Menahan Lapar Demi Bersekolah
Akses pendidikan anak-anak di daerah 3T di Tanah Papua ke SMP dan SMA/SMK tidak mudah. Ada sekolah berpola asrama yang dikembangkan, namun belum semua pemkab punya komitmen kuat untuk menyediakan layanan yang layak.
Suasana SMP dan SMA Negeri Plus Satu Atap 1 Merauke di Kampung Wasur, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Sabtu (11/12/2022) pagi nampak sepi. Terlihat sejumlah siswa perempuan dan laki-laki membawa ransel bersiap-siap ikut mobil yang menunggu di depan asrama. Meski demikian, ada beberapa siswa laki-laki yang tetap tinggal di asrama.
Siswa SMP dan SMA baru selesai ujian akhir semester ganjil pada Jumat lalu. Sebenarnya masih ada sepekan lagi waktu belajar sebelum sekolah resmi diliburkan.
Namun, pimpinan sekolah memutuskan untuk meliburkan siswa lebih awal agar mereka bisa meninggalkan asrama. Selama setahun ini, bantuan biaya operasional asrama dari pemerintah daerah kepada sekolah-sekolah berasrama di Kabupaten Merauke tidak turun sejak Januari 2022. Para guru kasihan dengan siswa yang kekurangan makan, sementara utang sekolah terus menumpuk.
"Siswa sudah diliburkan supaya mereka bisa pulang kampung. Uang bantuan makan untuk siswa di asrama dari Januari- Desember tahun ini tidak ada. Setelah kami terus mendesak ke pemerintah daerah dan DPRD, baru akhirnya dikasih untuk satu tahun ini saat siswa sudah pulang kampung," kata Kepala SMA Negeri Plus Satu Atap 1 Merauke Agustinus Kuyap.
Para siswa yang merupakan anak-anak asli Papua datang dari berbagai kampung di Kabupaten Merauke, bahkan dari kabupaten lain ke sekolah berpola asrama. Mereka umumnya kesulitan untuk melanjutkan ke SMP dan SMA di kampung atau distrik asal, karena sekolah yang jauh dari rumah sehingga tidak memungkinkan untuk pergi-pulang tiap hari.
Namun, ada juga yang memang tidak ada sekolah. Karena itu, keberadaan sekolah berpola asrama menjadi tujuan siswa yang masih bersemangat untuk melanjutkan sekolah.
Sekolah berpola asrama untuk anak-anak asli Papua diterapkan di berbagai sekolah SMP dan SMA/SMK, salah satunya di Kabupaten Merauke. Ratusan siswa dari kampung-kampung di daerah 3T yang sulit mengakses pendidikan lanjutan tinggal di asrama sekolah. Hanya butuh berjalan kaki dalam hitungan menit dari asrama, para siswa sudah tiba di sekolah.
Baca juga: Hidup Nomadik demi Angka dan Aksara bagi Orang Rimba
Para siswa mendapat bantuan makan tiga kali sehari selama tinggal di asrama. Setidaknya untuk beras dan minyak goreng, selalu dipastikan ada. Sesekali daging ayam dan lauk lainnya disediakan untuk melengkapi gizi anak-anak sekolah ini.
Para siswa pun tak tinggal diam untuk memenuhi kebutuhan isi perut mereka. Mereka ada yang rajin memetik kangkung di rawa-rawa sekitar sekolah, mencari jantung pisang di kebun untuk sayuran.
Mereka juga sering menanam jagung, cabe, dan tomat di lahan kosong sekitar asrama. Tak ketinggalan, ada siswa yang mencari ikan mujair di rawa-rawa belakang sekolah.
Namun, bahan makanan yang disediakan sebenarnya tidak memadai untuk kebutuhan siswa yang sedang bertumbuh dan berkembang serta butuh gizi yang baik. Siswa yang tak mendapat kiriman uang dari kampung, hanya mengandalkan jatah makan dari asrama.
