Kecerdasan Buatan untuk Deteksi Gagal Jantung
Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengembangkan model “Learning Intelligent for Effective Sonography” untuk menilai validitas model kecerdasan buatan dalam diagnosis gagal jantung.
Deteksi dini dan cepat gagal jantung amat penting untuk mencegah terjadinya perburukan dan kematian pasien. Organisasi Kesehatan Dunia menyebutkan, penyakit kardiovaskular menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia dengan angka kematian yang diperkirakan 17,9 juta setiap tahun.
Sebagian besar kematian terjadi akibat progresivitas penyakit kardiovaskular berupa penurunan fungsi bilik jantung (ventrikel) yang menyebabkan jantung tidak mampu memompa darah ke seluruh tubuh. Kondisi itu disebut juga sebagai gagal jantung.
Gagal jantung biasanya baru terdiagnosis ketika gejala klinis muncul karena spektrum klinisnya yang luas. Pada tahap awal, pasien gagal jantung sering mengalami gejala yang sangat ringan, bahkan tanpa gejala atau asimtomatik. Itu sebabnya, pasien sering terlambat terdeteksi.
Laporan Current Heart Failure Report (2022) berjudul “Epidemiologi Gagal Jantung Asimtomatik: Tinjauan Sistematis” menyebutkan, sebanyak 54 persen dari total pasien gagal jantung merupakan kelompok gagal jantung asimptomatik dengan risiko tinggi gagal ginjal yang luput dari diagnosis. Sementara, hanya 12,2 persen pasien gagal jantung menunjukkan gejala dan refrakter yang teridentifikasi. Sebanyak 25-50 persen pasien pun memerlukan rawat inap kembali atau rawat ulang dalam waktu enam bulan.
Baca juga: Perkuat Pencegahan dan Pengobatan Gagal Jantung
Karena itu, diagnosis gagal jantung yang cepat dan tepat sangat diperlukan. Dalam deteksi pun sangat penting untuk bisa membedakan gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVKi) menurun atau tidak. Itu karena kedua jenis gagal jantung tersebut membutuhkan tata laksana yang berbeda.
Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Lies Dina Liastuti ketika mempertahankan disertasinya yang berjudul “Model Kecerdasan Buatan Learning Intelligent for Effective Sonography (LIFES) untuk Deteksi Cepat Gagal Jantung pada Teknik Ekokardiografi” di Jakarta, Kamis (15/12/2022) menyampaikan, sejumlah pemeriksaan penunjang bisa dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis gagal jantung pada seseorang. Pemeriksaan tersebut, antara lain dengan ekokardiografi yang dapat menilai fungsi sistolik ataupun diastolik jantung. Atas disertasinya, Lies dinyatakan lulus dengan yudisium cum laude.
Akan tetapi, pemeriksaan ini memiliki keterbatasan karena sensitivitas untuk menghitung FEVKi terkait perubahan kecil pada fungsi kontraktil (otot) jantung tergolong rendah. Sebaran dokter spesialis jantung juga belum merata.
Metode lain yang lebih sensitif bisa dilakukan dengan speckle tracking parameter 2D strain dan global longitudinal strain. Pengukuran dengan dua metode tersebut dapat memberikan resolusi yang lebih baik. Sensitivitasnya juga lebih tinggi.
Baca juga: Konsumsi Alkohol Dikaitkan dengan Peningkatan Risiko Gagal Jantung
Meski begitu, Lies yang saat ini juga menjabat sebagai Direktur RS Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, menuturkan, penggunaan metode global longitudinal strain (GLS) masih terbatas di Indonesia. Tidak semua fasilitas pelayanan kesehatan memiliki alat ekokardiografi canggih yang dapat menilai GLS. Kendala lainnya masalah biaya.
“Oleh karena itu perlu dipikirkan cara deteksi gagal jantung yang dapat dilakukan dokter di daerah perifer. Salah satunya dengan memanfaatkan teknologi berbasis model kecerdasan buatan,” tutur Lies.
Kecerdasan buatan
Menurut dia, penerapan kecerdasan buatan di bidang kardiologi sudah banyak diteliti dan terbukti membantu penegakan diagnosis gagal jantung. Efisiensi manajemen klinis dan pelayanan pasien juga bisa meningkat.
Selain itu, implementasi kecerdasan buatan memiliki manfaat lain, seperti menurunkan biaya, memperkecil kesalahan diagnosis, mencegah tingkat positif palsu, dan meningkatkan efisiensi waktu. Sayangnya, penelitian dan algoritma kecerdasan buatan untuk deteksi gagal jantung berdasarkan video ekokardiografi di Indonesia belum tersedia.
“Hal ini mendorong pelaksanaan penelitian yang merupakan kolaborasi dari FKUI dan Fakultas Ilmu Komputer UI untuk melakukan studi kecerdasan buatan dalam bidang diagnostik kardiovaskular. Penelitian LIFES pun dilakukan untuk mendeteksi dini gagal jantung,” tutur Lies.
