Mimpi Kemerdekaan Pers Dihantui ”Ranjau” Regulasi
Seperti tahun lalu, Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia 2022 belum bisa menembus kategori bebas. Jalan menuju mimpi kemerdekaan pers seutuhnya masih dihantui ”ranjau-ranjau” regulasi.
Indeks Kemerdekaan Pers atau IKP Indonesia 2022 naik 1,86 poin dari tahun lalu menjadi 77,88 poin. Namun, capaian itu belum masuk kategori bebas yang membutuhkan 90-100 poin. Jalan menuju mimpi kemerdekaan pers seutuhnya masih dihantui “ranjau-ranjau” regulasi.
Seperti tahun lalu, IKP Indonesia 2022 masih terkunci dalam kategori cukup bebas. Berbagai masalah, mulai dari kekerasan terhadap wartawan, minimnya jaminan kesejahteraan jurnalis, hingga ancaman jeratan regulasi terus membayangi.
Pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjadi “kado pahit” bagi komunitas pers Tanah Air saat memasuki pengujung tahun ini. Sejumlah pasal bermasalah yang bolak-balik dikritik tetap saja diloloskan.
Padahal, Dewan Pers telah menyarankan reformulasi 11 kluster dan 17 pasal dalam RKUHP karena berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Namun, masukan yang telah diserahkan ke pemerintah dan DPR itu tidak ditanggapi balik. Masih ada tenggat waktu tiga tahun sebelum KUHP baru itu berlaku efektif.
Baca juga : Kenaikan Indeks Kemerdekaan Pers Dibayangi Sejumlah Persoalan
Peneliti Pemantau Regulasi dan Regulator Media sekaligus dosen ilmu komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Wendratama mengatakan, sejumlah pasal dalam KUHP serta UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berpotensi mengancam jurnalis. Salah satunya, pasal 264 KUHP yang mengatur tentang kelengkapan berita.
Pasal itu berbunyi, “Setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak kategori III”. Dalam pasal 79 disebutkan, denda kategori ini maksimal Rp 50 juta.
“Ini adalah contoh ancaman regulasi bagi jurnalis,” ujarnya dalam webinar ‘Pers dalam Ancaman Kekerasan Digital’, Rabu (21/12/2022).
Wendratama mempertanyakan definisi dan batasan dari ketentuan berita tidak lengkap tersebut. Sebab, dalam pemberitaan tertentu seperti breaking news, berita akan disampaikan bertahap dan bergulir sesuai informasi terbaru yang diperoleh.
“Menjadi tidak lengkap karena terus mengejar kebaruan. Itu sesuatu yang alamiah dalam jurnalistik,” katanya.
Beberapa pasal KUHP lainnya yang berpotensi menjadi “ranjau” bagi pers adalah pasal 240 dan 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah, pasal 218, 219, dan 220 mengenai penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, serta pasal 280 tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan. Ada juga pasal 263 terkait penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong serta pasal 300, 301, dan 302 yang mengatur tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.
“Perlu upaya mengadvokasi pasal KUHP yang bermasalah itu untuk segera dicabut karena berbahaya,” katanya.
Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, jika pasal-pasal bermasalah itu dipertahankan, sangat potensial mengkriminalisasi kerja-kerja jurnalistik. Oleh karenanya, pemerintah dan DPR didorong membuka ruang partisipasi untuk mengubah pasal-pasal tersebut sebelum KUHP baru diberlakukan.
“Masih ada jeda waktu tiga tahun sebelum pemberlakuan (UU KUHP). Buka ruang partisipasi untuk melakukan perubahan atas beberapa pasal yang krusial,” ujarnya.
Sejumlah masalah yang dihadapi media dan jurnalis sepanjang tahun ini bukan sekadar refleksi. Hal itu juga patut dijadikan momentum pembenahan di berbagai lini untuk memastikan upaya mewujudkan mimpi kemerdekaan pers membawa harapan lebih benderang di tahun mendatang.
Dewan Pers juga menyarankan agar dilakukan simulasi kasus atas beberapa ketentuan yang akan dirumuskan dalam KUHP. Hal ini penting untuk melihat potensi kriminalisasi terhadap jurnalis jika dihadapkan pada pasal-pasal bermasalah tersebut.
