Novel Berbahasa ”Panginyongan” Diterbitkan di Banyumas
Novel ”Kaki Tupon lan Nini Rikem” karya Umi Asmarani diluncurkan di Banyumas, Jateng. Novel berbahasa Banyumasan ini diterbitkan untuk melestarikan bahasa daerah.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Novel berjudul ”Kaki Tupon lan Nini Rikem” karya Sumiyati (44) alias Umi Asmarani diterbitkan di Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (24/12/2022). Novel menggunakan bahasa Panginyongan atau bahasa Banyumasan yang juga dikenal dengan bahasa ngapak ini diterbitkan untuk melestarikan bahasa daerah supaya tidak punah.
”Tujuan saya menulis novel berbahasa Banyumas adalah untuk melestarikan bahasa daerah supaya jangan sampai hilang dan punah,” kata Sumiyati saat menerbitkan novel di Gubug Carablaka di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas.
Sumiyati, yang juga penulis novel ”Istri Suamiku” dan ”Bukan Menantu Idaman” di aplikasi Noveltoon itu, menyebutkan, cerita tentang ”Kaki Tupon lan Nini Rikem” atau dalam bahasa Indonesia berarti Kakek Tupon dan Nenek Rikem telah ditayangkan juga secara daring lewat media sosial Facebook.
”Novel ini mengisahkan kehidupan keluarga penderes kelapa yang bisa menyekolahkan keempat anaknya hingga perguruan tinggi,” kata Sumiyati.
Menurut Sumiyati, kisah yang diramu dalam novel terbitan Satria Publisher tersebut merupakan kumpulan memori dari masa kecilnya pada periode 1980-an. Dirinya lahir dari seorang bapak yang bekerja sebagai penderes kelapa dan ibunya seorang pembuat gula merah. ”Ini baru jilid satu, nanti akan ada jilid-jilid berikutnya,” ujarnya.
Lewat novel setebal 202 halaman itu, Sumiyati tak hanya menggambarkan penderitaan dari keluarga miskin di perdesaan, tetapi juga ingin menyampaikan betapa keras perjuangan orangtua agar dapat menyekolahkan anaknya hingga menjadi orang sukses. ”Rintangan apa pun bisa dilewati sampai nanti anak-anak mereka jadi orang sukses,” tuturnya.
Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, mengapresiasi terbitnya novel berbahasa Panginyongan itu lantaran bahasa daerah kini terancam punah dan perlu terus dilestarikan. Bahasa daerah, menurut dia, adalah puncak dari kebudayaan daerah.
”Puncak kebudayaan daerah itu bukan lengger, bukan ebeg (kuda lumping), tetapi bahasa itu sendiri yang menjadi utama. Kesenian tradisional seperti lengger dan ebeg itu ada parikan (puisi rakyat) menggunakan bahasa Banyumas,” ujar Tohari yang juga penulis novel ”Ronggeng Dukuh Paruk”.
Menurut Tohari, untuk memajukan suatu bangsa, dibutuhkan gerakan literasi yang masif. Lewat membaca dan menulis, seseorang dituntut untuk kreatif sekaligus peka terhadap kearifan juga kegelisahan yang ada di sekitarnya. Selain itu, lewat membaca dan menulis, menurut Tohari yang mengutip peribahasa Latin “Scripto ergo sum” (aku menulis, maka aku ada), seseorang tidak akan lenyap ditelan zaman.
Wakil Bupati Banyumas Sadewo Tri Lastiono juga menyambut baik peluncuran novel berbahasa banyumas tersebut. Dia menyebutkan, bahasa merupakan cermin peradaban. ”Di dalam bahasa terkandung nilai-nilai yang terakumulasi dari masa lampau hingga masa kini. Oleh karena itu, mengkaji bahasa dan segala aspek yang terkait dengannya akan membuka jalan untuk menguatkan kembali jati diri bangsa,” katanya.
Seperti diberitakan Kompas.id (18/3/2022), Indonesia memiliki 718 bahasa daerah. Angka ini belum termasuk variasi dialek setiap bahasa. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara paling multilingual kedua setelah Papua Niugini yang memiliki lebih dari 800 bahasa daerah.
Dari 718 bahasa daerah di Indonesia, sebanyak 25 bahasa terancam punah, 6 bahasa kritis, dan 11 bahasa dinyatakan punah. Kepunahan terjadi karena bahasa daerah tidak digunakan lagi, tidak diwariskan ke generasi selanjutnya, dan karena penuturnya menganggap penggunaan bahasa daerah tidak mendesak.