Upaya pengendalian tembakau perlu dijalankan secara tegas di seluruh wilayah. Untuk itu, pemerintah pusat perlu bertindak lebih untuk mengatur agar upaya pengendalian produk tembakau tidak dijalankan secara sporadis.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah sangat berperan untuk mengendalikan dampak buruk dari produk tembakau, khususnya dampak yang terjadi pada usia anak. Meski begitu, hal tersebut tidak akan mampu menurunkan prevalensi perokok anak jika hanya dilakukan secara sporadis. Ketegasan pemerintah pusat pun diperlukan agar upaya penguatan pengendalian tembakau bisa berjalan optimal di seluruh daerah.
Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun pada 2018 mencapai 9,10 persen. Angka itu meningkat dari sebelumnya 8,80 persen pada 2016 dan 7,20 persen pada 2013.
Meski secara nasional prevalensi perokok meningkat, di sejumlah daerah angkanya justru turun. Di Depok, misalnya, prevalensi perokok usia 10 tahun ke atas menurun dari 29,5 persen pada 2013 menjadi 27,7 persen pada 2018.
Wali Kota Depok Mohammad Idris di Jakarta, Rabu (2/2/2022), menyampaikan, penurunan prevalensi perokok tersebut bisa dicapai setelah Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) terbit dan mulai diimplementasikan dengan tegas.
”Terkait kegiatan-kegiatan KTR tentunya banyak kendala. Namun, kendala-kendala itu perlu diselesaikan dengan political will (kemauan politik) serta konsistensi menindak pelanggaran Perda Kawasan Tanpa Rokok itu,” ujarnya.
Adapun upaya yang dilakukan, antara lain, berupa edukasi terkait bahaya rokok ke sekolah, pelatihan generasi sehat tanpa asap rokok, survei dan pemantauan larangan pemajangan produk rokok, serta penguatan regulasi untuk larangan total iklan, promosi, dan sponsor rokok.
Idris mengatakan, upaya pengendalian produk tembakau yang dijalankan di wilayah Kota Depok semakin diperkuat melalui Perda Kota Depok Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Perda Kota Depok Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Dalam Perda No 2/2020 tersebut, jenis rokok yang diatur diperluas dengan memasukkan tidak hanya rokok konvensional, tetapi juga shisha, vape atau rokok elektrik, serta rokok sintetis lainnya.
Terkait dengan kegiatan-kegiatan KTR tentunya banyak kendala. Namun, kendala-kendala itu perlu diselesaikan dengan political will (kemauan politik) serta konsistensi untuk melakukan tindakan pada pelanggaran dari Perda Kawasan Tanpa Rokok itu,
Selain itu, larangan total pada iklan, promosi, dan sponsor rokok juga berlaku pada kegiatan yang diselenggarakan di Kota Depok, termasuk kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan dari perusahaan produk tembakau atau lembaga yang berhubungan dengan perusahaan rokok. Sanksi administrasi berupa penutupan reklame atau media iklan dan promosi yang melanggar ketentuan aturan KTR juga diperluas.
Ketegasan serupa dijalankan juga oleh Pemerintah Kota Bogor. Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, penerapan kebijakan yang diatur dalam Perda KTR merupakan hal penting untuk memastikan tujuan pengendalian rokok bisa tercapai dengan baik.
Upaya pengendalian rokok dilakukan secara komprehensif, mulai dari promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif. Secara struktural, upaya tersebut juga dilakukan dengan kolaborasi bersama aparatur dan dinas terkait di daerah.
”Kami juga mengajak keluarga untuk terus memproteksi anak dari paparan asap rokok. Kita perlu secara konsisten menghidupkan gerakan antirokok di seluruh penjuru kota agar masyarakat bisa secara sadar menjalankan aturan KTR tanpa harus ada razia,” ucap Bima.
Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Gerindra, Putih Sari, menyampaikan, ketegasan untuk mengendalikan produk tembakau perlu menjadi gerakan yang dijalankan di semua daerah. Kebijakan yang tegas perlu diatur dari pemerintah pusat.
Karena itu, ia pun mendorong agar revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan perlu segera diterbitkan. Aturan yang berlaku saat ini belum mampu mencegah dampak buruk dari konsumsi rokok.
”Dari revisi aturan itu, kita harus memperluas definisi rokok dengan memasukkan rokok elektrik. Selain itu, larangan penjualan rokok eceran juga perlu dipertegas. Ini penting untuk menekan konsumsi rokok di masyarakat, terutama pada anak,” ucapnya.
Putri Agrowisata Indonesia 2021 Yokbet Merauje menuturkan, percepatan revisi PP No 109/2012 mendesak dilakukan. Regulasi yang berlaku sudah tidak mampu mengendalikan konsumsi produk tembakau. Di lain sisi, perusahaan rokok kini sudah jauh berinovasi untuk semakin memperluas penjualan produk rokok.
”Butuh berapa banyak lagi masa depan anak Indonesia yang harus dikorbankan untuk segera merevisi PP No 109/2012. Jangan sampai masyarakat kita menjadi biasa dengan merokok,” ujarnya.