Sesekali mereka mendapat uang ala kadarnya dari teman, dikumpulkan untuk bisa urunan membeli minyak bakar dan minyak goreng jika operasional asrama sudah tidak ada sama sekali.
Setahun ini sekolah berusaha keras memastikan beras tersedia, dari berhutang di toko langganan, memakai pinjam jatah beras guru, memakai dana bantuan operasional, hingga memakai uang para guru. Namun, semua usaha sekolah ada batasnya jika pemerintah daerah tidak turun tangan menjamin kelancaran bantuan operasional asrama yang layak.
"Selama ini siswa makan seadanya. Ada yang beralasan pulang ke kampung ambil sagu, terus tidak pulang sampai sebulan atau lebih karena tidak tahan dengan makanan yang kurang," kata Kepala SMPN Negeri Satu Atap 1 Merauke Yunus Gagermatahai.
Kebutuhan perut siswa yang diutamakan tiap tahun. Kondisi asrama yang layak masih menjadi pekerjaan rumah yang sulit tertangani karena terbatasnya biaya.
Berbagai kekurangan fisik kamar dan ruangan lain di asrama, mulai dari dipan bertingkat dan lemari di kamar tidur yang sudah rusak, kasur yang sudah tipis bahkan kurang, hingga kerusakan pintu tidak bisa segera diperbaiki.
Sudah terbiasa
Silvester Alvonsius Biluk (18) kelas XI dan Daud Marsella Yolmen (18) kelas X SMAN Plus Satu Atap 1 Merauke hanya memandang dalam diam kepergian saudara dan juga teman lain menuju kampung halaman. Kedua siswa ini diminta tinggal untuk menjaga asrama.
Perjalanan jauh ditempuh para siswa untuk pulang ke keluarga, tapi setidaknya untuk beberapa minggu ke depan mereka bisa puas makan di rumah.
Sekolah pun sedikit bernafas lega tidak memikirkan urusan makan siswa di asrama. Sebab, uang bantuan operasional pendidikan (BOP) asrama dari Pemkab Merauke yang akhirnya cair di Desember ini terserap untuk membayar hutang pengadaan bahan makanan selama setahun.
Bagi Alvonsius, menahan lapar sudah biasa. Kondisi kekurangan makanan di asrama tidak membuat dia putus asa. "Saya sudah terbiasa. Yang penting bisa sekolah" kata Alvon yang bercita-cita menjadi tentara usai lulus nanti.
Sering satu tandan pisang rebus menjadi santapan dia dan teman-teman ketika beras di asrama benar-benar habis. "Sebenarnya perut masih minta diisi. Tapi kami harus berbagi dengan teman lain supaya semua bisa sama-sama makan," katanya.
Perjuangan Alvonisus untuk bersekolah tidak mudah. Dia hanya bisa bersekolah sampai kelas V SD di Kampung Bibikem, Distrik Ilyawab. Sekolah tutup karena satu per satu guru pergi hingga sekolah ditutup karena tidak punya guru.
Keluarganya pun pindah agar Alvinsius bisa ke sekolah misi dan tinggal asrama hingga SMP. Tadinya dia hanya berpikir sekolah sampai SMP karena tidak tahu hendak melanjutkan ke SMA di mana karena di distrik tidak ada. Beruntung, dia diberitahu sepupunya yang juga sama-sama mendaftar di SMA berasrama di Wasur.
Kebutuhan perut siswa yang diutamakan tiap tahun. Kondisi asrama yang layak masih menjadi pekerjaan rumah yang sulit tertangani karena terbatasnya biaya.
Persaudaraan di asrama pun terjalin kuat. Saat tak ada jalan lain untuk bisa mendapatkan bahan makanan, siswa yang masih bisa pulang ke kampung akan meminta kiriman bahan makanan. Kiriman beras, sagu, hingga jagung dari keluarga siswa berhasil menyelamatkan semua penghuni asrama dari kelaparan. Tentu saja, mereka harus bisa menahan diri untuk berbagi makanan.
