Tak Efektif Menekan Prevalensi Perokok Pemula, PP No 109/2012 Mesti Direvisi
Urgensi revisi aturan pengendalian tembakau semakin kuat, terutama untuk melindungi generasi masa depan dari ancaman konsumsi rokok.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan pengendalian tembakau yang berlaku di Indonesia terbukti tidak mampu menekan prevalensi perokok. Jumlah perokok pemula semakin meningkat dan jumlah kasus penyakit yang terkait dengan rokok juga bertambah. Sementara revisi aturan pengendalian tembakau yang ditujukan untuk mengendalikan konsumsi rokok tidak kunjung disahkan.
Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, prevalensi perokok anak usia 10-18 pada 2013 sebesar 7,20 persen. Kemudian, angka itu meningkat menjadi 8,80 persen pada 2016 dan naik lagi menjadi 9,10 persen pada 2018. Jika tidak ada intervensi, jumlah perokok anak ini bisa meningkat menjadi 15,95 persen pada 2030.
Aktivis kesehatan yang juga Menteri Kesehatan RI periode 2012-2014 Nafsiah Mboi, di Jakarta, Rabu (10/11/2021), mengatakan, regulasi yang berlaku di Indonesia sudah tidak relevan untuk menekan konsumsi produk tembakau di masyarakat. Karena itu, perlu revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
”PP No 109/2012 perlu segera diubah dan diperkuat pada beberapa pasal yang sekarang ini kurang efektif. Namun, masalahnya, mengapa revisi dari PP ini cenderung mangkrak dan terhambat? Padahal, aturan ini menjadi bentuk tanggung jawab pemerintah dalam melindungi masyarakat dari ancaman rokok,” katanya.
Menurut Nafsiah, terdapat tiga kedaruratan yang memperkuat urgensi revisi PP 109/2012. Itu meliputi kian meningkatnya beban biaya penyakit katastropik terkait rokok, memburuknya kondisi perokok yang terinfeksi Covid-19, dan ancaman kehilangan bonus demografi akibat tingginya perokok anak.
Nafsiah pun mengusulkan perubahan sejumlah pasal dalam PP No 109/2012. Perubahan tersebut, antara lain, memperluas peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok, melarang iklan rokok yang menyeluruh termasuk di media sosial, dan melarang penjualan produk tembakau pada anak.
PP No 109/2012 perlu segera diubah dan diperkuat pada beberapa pasal yang sekarang ini kurang efektif. Namun, masalahnya, mengapa revisi dari PP ini cenderung mangkrak dan terhambat?
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menambahkan, proses revisi PP No 109/2012 yang tidak kunjung usai menimbulkan pertanyaan akan komitmen dan keberpihakan pemerintah untuk melindungi masyarakat konsumen di Indonesia. Proses revisi aturan tersebut sudah berlangsung sejak 2018, tetapi hingga kini belum ada tanda revisi PP No 109/2012 akan disahkan.
”Kami mempertanyakan keseriusan pemerintah karena terbukti peraturan pemerintah yang mengatur hulu hingga hilir mengenai masalah tembakau ini sudah terkatung-katung selama dua tahun lebih. Ini masalah yang serius,” ucapnya.
Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali menuturkan, proses revisi PP No 109/2012 terus berjalan. Saat ini, revisi aturan tersebut sudah diserahkan kepada presiden melalui pengajuan izin prakarsa di Kementerian Sekretaris Negara.
Adapun materi revisi adalah memperbesar ukuran peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok hingga mencapai 90 persen; mengatur iklan, promosi, dan sponsor rokok yang lebih komprehensif, terutama yang muncul melalui teknologi digital; serta mengatur rokok elektrik. Kemudian, meningkatkan pengawasan produksi dan iklan rokok serta memperkuat edukasi bahaya rokok.
”Kami dari Kementerian Kesehatan terus berupaya agar revisi PP No 109/2012 bisa dipercepat. Intinya, Kemenkes sudah mengajukan izin prakarsa untuk revisi PP tersebut dan saat ini kami tunggu hasilnya,” ujar Imran.