Penculikan anak masih bisa terjadi di kalangan masyarakat. Peran orangtua dan sekolah penting untuk mengajarkan anak dalam melindungi diri di segala situasi.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penculik umumnya memanfaatkan peluang saat pengawasan dari orang-orang di sekitar anak beraktivitas berkurang. Kesadaran dan kewaspadaan perlu ditingkatkan, mulai dari keluarga hingga sekolah. Selain itu, anak perlu sejak dini ditanamkan untuk berhati-hati saat interaksi dengan orang yang tidak dikenal.
Psikolog anak sekaligus dosen di Fakultas Psikologi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Endang Widyorini, menjelaskan, penculikan umumnya disebabkan pelaku memanfaatkan peluang pada saat pengawasan orang-orang di sekitar anak yang sedang beraktivitas telah berkurang.
Modus para penculik itu kerap menggunakan mainan atau makanan sebagai iming-iming. Modus ini untuk membangun interaksi antara korban dan pelaku. Tak jarang, modusnya seperti menyamar sebagai kerabat atau teman orangtua korban. Lalu, dilanjutkan berpura-pura mendapat mandat orangtua korban untuk menjemput anak di sekolah.
Anak yang menjadi korban penculikan harus mendapat penanganan dan pelayanan bantuan psikologis. Hal ini untuk memulihkan kembali kondisi trauma dan kejiwaan anak.
”Peran orangtua harus mengajari anak sejak dini untuk membiasakan diri meminta izin atau memberi tahu kepada mereka sebelum melakukan sesuatu, termasuk jika hendak pergi bersama seseorang,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Selain itu, perlu memberikan gambaran kepada anak agar tidak mudah percaya kepada orang lain di luar keluarga. Untuk membantu upaya pencegahan penculikan anak, peran sekolah dan masyarakat umum juga diperlukan.
”Selama ini pengawasan sekolah tentu sudah ada, seperti memastikan orangtua atau pihak keluarga yang menjemput anak mereka ketika pulang sekolah. Anak akan terus berada di lingkungan sekolah sampai orangtua datang menjemput,” ujarnya.
Kepala Sekolah SD Negeri Grogol Utara 03 Pagi Sri Surjani menjelaskan, upaya mencegah penculikan anak, terutama saat jam pulang sekolah, dengan kerja sama semua pihak. Pihak sekolah selalu memastikan siswanya benar-benar dijemput oleh orangtua ataupun wali mereka.
”Orangtua juga harus waspada saat menjemput anak mereka, komunikasi antara orangtua siswa dan pihak sekolah juga harus berjalan dengan baik,” ujar Sri.
Sementara itu, guru kelas enam SD Negeri Larangan 1, Kota Tangerang, Aden mengungkapkan, materi di ruang kelas selalu disisipkan dengan memberi gambaran dan pengertian kepada siswa terkait dengan modus-modus penculikan. Ajari mereka untuk menolak ketika ada yang meminta bantuan pihak yang tidak dikenal dengan imbalan uang dan sebagainya.
Menurut dia, penekanan kepada siswa salah satunya, seperti jangan mudah percaya dengan orang yang tidak dikenal. Karena, para penculik juga kerap memanfaatkan sifat empati yang diajarkan kepada anak-anak, dengan cara berpura-pura meminta bantuan, lalu menculiknya.
Orangtua siswa kelas III di SD Negeri Pesanggrahan 07, Jakarta Selatan, Dina (36), khawatir dengan kasus penculikan yang terjadi saat ini. Oleh karena itu, ia terus memberikan pemahaman kepada anaknya terkait dengan pentingnya waspada terhadap orang lain. Apalagi, orang yang belum dikenal yang kemungkinan mempunyai niat buruk.
Dina juga memastikan untuk berkomunikasi dengan wali kelas, terutama ketika jam pulang sekolah. Dina mengusahakan untuk menjemput sendiri anak di sekolah. ”Pada saat di rumah, saya selalu mengajarkan untuk jangan pernah pergi ke mana pun dengan orang asing. Ada aturan menolak ajakan atau permintaan orang asing,” katanya.
Pemulihan psikologis
Sebelumnya, Malika Anastasya, bocah perempuan berusia 6 tahun yang hilang karena diculik di dekat rumahnya pada 7 Desember 2022, ditemukan polisi di pertokoan Haji Kohar, Rukun Warga 005, Kelurahan Jurangmangu Timur, Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, Banten (Kompas.id, 3/1/203).
Malika berhasil ditemukan setelah hampir satu bulan tinggal bersama penculik yang juga bekerja sebagai pemulung. Berdasarkan cerita Malika kepada ibunya, selama bersama pelaku, Malika tidak mendapat penghidupan yang layak.
Malika tidak diberikan baju ganti sejak ia diculik, demikian alas kaki yang kini menipis karena digunakan jalan kaki jauh setiap sore hingga malam hari. Jika waktu tidur malam, Malika dibiarkan beristirahat di dalam gerobak dan berselimut karung.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) Nahar dalam keterangan pers tertulis mengatakan, upaya agar penculikan anak tidak terulang dengan bentuk pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi.
”Unsur pencegahan perlu diutamakan. Keluarga dan masyarakat perlu lebih sensitif lagi terhadap kemungkinan anak berada dalam ancaman, penculik atau orang yang punya niat jahat,” kata Nahar.
Endang menambahkan, anak yang menjadi korban penculikan harus mendapat penanganan dan pelayanan bantuan psikologis. Hal ini untuk memulihkan kembali kondisi trauma dan kejiwaan anak.
”Meski terlihat ceria anak tersebut, juga harus pastikan bahwa tidak ada perilaku yang muncul akibat trauma. Perlu pendampingan, terutama emosional korban,” ucap Endang.