Daud pun tak mempermasalahkan hidupnya di asrama yang makan ala kadarnya, yang membuat dirinya terbiasa menahan lapar. Dia mengenang pernah putus sekolah selama 2,5 tahun setelah lulus dari SMP Satu Atap di Wasur.
Usai ujian SMP dia pulang kampung. Dia pun tak berpikir untuk kembali ke sekolah guna melanjutkan ke SMA di Wasur karena merasa di asrama tidak cukup makan.
Karena itulah, dia pun mengiyakan ajakan teman-teman di kampung yang tidak melanjutkan sekolah untuk menjaring ikan di sungai, berburu rusa di hutan saat malam hari, dan lainnya. Dari pekerjaan ini dia sebenarnya bisa mendapat Rp 1 juta untuk sekitar dua minggu bekerja.
"Saya berpikir capek juga kalau hidup saya begini terus. Akhirnya saya bilang mau lebih serius sekolah supaya bisa kuliah " ujar Daud.
Daud pun bersemangat saat mendengar bahwa kepala sekolah tetap menunggu dia untuk bisa malanjutkan sekolah. Meskipun terlambat pendaftaran, dia meninggalkan kampung menuju Wasur. Sejak September 2022, Daud terdaftar lagi sebagai siswa kelas X setelah lebih dari dua tahun meninggalkan bangku sekolah.
Keterbatasan mendapatkan makan dan asrama yang tidak layak juga dirasakan siswa SMP dan SMK di Kampung Poo, Distrik Jagebob, yang tinggal di satu asrama. Dari luar bangunan tampak bagus. Namun, saat memasuki asrama milik SMKN 1 Jagebob, ruang-ruang kamar nampak kusam dengan dinding penuh coretan. Ada dipan bertingkat di kamar tapi sudah rusak dan tidak berkasur.
Kamar tidur terpisah dibagi untuk siswa perempuan dan laki-laki yang diawasi kepala sekolah yang tinggal di asrama. Para siswa pun lebih memilih tidur beralaskan tikar atau kain tipis.
Kepala SMKN 1 Jagebob Serilus Weybun mengatakan, sekolah berasrama membuat anak-anak yang tadinya putus sekolah di SD atau SMP mau bersekolah hingga SMA/SMK. Seharusnya layanan pendidikan berasrama ini mendapat perhatian dan dukungan dana bagi kesejahteraan anak-anak, terutama kebutuhan makan.
Hesty Kristina Mago, siswa kelas XI SMKN 1 Jagebob menyampaikan, sejak SMP dia tinggal dengan keluarga lain agar bisa bersekolah. Lalu, ia melanjutkan ke SMK agar bisa tinggal di asrama. Adiknya juga kini di asrama.
"Tidak ada sekolah SMP dan SMK di kampung. Jalan kaki bisa tiga jam. Padahal saya mau sekolah," kata Hesty.
Bahan makanan seperti beras seringkali kurang. Penghuni asrama yang kelaparan meminta bantuan teman, bahkan ada yang melapor ke guru jika sudah tidak kuat menahan lapar.
Menurut pendidik yang juga Aktivis Pendidikan di Kabupaten Merauke Sergius Womsiwor, kondisi anak-anak Papua jauh dari layanan pendidikan seharusnya mengetuk rasa kemanusiaan semua pihal. Merka merupakan SDM masa depan Papua.
Baca juga: Guru Daerah 3T Berinovasi Mencari Solusi
Sergius mempertanyakan kucuran dana otonomi khusus ke Papua yang seharusnya juga untuk peningkatan layanan pendidikan anak-anak Papua. "Setidaknya terlihat dari komitmen pemerintah daerah untuk menjamin sekolah berpola asrama yang manusiawi di berbagai wilayah di Papua, khususnya di Kabupaten Merauke," kata Sergius.