Terjadi paradoks antara kesemarakan beragama dengan kebangkrutan moralitas. Agama belum dihayati sebagai jalan kebebasan dari krisis kemanusiaan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Masyarakat Indonesia dapat memanfaatkan religiositas sebagai modal sosial untuk mengatasi berbagai krisis kehidupan dan kemanusiaan. Hanya saja, tingginya religiositas suatu negara kadangkala masih berbanding terbalik dengan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.
“Penguatan literasi agama adalah keniscayaan. Indonesia bukan negara agama, namun pemerintah tetap menaruh perhatian tinggi pada agama dengan adanya Kementerian Agama dan institusi keagamaan. Sekarang ini bagaimana menjadikan religiositas untuk modal sosial guna memajukan masyarakat Indonesia,” kata Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Musdah Mulia saat membawakan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) Memorial Lecture 2021 pada Kamis (21/10/2021). Acara ini digagas Akademi Jakarta, didukung Dewan Kesenian Jakarta.
Musdah menyampaikan STA Memorial Lecture 2021 dengan tema Penguatan Literasi Agama Mewujudkan Indonesia Maju. Peran agama untuk kemajuan bangsa dalam Kuliah Kenangan STA 2021 ini sejalan dengan pemikiran kritis dalam Polemik Kebudayaan yang disampaikan STA.
Kuatnya religiositas masyarakat Indonesia, ujar Musdah, merupakan hal baik sekaligus hal buruk (a blessing in disguise). Tidak ada yang salah dengan pandangan agama penting. Namun, masyarakat yang cinta agama harus mengerti hakikat agama sebagai jalan pembebasan dari krisis kemanusiaan untuk peradaban dan perdamaian.
Musdah menilai ada paradoks antara kesemarakan beragama, atau dia menyebutnya kehebohan beragama, dengan kebangkrutan moralitas masyarakat dan pemerintah. Ironisnya, seharusnya dengan penduduk yang religius, negara lebih maju karena masyarakat diselimuti spiritualitas dan ada integritas moral untuk membangun peradaban maju. Namun, realitas sosial masyarakat Indonesia masih bertolak belakang.
Masih banyak berita yang muncul tentang berbagai kasus pelanggaran hukum, kekerasan, korupsi, sikap anarkis, kekerasan agama, hingga perilaku aparat yang represif. Bahkan, kekerasan agama vulgar muncul bersamaan dengan peristiwa politik, eksploitasi lingkungan oleh korporasi besar dengan izin pemerintah, hingga ketimpangan ekonomi.
Bukan agama yang salah. Namun, para penganut agama belum mampu menghayati agama sebagai jalan kebebasan dari krisis kemanusiaan. Kondisi kehidupan beragama seperti inilah yang dikritisi dan menjadi perhatian STA.(Musdah Mulia)
“Bukan agama yang salah. Namun, para penganut agama belum mampu menghayati agama sebagai jalan kebebasan dari krisis kemanusiaan. Kondisi kehidupan beragama seperti inilah yang dikritisi dan menjadi perhatian STA,” ujar Musdah.
Musdah mengenang saat mengikuti kuliah STA, yang membuka pikiran tentang keindahan dari kebudayaan. Kebudayaan Barat (modern) degan pilar pembangunan ilmu pengetahuan, teknologi, dan pembangunan ekonomi, sebenarnya sejalan dengan cita-cita Islam. Karena itu, perlu kemampuan berpikir kritis yang kuat untuk banyak hal.
Dengan kecakapan budi, manusia menciptakan kebudayaan di alam semesta, mengembangkan ilmu, teknologi, dan ekonomi untuk kemaslahatan manusia demi kesejahteraan dan perdamaian. Namun, umat bergama justru seringkali abai dan mengalami krisis berlarut-larut, hidup dalam takhayul, mitos, dan konflik.
“Mayoritas umat Islam justru tidak mengapresiasi pemikiran kritis STA dan menuding STA kebarat-baratan. Itu tidak beralasan. STA justru hendak menyadarakan warisan berharga dari para pemikir Islam tentang nalar kritis,” ujar Musdah.
Menurut Musdah, dari penelitiannya, kehidupan beragama konservatif justru menguat dan mudah untuk digiring pada intoleransi, radikalisme, hingga ektrimisme. Termasuk pula yang tidak mendukung kesetaraan jender, dengan menempatkan narasi tentang perempuan yang harus diatur sedemikian rupa dalam berbagai urusan hidupnya.
Literasi Agama
Kelompok agama konservatif semakin mendapat tempat di media sosial, sementara kelompok moderat jadi tertinggal dan cenderung diam. Bahkan, untuk generasi milenial, mereka lebih bergantung pada referensi digital dibandingkan akademik dalam pendidikan agama. Rendahnya literasi agama, membuat kaum milenial yang mendapat pendidikan agama dari platform digital oleh kaum konservatif tergiring ke sikap intoleransi dan ektrimisme agama.
Musdah memaparkan perlunya penguatan literasi agama yang memampukan penganut agama untuk meihat dan menganalisa titik temu agama dan kehidupan sosial, politik, dan budaya dari beragam sudut pandang. Orang yang melek agama akan memiliki pemahaman dasar mengenai sejarah, teks-teks sentral, kepercayaan, serta praktik tradisi keagamaan yang lahir dalam konteks sosial, sejarah, dan budaya tertentu.
“Literasi agama untuk hidup dengan pengamalan nilai-nilai luhur agama yang penuh kasih sayang. Intisari agama adalah cinta, penghormatan pada harkat dan martabat manusia, cinta lingkungan, dan menghargai perbedaan,” kata Musdah.
Literasi agama ini fokus pada lima hal. Agama sangat mengedepankan cinta kasih dan penghargaan pada harkat dan martabat manusia; meyakini prinsip keadilan dan kesetaraan, terutama pada kelompok rentan; serta agama memotivasi manusia untuk memanfatakan kekuatan ekonomi, iptek, dan digital guna kemaslahatan manusia.
Selain itu, dengan meyakini kecintaan pada negara dan Tanah Air, seharusnya orang akan makin memiliki kepedulian kepada upaya-upaya pembangunan dan kesejahteraan bangsa. Demikian pula, agama juga mengajarkan kelestarian lingkungan sebagai bagian dari ibadah.
Ketua Akademi Jakarta Seno Gumira Ajidarma menambahkan, Memorial Lecture STA ini untuk mengenang sekaligus melanggengkan semangat dan pemikiran STA. Di usia muda, STA memiliki pemikiran yang sangat menantang ketika polemik kebudayan terjadi dalam tiga tahap antara tahun 1935-1939.
Namun, polemik yang terjadi antara STA dengan sejumlah tokoh bukan untuk mencari kemenangan, tetapi semata-mata mencari kebenaran. Inilah polemik sehat yang terjadi dan bisa menjadi inspirasi untuk kehidupan bangsa saat ini.
“Forum STA Memorial lecture ini digelar agar suara yang kritis dan menggugah, tajam dan membangun, cerdas dan menyadarkan, sesuai dengan semangat STA. Beliau tidak pernah absen dalam perjalanan bangsa. Untuk itu, Akademi Jakarta berkomitmen menyediakan forum STA,” kata Seno.