Baca juga: Manfaat Diet Rendah Garam pada Pasien Gagal Jantung
Penelitian LIFES dilakukan untuk membedakan tiga kondisi pasien, yakni normal, pasien gagal jantung dengan penurunan FEVKi, dan pasien gagal jantung tanpa penurunan FEVKi. Metode ini juga diharapkan dapat membantu tenaga kesehatan di daerah perifer sehingga alur rujukan bisa dipangkas sekaligus mempercepat diagnosis pada pasien.
Perlu dipikirkan cara deteksi gagal jantung yang dapat dilakukan dokter di daerah perifer. Salah satunya dengan memanfaatkan teknologi berbasis model kecerdasan buatan.
Lies mengatakan, penelitian terkait LIFES dilakukan dalam dua fase. Setiap fase akan menghasilkan dua model, yakni LIFES 1 yang bertujuan membedakan diagnosis gagal jantung dan normal serta model LIFES 2 untuk membedakan pasien gagal ginjal dengan FEVKi menurun, gangguan ginjal dengan FEVKi terjaga, dan normal.
Penelitian fase pertama dilakukan pada Maret-Juli 2921 di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dengan menganalisis video ekokardiografi pasien. Fase kedua dilakukan pada Desember 2021-Januari 2022 di 10 rumah sakit, antara lain, RSUPN Cipto Mangunkusumo, RS UI, RSUD Tarakan, RSUP Dr Kariadi, RSUP Dr Sardjito, dan RSUP Sanglah.
Secara teknis, model LIFES dilakukan dengan metode deep learning atau pembelajaran mendalam menggunakan algoritma visual geometry group 16 (VGG-16). Uji diagnostik dilakukan dengan desain potong lintang. Dengan metode tersebut, pada fase pertama dilakukan analisis 141 rekaman video ekokardiografi sedangkan pada fase kedua dianalisis 685 video. Data yang terkumpul pun dimasukkan ke dalam mesin pembelajaran untuk diolah.
Hasil uji diagnostik menunjukkan, model LIFES 1 dan LIFES 2 mempunyai perbedaan kemampuan diagnostik. Model LIFES 1 memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan aspek spesifisitas atau keakuratan. Untuk itu, model ini dinilai lebih cocok digunakan sebagai alat penapisan gagal jantung.
Berbeda dengan itu, model LIFES 2 memiliki keakuratan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sensitivitasnya sehingga lebih cocok digunakan sebagai alat diagnostik gagal jantung. “Simpulannya, model LIFES 1 memiliki validitas tinggi dan sesuai dengan konsensus ahli dalam mendiagnosis gagal jantung secara cepat dan model LIFES 2 dapat membedakan kasus gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri menurun dan gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri terjaga,” kata Lies.
Baca juga: Tidur Sehat Kurangi Risiko Gagal Jantung
Ia menambahkan, model LIFES dapat diterapkan pada berbagai mesin ekokardiografi. Ia berharap model ini dapat mempercepat pengambilan keputusan diagnosis gagal jantung di waktu mendatang. Dari penelitian yang dilakukan, pemrosesan model LIFES memakan waktu 0,15 sampai 0,19 detik untuk memprediksi satu sampel.
Model LIFES juga bisa dijadikan implementasi awal kecerdasan buatan di bidang ekokardiografi untuk membantu rumah sakit jejaring di Indonesia yang belum memiliki dokter spesialis jantung. Lies pun berharap agar penelitian lebih lanjut bisa dilakukan dengan menggunakan video fungsi jantung yang diambil dari mesin USG buatan dalam negeri. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah yang akan menempatkan mesin USG di fasilitas kesehatan primer.
Pengembangan model ke perangkat bergerak (mobile) juga bisa dilakukan selanjutnya. Dengan begitu, penegakan diagnosis gagal jantung pun bisa lebih mudah dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas yang terbatas.
Guru Besar Tetap Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah FKUI, Bambang Budi Siswanto, yang juga menjadi promotor Lies Dina Liastuti menyampaikan, data terkini menunjukkan, prevalensi rawat ulang dan kematian akibat gagal jantung di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara dan Asia. Dalam setahun terakhir, angka rawat ulang pada pasien gagal jantung mencapai 50 persen dan kematian mencapai 30 persen dalam setahun.
Oleh sebab itu, temuan aplikasi LIFES diharapkan dapat meningkatkan upaya diagnosis dini serta pencegahan yang cepat dan tepat kondisi gagal jantung. Temuan ini juga dapat meningkatan daya saing Indonesia dengan negara lain di bidang kesehatan.
Akan tetapi, berbagai dukungan sangat diperlukan untuk mendukung pemanfaatan aplikasi tersebut. “Agar pemanfaatannya bisa optimal memang diperlukan jaringan internet yang kuat untuk menyentuh daerah perifer,” kata Bambang.