Kisah intel menyaru sebagai tukang bakso tidak asing bagi sebagian masyarakat. Kini, warga disuguhi cerita baru tentang ”intel wartawan” seusai dilantiknya Iptu Umbaran Wibowo menjadi kapolsek di Blora, Jawa Tengah.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Cerita tentang intelijen yang menyamar sebagai tukang bakso sangat familiar bagi masyarakat Indonesia. Bahkan, hal ini sering dijadikan lelucon atau jokes ketika ada seseorang atau pihak yang mengkritik kebijakan pemerintah. Kini, jokes itu mulai dikaitkan dengan profesi jurnalis setelah munculnya kasus wartawan yang dilantik menjadi kepala polsek di Blora, Jawa Tengah.
Sejumlah gambar pedagang bakso akan ditampilkan oleh mesin pencari web ketika kita menggunakan kata kunci ”intel menyamar”. Tidak begitu jelas siapa yang pertama kami membangun narasi ini. Namun, cerita tersebut tidak asing bagi sebagian besar warga.
Pelantikan eks kontributor TVRI, Iptu Umbaran Wibowo, menjadi Kepala Polsek Kradenan di Markas Kepolisian Resor Blora, Jateng, Senin (12/12/2022), mengejutkan publik. Kasus ini tidak hanya menjadi topik pemberitaan media massa nasional dan lokal, tetapi juga obrolan keseharian masyarakat.
Komentar warganet pun membanjiri postingan akun media sosial sejumlah media terkait penyamaran intelijen Polri itu. Reaksinya beragam, mulai dari mengecam, memaklumi karena bagian dari tugas memata-matai, hingga mencurigai hal serupa terjadi di media lain.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin mengecam penyusupan intelijen ke lembaga pers. Sebab, dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan harus menerapkan independensi untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan lembaga tertentu.
Ade menuturkan, masyarakat Indonesia sering disuguhi jokes mengenai intelijen yang menyamar sebagai tukang bakso. Dalam narasi ini, pedagang bakso biasanya digambarkan sedang memegang alat komunikasi gelombang radio handy talkie (HT) untuk melaporkan informasi yang dikumpulkan.
”Bisa-bisa jokes intel tukang bakso itu hilang diganti oleh intel wartawan yang sekarang ramai dibicarakan,” ujarnya, Jumat (16/12/2022).
Menurut Ade, penyamaran Umbaran sebagai wartawan selama belasan tahun tidak dapat dimaklumi dengan alasan menjalankan tugas dari institusi. Ia juga mempertanyakan urgensi Polri ”menanam” intelijen di lembaga pers di Blora.
Pers memiliki imunitas dan hak atas kemerdekaan dalam melakukan kerja-kerjanya. Dengan menyusupkan polisi pada media, kepolisian juga telah mengabaikan hak atas kemerdekaan pers.
”Mungkin sebelum reformasi, penyamaran seperti itu sering terjadi. Namun, mendengar kejadian ini pascareformasi, tentu membuat shock,” katanya.
Kasus ini semakin menyentak publik karena Umbaran terdaftar sebagai wartawan madya di TVRI Jateng. Berdasarkan laman dewanpers.or.id, Umbaran mendapatkan sertifikasi wartawan melalui lembaga uji Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dengan nomor 8953-PWI/WDya/DP/I/2018/19/10/84.
Beberapa hari setelah kasus ini ramai dibicarakan, Dewan Kehormatan PWI memberhentikan Umbaran dari keanggotaan PWI. Hasil uji kompetensi wartawan yang bersangkutan juga dicabut.
Menurut Ade, kasus ini bisa bermuara pada terkikisnya kepercayaan publik terhadap media. Padahal, selama ini masyarakat menjadikan media sebagai saluran untuk menyuarakan aspirasinya.
”Jika nanti ada jurnalis mewawancarai masyarakat, jangan salahkan publik ketika ragu dan bertanya wartawan tersebut intelijen atau bukan. Sebab, hal seperti ini dibangun sendiri oleh pemerintah,” ucapnya.
Cara kotor
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendesak pemerintah menghentikan cara kotor menyusupkan intel ke institusi pers. Penyusupan anggota Polri itu menyalahi aturan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 6 UU Pers menyebutkan, pers nasional memiliki peranan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
”Selain itu, pers memiliki imunitas dan hak atas kemerdekaan dalam melakukan kerja-kerjanya. Dengan menyusupkan polisi pada media, kepolisian juga telah mengabaikan hak atas kemerdekaan pers,” ujar Ketua Umum AJI Sasmito Madrim melalui keterangan pers.
Atas kejadian itu, Dewan Pers didorong memastikan aparat keamanan lain, seperti TNI dan badan intelijen lainnya, tidak menyusupkan anggotanya ke lembaga pers. Perusahaan media juga perlu menyeleksi lebih ketat dengan memperhatikan latar belakang wartawan.
Kepolisian Daerah Jateng membenarkan Umbaran Wibowo merupakan anggota Polri. ”Iptu Umbaran pernah ditugaskan melaksanakan tugas intelijen di wilayah Blora. Yang bersangkutan pernah menjabat kepala unit intelijen di Polres Blora. Sejak Juli 2022, (Umbaran) menjabat wakil kepala polsek di Blora, kemudian pada Senin dilantik menjadi Kapolsek Kradenan,” ujar Kepala Bidang Humas Polda Jateng Komisaris Besar M Iqbal Alqudusy.
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Arif Zulkifli sangat menyesalkan kasus penyamaran intelijen Polri ke institusi pers tersebut. ”Jadi, selama 14 tahun masyarakat mengonsumsi berita dari seorang kontributor TVRI, lembaga penyiaran negara, yang pelaku atau wartawannya tidak independen. Padahal, independensi itu mandat dari UU No 40/1999 tentang Pers,” ujarnya.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo menyampaikan, teknis penugasan intelijen memang berlangsung tertutup. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain.
”Menyangkut masalah kebebasan pers di Jateng, berlangsung sangat baik. Di Blora, hubungan komunikasi dengan media tidak ada kendala dan berjalan dengan baik,” ujarnya.
Kerahasiaan menjalankan tugas intelijen menjadi alasan penyamaran Umbaran Wibowo ke institusi pers selama 14 tahun. Namun, pemakluman alasan ini sebagai jalan pintas ”menabrak” ketentuan independensi wartawan dalam kode etik jurnalistik yang juga diatur oleh UU berpotensi menghadirkan preseden buruk bagi kebebasan pers di Tanah Air.