Dalam seminar ‘Jurnalisme di Bawah Kepungan Digital’, di Jakarta, Jumat (9/12/2022), Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Usman Kansong mengatakan, KUHP tidak spesifik mengatur pers. Oleh karenanya, pers tetap diatur menggunakan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sementara terkait pasal penghinaan, menurut dia, hal itu berbeda dengan mengkritik. Pasal penghinaan dalam KUHP, termasuk terhadap presiden dan wakil presiden, merupakan delik aduan. Artinya, orang bersangkutan yang merasa dihina yang melaporkan atas pasal tersebut.
Ironi
Pengesahan KHUP baru dengan sejumlah pasal bermasalah menjadi ironi di tengah masih tingginya kekerasan serta serangan terhadap jurnalis dan media. Bahkan, serangan tersebut mulai marak merambah rana digital.
Baca juga : Serangan Digital terhadap Media dan Jurnalis Semakin Masif
Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mencatat berbagai serangan digital yang menyasar wartawan dan media pada tahun ini. Bentuknya berupa peretasan, DDos (distributed denial of service) atau penolakan layanan secara terdistribusi, dan chat bombing atau gelontoran pesan berisi tautan dan beragam konten dari nomor yang tidak dikenal.
Safenet, salah satu anggota KKJ, mencatat tren serangan digital di Indonesia, termasuk terhadap media dan jurnalis, selalu meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Terdapat 263 kasus hingga kuartal ketiga 2022. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun lalu dengan 193 kasus dan pada 2020 sebanyak 147 kasus.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH) Pers Ade Wahyudin mengatakan, serangan digital paling masif tahun ini dialami 37 kru redaksi dan eks karyawan Narasi TV pada September lalu. Akun media sosial mereka diretas. Situs web Narasi juga menerima serangan DDoS sehingga sempat down dan mengganggu kerja redaksinya.
Serangan digital terhadap komunitas pers bukanlah yang pertama. Dua tahun lalu, situs web Tempo.co dan Tirto.id juga diretas. Kasus ini sudah dilaporkan ke polisi.
“Hingga saat ini prosesnya masih jalan di tempat. Belum ada progres berarti,” ucapnya.
Ancaman kemerdekaan pers lainnya adalah penyusupan intelijen ke institusi media. Menurut Ade, hal ini menjadi masalah serius setelah terkuaknya kasus eks kontributor TVRI, Iptu Umbaran Wibowo, yang dilantik menjadi Kepala Polsek Kradenan, Blora, Jawa Tengah, pada 12 Desember lalu.
Iptu Umbaran menyamar sebagai jurnalis selama 14 tahun atas dalih menjalankan tugas dari institusi. Hal ini dikecam banyak pihak karena dianggap mengangkangi kebebasan pers.
Ade menambahkan, kasus tersebut harus diusut sekaligus menjadi peringatan untuk memperketat perekrutan dan uji kompetensi wartawan. Sebab, jika dibiarkan dan penyusupan intelijen terus berulang, sangat berisiko menggerus kepercayaan publik pada pers.
Baca juga : Dari Intel Tukang Bakso ke Intel Wartawan
Dewan Kehormatan PWI, organisasi wartawan Iptu Umbaran bernaung, telah memberhentikan Umbaran dari keanggotaan PWI. Hasil uji kompetensi wartawan yang bersangkutan juga dicabut.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, menyampaikan, teknis penugasan intelijen memang berlangsung tertutup. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga negara-negara lain (Kompas.id, 22/12/2022).
“Menyangkut masalah kebebasan pers di Jateng, berlangsung sangat baik. Di Blora, hubungan komunikasi dengan media tidak ada kendala dan berjalan dengan baik,” ujarnya.
Sejumlah masalah yang dihadapi media dan jurnalis sepanjang tahun ini bukan sekadar refleksi. Hal itu juga patut dijadikan momentum pembenahan di berbagai lini untuk memastikan upaya mewujudkan mimpi kemerdekaan pers membawa harapan lebih benderang di tahun mendatang.