Tumbuhkan Pemikiran Kritis terhadap Kemajuan Teknologi
Algoritma kian dominan mengatur aktivitas manusia. Namun, pemikiran kritis terhadap kemajuan teknologi ini tetap perlu ditumbuhkan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemajuan teknologi telah banyak membantu aktivitas manusia. Namun, hal ini perlu dibarengi dengan menumbuhkan pemikiran kritis karena tak jarang kemajuan teknologi mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB) Iwan Pranoto mengatakan, rendahnya kesalingterhubungan antara budaya sains-teknologi dan ilmu kemanusiaan masih belum teratasi. Bahkan, kesenjangan dua budaya tersebut justru memicu berbagai masalah serius. Masalah itu semakin meluas dalam kehidupan yang teralgoritmakan.
Algoritma kian dominan mengatur aktivitas manusia, mulai dari memilihkan rute perjalanan hingga memutarkan lagu yang cocok. Di satu sisi, kehidupan manusia dimudahkan dengan teknologi serta pengumpulan informasi yang besar.
Di sisi lain, informasi kehidupan pribadi telah lepas dari kendali seseorang. Oleh sebab itu, perlu dikritisi bagaimana teknologi yang digunakan menerjemahkan nilai-nilai kemanusiaan menjadi barisan perintah dalam algoritma.
”Kita tidak boleh terbius bahwa algoritma itu netral. Jadi, harus berpikir kritis dalam berinteraksi dengan algoritma,” ujarnya dalam Sutan Takdir Alisjahbana (STA) Memorial Lecture 2022 yang digelar Akademi Jakarta (AJ) dengan tema ”Kesalingterhubungan Pemikiran” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (6/12/2022).
Algoritma mampu memilihkan informasi yang disukai sehingga memungkinkan memengaruhi manusia, termasuk dalam pandangan politik. Hal ini memunculkan kekhawatiran karena penyebaran ujaran kebencian dan kebohongan di media sosial semakin masif.
Iwan mencontohkan, saat mengetik frasa ”black girls” dalam mesin pencari, akan muncul sederetan informasi yang merendahkan. Padahal, frasa itu sama sekali tak mengandung kata negatif. Hasil berbeda akan ditemukan jika kata ”black” diganti dengan ”white”.
”Demikian juga jika dituliskan frasa three black teenagers ke mesin pencari. Berbagai informasi terkait kriminal langsung muncul,” ucapnya.
Di satu sisi, kehidupan manusia dimudahkan dengan teknologi serta pengumpulan informasi yang besar. Di sisi lain, informasi kehidupan pribadi telah lepas dari kendali seseorang.
Masalah dari kesenjangan sains-teknologi dan kemanusiaan juga terjadi dalam bidang pendidikan. Pandemi Covid-19 dalam 2,5 tahun terakhir telah memaksa pembelajaran berpindah ke platform digital yang umumnya dikuasai korporasi teknologi raksasa.
Beberapa teknologi itu dengan gamblang merekam data dan kejadian yang dialami pelajar. Informasi tersebut terkadang bocor atau diakses oleh pihak yang tak berwenang.
Saat ini sudah ada perusahaan teknologi di luar negeri yang membuat sensor untuk memonitor konsentrasi siswa melalui gelombang otak. Sensor ini tersambung ke komputer di meja guru serta dan korporasi penyedia layanan teknologi belajar.
”Sampai di mana kita memperbolehkan teknologi menerabas privasi seseorang? Para ahli teknis perancang algoritma perlu memahami kemanusiaan,” ucapnya.
Keberagaman pemikiran
Menurut Iwan, kesenjangan sains-teknologi dengan ilmu kemanusiaan telah berevolusi dan memicu dampak semakin serius. Oleh karena itu, keberagaman pemikiran dari berbagai latar belakang keilmuan dengan keunikan perspektifnya mesti terus dirawat.
Dengan semakin terhubungnya kehidupan manusia dengan mesin, dibutuhkan pemikiran kritis terhadap sains, teknologi, ilmu kemanusiaan, serta disiplin ilmu lainnya. Kompleksitas saat ini memerlukan pendekatan berpikir yang beragam sekaligus terpadu.
”Kesalingterhubungan pemikiran tidak saja untuk menjawab pertanyaan sekarang, tetapi agar tidak memunculkan permasalahan baru. Oleh sebab itu, pendapat Sutan Takdir Alisjahbana masih relevan jika bangsa Indonesia perlu belajar berpikir dan tak segan belajar dari mana saja,” ujarnya.
STA Memorial Lecture yang digagas oleh AJ telah berlangsung sejak 2009. Sejumlah pembicara pada kuliah kenangan ini, di antaranya, dalah Rosihan Anwar pada 2009, Bacharuddin Jusuf Habibie (2011), Azyumardi Azra (2014), dan Emil Salim (2018).
Ketua AJ Seno Gumira Ajidarma menyampaikan, gagasan STA pada 1935 telah mengawali polemik kebudayaan. Artinya, sebelum Indonesia merdeka pada 1945, kebudayaan bangsa sudah dipikirkan dengan sungguh-sungguh.
”Dapatlah kita andaikan bahwa polemik itu tidak pernah berhenti karena sejak 1935 sampai hari ini, 87 tahun kemudian, pemikiran tentang kebudayaan Indonesia sudah sangat beragam, dengan segenap paradigma yang dengan wacananya masing-masing memberi pendekatan baru,” katanya.