik yang sebagian kiriman dari Bogor, Jawa Barat, ini menutupi permukaan saluran air. Rendahnya tingkat kesadaran warga dalam menjaga lingkungan dapat berdampak pada menurunnya kualitas hidup masyarakat.
Proses dua langkah
Beckham dan tim pertama kali menggunakan reaksi oksigenasi yang dikatalisis, dengan katalis berbasis kobalt atau mangan, untuk memecah rantai polimer yang keras menjadi molekul asam organik yang mengandung oksigen. Proses ini terinspirasi oleh studi yang dipimpin oleh Walter Partenheimer, seorang ahli kimia di perusahaan kimia DuPont di Wilmington, Delaware, pada tahun 2003. Partenheimer menggunakan metode ini untuk memecah plastik tunggal menjadi bahan kimia seperti asam benzoat dan aseton.
Namun, Beckham ingin mengubah molekul asam organik menjadi sesuatu yang lebih mudah dikomoditaskan. Untuk melakukan itu, tim beralih ke mikroba, dalam hal ini bakteri Pseudomonas putida, yang dapat direkayasa untuk menggunakan molekul organik kecil yang berbeda sebagai sumber karbon.
”Ini organisme yang cukup menarik,” kata Beckham.
Tim peneliti kemudian merekayasa mikroorganisme untuk mengonsumsi molekul organik teroksigenasi yang dibuat oleh para peneliti dari berbagai plastik menggunakan reaksi autoksidasi. Dalam hal ini menggunakan asam dikarboksilat dari polietilen, asam teraftalat dari PET, dan asam benzoat dari polistirena.
Selama ini masalah plastik yang dihadapi planet ini diperparah oleh sulitnya mendaur ulang bahan-bahan ini.
Bakteri menghasilkan dua bahan kimia yang masing-masing digunakan untuk membuat polimer atau biopolimer yang ditingkatkan kinerjanya. ”Biologi dapat mengambil beberapa sumber karbon dan menyalurkannya ke dalam satu produk, dalam hal ini molekul yang dapat digunakan untuk membuat polimer yang sangat biodegradable,” kata Susannah Scott, ahli kimia di University of California, Santa Barbara.
Para peneliti mengembangkan proses mereka menggunakan campuran pelet polimer murni, tetapi juga mengujinya pada plastik campuran yang ditemukan dalam produk sehari-hari. ”Kami membeli HDPE dalam bentuk wadah susu, PET dari vending machine di luar kantor saya dalam botol minuman sekali pakai. Kemudian cangkir polystyrene atau styrofoam,” kata Beckham.
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Genteng-genteng dari limbah plastik di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (17/10/2021).
Keterbatasan
Sekalipun temuan ini sukses untuk mengurai campuran plastik, tetapi meningkatkan prosesnya akan menjadi tantangan. Anggota tim peneliti, Shannon Stahl, seorang ahli kimia di University of Wisconsin-Madison, mengatakan, salah satu masalahnya adalah suhu di mana reaksi autoksidasi dijalankan.
”Saat ini, setiap plastik bereaksi paling baik pada suhu yang berbeda dan yang digunakan tim untuk campuran sesuai dengan reaksi yang paling bandel. Kimia yang lebih mendasar diperlukan untuk mengetahui dengan tepat bagaimana reaksi ini bekerja dan meningkatkan hasil reaksi,” kata Stahl.
Menurut dia, banyak perusahaan telah bekerja dengan proses autoksidasi, untuk mengubah xylene menjadi asam terapthalic, molekul prekursor PET. ”Ada banyak pengetahuan internal yang dibangun. Jika satu atau lebih dari perusahaan ini akan memilih untuk mengeksplorasi ini, saya pikir mereka dapat menawarkan banyak pengetahuan teknis,” kata Stahl.
Beckham menambahkan, timnya sedang mengerjakan analisis ekonomi dan penilaian siklus hidup dari prosesnya.
Masalah lain adalah penjualan molekul yang lebih kecil yang dihasilkan bakteri karena permintaan untuk produk tersebut hingga saat ini masih jauh lebih kecil daripada jumlah sampah plastik yang ada. ”Apakah prosesnya akan ditingkatkan tergantung dari daya saing ekonomi,” katanya.