Ada beragam cara agar bahasa daerah menarik buat digunakan dan diajarkan. Kreativitas menjadi kuncinya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Budaya bertutur dalam bahasa daerah biasanya pudar atau hilang di generasi tertentu. Alasannya beragam, mulai dari kawin campur, bahasa tidak lagi digunakan, hingga globalisasi. Lantas, bagaimana agar bahasa daerah tidak hilang dan punah?
Siswi SMP Negeri 2 Boyolali di Jawa Tengah, Bunga Salsabila, beberapa kali diundang stasiun televisi. Personanya sebagai food vlogger yang medok menarik perhatian publik. Sebab, tak banyak vlogger yang bicara bahasa Jawa secara penuh dan konsisten di setiap konten.
Saya harap konten yang saya buat bisa menjadi motivasi teman-teman agar bangga berbahasa daerah. Saya sendiri punya cita-cita menjadi guru bahasa Jawa. (Bunga Salsabila)
Kanal Youtube Bunga Salsabila per Jumat (18/3/2022) telah mengunggah 759 video. Pelanggannya ada lebih dari 40.000 akun. Kolom komentarnya, antara lain, berisi kekaguman warganet atas kemampuan Bunga berbahasa Jawa halus.
Menurut Bunga, saat ini tidak banyak anak muda yang mau menggunakan bahasa daerah mereka. Sebagian anak muda lebih gemar belajar bahasa asing. Ia khawatir bahasa daerah perlahan hilang lantas punah.
”Saya harap konten yang saya buat bisa menjadi motivasi teman-teman agar bangga berbahasa daerah. Saya sendiri punya cita-cita menjadi guru bahasa Jawa,” kata Bunga pada diskusi daring berjudul Revitalisasi Bahasa Daerah, Kamis (17/3/2022).
Menurut pengurus Perkumpulan Pendidik Bahasa Daerah Indonesia sekaligus guru bahasa Sunda di SMP Negeri 4 Subang, Risnawati, tidak semua generasi muda mau berbahasa daerah. Selain dianggap kurang ”prestisius”, anak muda pun kesulitan karena bahasa daerah bervariasi. Ada bahasa halus yang hanya digunakan ke orang yang lebih tua atau yang dihormati. Ada pula bahasa sehari-hari yang hanya digunakan sesama teman.
Kendala lain adalah adanya anggapan bahwa pelajaran bahasa daerah tidak ”sepenting” pelajaran wajib lain. Itu sebabnya, guru mesti pintar-pintar mencari cara agar siswa tertarik belajar bahasa daerah.
”Saya menginventarisasi 40 kata dasar berbahasa Sunda yang bisa digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari. Kata-kata itu dijadikan lagu, lalu kami nyanyikan bersama di kelas sebelum pelajaran,” kata Risnawati.
Pelajaran Bahasa Sunda di kelas pun berlangsung cair. Kadang pelajaran dilakukan sambil berbincang santai. Topiknya boleh apa saja. Semua siswa di kelas boleh berkomentar atau menyatakan gagasan, tetapi harus disampaikan dengan bahasa Sunda.
Pelajaran kadang juga dilakukan sambil bernyanyi. Lirik lagu yang sedang tenar diterjemahkan ke bahasa Sunda, lalu dinyanyikan bersama-sama.
”Menurut saya, pembelajaran tidak terbatas pada sekat ruang kelas. Kapan pun anak butuh konsultasi atau bertanya, saya akan layani. Pembelajaran bahasa daerah di sekolah, bagi saya, media paling efektif untuk melestarikan budaya,” kata Risnawati.
Media belajar
Menurut Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi E Aminudin Aziz, bahasa ibu (dalam hal ini bahasa daerah) dapat jadi media belajar yang efektif bagi anak. Menurut sejumlah survei, penggunaan bahasa ibu meningkatkan capaian belajar anak.
Ini tampak dari Survei Inovasi Pendidikan dan Pembelajaran Indonesia (SIPPI) di Sumba Timur. Survei tahap awal dilakukan pada September-Oktober 2018, sementara survei akhir pada September-Oktober 2019.
Laporan survei menyatakan, 83 persen anak sekolah di sana menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Pada survei akhir, kelulusan asesmen literasi dasar pada siswa yang belajar dengan bahasa ibu lebih tinggi dari yang berbahasa Indonesia. Proporsi peningkatan kelulusan siswa yang berbahasa ibu sebesar 2,93 kali, sementara yang berbahasa Indonesia 2,5 kali.
Aminudin mendorong agar generasi muda tidak hanya berbahasa Indonesia, tetapi juga berbahasa daerah. ”Orang yang dwibahasa atau multilingual memiliki daya pikir yang lebih kompleks dan cepat dibandingkan dengan orang yang monolingual,” katanya.