Larangan Penjualan Rokok Ketengan Akan Bantu Tekan Jumlah Perokok Muda
Rencana pelarangan penjualan rokok ketengan dinilai akan mampu menekan perokok usia muda yang prevalensinya saat ini tinggi.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana melarang penjualan rokok ketengan atau batangan tahun depan dinilai dapat menekan jumlah perokok muda. Larangan ini akan menekan akses anak dan remaja untuk memperoleh rokok.
Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany saat dihubungi di Jakarta, Selasa (27/12/2022), mengatakan, melindungi anak dari rokok salah satunya dilakukan dengan menutup akses pembelian seperti melarang penjualan kepada anak dan penjualan rokok batangan.
”Kami melihat, meningkatnya jumlah perokok remaja disebabkan oleh mudahnya mengakses rokok batangan di warung kecil. Pelarangan penjualan rokok batangan dapat menekan jumlah perokok, terutama anak-anak dan keluarga miskin, karena harga yang semakin tidak terjangkau jika membeli rokok bungkusan,” katanya.
Larangan menjual rokok batangan semakin mendesak mengingat prevalensi perokok anak-anak dan remaja terus meningkat. Merujuk Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), pada 2013 prevalensi merokok remaja usia 10-18 tahun 7,2 persen dan meningkat menjadi 9,1 persen pada 2018.
Menurut Hasbullah, data tersebut juga menunjukkan jumlah perokok Indonesia masih sangat tinggi, yakni 33 persen. Artinya, 1 dari 3 orang Indonesia merokok, dengan jumlah perokok pria sebesar 63 persen atau 2 dari 3 pria merokok.
Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024 menargetkan prevalensi perokok anak turun menjadi 8,7 persn pada tahun 2024. ”Sampai saat ini aturan pengendalian tembakau di Indonesia masih lemah, yang akhirnya berdampak pada tingginya jumlah perokok, termasuk perokok anak,” kata Hasbullah.
Hal serupa juga diungkapkan Koordinator Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau (KNMSPT), Ifdhal Kasim. Menurut dia, jika terealisasi, hal ini menunjukkan keberpihakan pemerintah pada kepentingan kesehatan publik dan perlindungan kelompok rentan, khususnya anak-anak, perempuan, hingga kelompok rumah tangga miskin.
”Regulasi tersebut juga akan membuat harga rokok mahal dan sulit diakses oleh kelompok rentan. Semua pihak harus mengawal agar wacana tersebut bisa sampai dalam bentuk regulasi konkret,” ujar Ifdhal.
Kami melihat, meningkatnya jumlah perokok remaja disebabkan oleh mudahnya mengakses rokok batangan di warung kecil. Pelarangan penjualan rokok batangan dapat menekan jumlah perokok, terutama anak-anak dan keluarga miskin, karena harga yang semakin tidak terjangkau jika membeli rokok bungkusan.
Larangan menjual rokok batangan, menurut rencana, akan dituangkan dalam peraturan pemerintah yang akan disusun pada 2023. Hal ini seperti termuat dalam Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 yang telah ditandatangani Presiden pada 23 Desember 2022.
Hasbullah menyampaikan, wacana kebijakan itu masih dalam program penyusunan peraturan pemerintah sehingga masih perlu dilihat lebih detail bagaimana aturan dan mekanisme pelarangannya akan dilakukan.
Selain itu, perlu pengawasan yang sangat ketat, termasuk kepada penjual eceran yang bisa bermunculan tanpa terdeteksi pemerintah. Keterlibatan berbagai stakeholder dapat dilakukan sebagai upaya mengawasi praktik di lapangan.
Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, belum ada kepastian pelarangan penjualan rokok batangan sebab masih dalam usulan. Upaya ini butuh dukungan berbagai sektor, tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak saja.
Aturan tegas
Peraturan pemerintah yang akan dibuat tahun 2023 juga akan mengatur ketentuan rokok elektronik. Selain itu, ada pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di media teknologi informasi; pengawasan iklan, promosi, sponsorship produk tembakau di media penyiaran, media dalam dan luar ruang, dan media teknologi informasi; penegakan dan penindakan; serta media teknologi informasi dan penerapan kawasan tanpa rokok (KTR).
Rencana pelarangan penjualan rokok batangan dinilai tidak cukup. Butuh peraturan pengendalian tembakau, seperti pengawasan KTR. Tercatat, sebanyak 75 kabupaten dan kota belum memiliki peraturan KTR. Daerah yang sudah memiliki KTR diharapkan mampu melaksanakannya dengan tegas.
Koordinator Advokasi Pengendalian Tembakau Center for Indonesia Strategic Developments Initiative (CISDI), Iman Mahaputra Zein, mengatakan, belum adanya tindakan tegas menjadi salah satu masalah dalam penerapan aturan KTR. Hal ini menyebabkan aktivitas merokok di ruang publik masih mudah ditemukan.
Tak hanya itu, sosialisasi KTR kepada masyarakat juga masih belum optimal di lapangan. Maka dari itu, aturan tegas yang disertai sanksi dibutuhkan karena merokok di ruang publik membahayakan banyak orang.