Evaluasi Uji Kompetensi Wartawan agar Penyusupan Intelijen Tak Berulang
Penyamaran intelijen ke institusi pers yang terjadi di Blora, Jawa Tengah, menjadi alarm untuk mengevaluasi perekrutan dan uji kompetensi wartawan. Kejadian ini berpotensi menggerus kepercayaan publik kepada media massa.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyusupan intelijen ke institusi pers berpotensi menggerus kepercayaan publik kepada media massa. Kasus eks kontributor TVRI, Iptu Umbaran Wibowo, yang kemudian dilantik sebagai Kepala Polsek Kradenan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, patut dijadikan pelajaran penting dalam mengevaluasi perekrutan dan uji kompetensi wartawan agar kasus serupa tidak berulang.
Pelantikan Umbaran menjadi Kepala Polsek Kradenan di Markas Kepolisian Resor Blora, Senin (12/12/2022), mengejutkan publik. Sebab, ia diketahui menjadi kontributor TVRI selama 14 tahun.
Berdasarkan laman dewanpers.or.id, Umbaran mendapatkan sertifikasi wartawan melalui lembaga uji Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dengan nomor 8953-PWI/WDya/DP/I/2018/19/10/84. Ia terdaftar sebagai wartawan madya di TVRI Jateng.
”Ini pukulan yang cukup berat untuk lembaga kompetensi dan Dewan Pers sebagai lembaga pengampu. Hal ini harus dievaluasi,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin di Jakarta, Jumat (16/12/2022).
Menurut Ade, evaluasi sangat penting karena kasus penyamaran itu bisa mengurangi kepercayaan publik kepada pers. Ia mencontohkan, dalam liputan investigasi sering sekali narasumber memberikan informasi terbatas dan meminta identitasnya tidak diungkap. Dengan adanya kasus ini, masyarakat dikhawatirkan tidak leluasa, bahkan enggan menyampaikan informasi karena mencurigai wartawan yang meliput adalah intelijen.
”Jangan sampai kasus ini mencoreng kepercayaan terhadap wartawan yang sudah menjalankan tugas jurnalistik dengan baik. Kejadian ini bagian dari pencemaran institusi pers,” katanya.
Menurut Ade, penyusupan anggota Polri ke dalam institusi pers menyalahi aturan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 6 undang-undang itu menyebutkan, pers nasional memiliki peranan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Evaluasi sangat penting karena kasus penyamaran itu bisa mengurangi kepercayaan publik kepada pers.
”Pelaku telah menyalahgunakan UU Pers untuk kepentingannya. Ini harus diproses secara serius, bukan sebatas klarifikasi, sehingga ke depan tidak ada lagi intelijen masuk ke perusahaan pers dan mendapatkan sertifikasi wartawan,” jelasnya.
Mengangkangi UU Pers
Ade menambahkan, meskipun tugas intelijen adalah memata-matai, tetapi bukan berarti bebas mengangkangi UU Pers. Sebab, pers juga bekerja untuk kepentingan publik, terutama dalam memenuhi hak masyarakat untuk tahu.
”Di sinilah Dewan Pers dan PWI harus bersikap keras terkait kondisi ini. Pelaku sudah melanggar peraturan dan kasusnya cukup mengguncang publik,” ucapnya.
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Arif Zulkifli sangat menyesalkan kasus tersebut. Pihaknya telah menyurati PWI untuk menyelisik dan menindaklanjuti kejadian itu.
Dewan Kehormatan PWI telah memberhentikan Iptu Umbaran Wibowo dari keanggotaan PWI. Hasil uji kompetensi wartawan yang bersangkutan juga dicabut.
”Uji kompetensi itu diselenggarakan oleh PWI. Dewan Pers hanya fasilitator. Kami juga sudah berkirim surat ke TVRI. Namun, hingga Kamis malam, belum ada respons balasan,” katanya.
Menurut Arif, masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan dalam kasus tersebut. Sebab, berdasarkan UU Pers, media massa nasional harus independen dan bekerja atas dasar pemenuhan hak publik untuk tahu.
”Jadi, selama 14 tahun masyarakat mengonsumsi berita dari seorang kontributor TVRI, lembaga penyiaran negara, yang pelaku atau wartawannya tidak independen,” ucapnya.
Arif menyebutkan, terungkapnya kasus ini akan membuat orang bertanya tentang hal serupa di media lain. Dengan begitu, kepercayaan masyarakat kepada media pun terancam berkurang.
”Lebih jauh lagi, kepercayaan publik pada kemerdekaan pers juga akan surut. Lama-lama ada dorongan untuk tidak usah ada kemerdekaan pers jika praktiknya seperti ini. Kalau itu terjadi, kita akan kembali ke masa suram sebelum UU Pers diterbitkan,” jelasnya.
Polri diimbau tidak ”menanam” intelijen ke lembaga pers. Menurut Arif, upaya mencari informasi dapat dilakukan dengan beragam cara.
”Kita biasa saling berbagi informasi, misalnya soal terorisme. Kami sangat tidak merekomendasikan untuk mengulangi apa yang sudah terjadi,” ucapnya.
Sebelumnya, Kepala Bidang Humas Polda Jateng Komisaris Besar M Iqbal Alqudusy menyatakan Umbaran Wibowo merupakan anggota Polri. ”Iptu Umbaran pernah ditugaskan untuk melaksanakan tugas intelijen di wilayah Blora. Yang bersangkutan pernah menjabat kepala unit intelijen di Polres Blora. Sejak Juli 2022, (Umbaran) menjabat wakil kepala polsek di Blora, kemudian pada Senin dilantik menjadi Kapolsek Kradenan,” kata Iqbal di Semarang (Kompas.id, 14/12/2022).
Ketua Dewan Kehormatan PWI Ilham Bintang menyebutkan, pasal 1 kode etik jurnalistik secara tegas mewajibkan wartawan bersikap independen, menunjukkan identitas diri, dan tepercaya. Adapun pasal 16 kode perilaku wartawan menjelaskan, aparatur sipil negara, termasuk anggota TNI dan Polri, tidak diperbolehkan menjadi anggota PWI.