Tokoh agama berperan mencegah meluasnya pemahaman intoleran, radikalisme, dan terorisme. Kemampuan merajut dan merawat keberagaman menjadi strategi untuk mencegah hal itu.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Tokoh agama dan pemimpin umat berperan penting dalam mencegah meluasnya pemahaman intoleran, radikalisme, dan terorisme dengan mengajarkan dan menumbuhkan perilaku toleran, antiradikalisme, dan antiterorisme kepada umat, terutama generasi muda. Pemahaman akan kewaspadaan nasional dan wawasan kebangsaan menjadi penting agar toleransi bisa dijaga dan ditumbuhkan di kalangan umat beragama.
Demikianlah benang merah webinar nasional dengan tema ”Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme di Kalangan Umat Hindu Indonesia” yang diselenggarakan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat secara dalam jaringan (daring), Minggu (26/9/2021).
Webinar menghadirkan lima pembicara, yakni Ketua Dewan Analis Strategis Badan Intelijen Negara (BIN) Letjen (Purn) Muhammad Munir, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar, Kepala Korps Pembinaan Masyarakat (Korbinmas) Baharkam Polri Irjen Suwondo Nainggolan, dan anggota Sabha Walaka PHDI Pusat Irjen (Purn) Ketut Untung Yoga Ana, serta Guru Besar Ilmu Budaya Universitas Udayana I Ketut Ardhana.
Webinar dibuka oleh Ketua Umum PHDI Pusat Mayjen (Purn) Wisnu Bawa Tanaya. Dalam kesempatan itu, tenaga profesional Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Mayjen (Purn) Putu Sastra Wingarta menyampaikan pidato kunci tentang kewaspadaan nasional.
Munir mengatakan, upaya membangun karakter nasional menjadi tugas bersama. Pembangunan karakter nasional itu diupayakan secara berkelanjutan untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional. Untuk itu, menurut Munir, kemampuan merajut dan merawat keberagaman menjadi strategi untuk mencegah intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
Putu Sastra Wingarta dalam pidato kuncinya menyebutkan, intoleransi, radikalisme, dan terorisme menjadi ancaman nyata yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, diperlukan upaya dan langkah nyata untuk merevitalisasi kewaspadaan nasional, antara lain dengan membumikan wawasan kebangsaan yang berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kemampuan merajut dan merawat keberagaman menjadi strategi untuk mencegah intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
Klinik Pancasila
Adapun Boy Rafli Amar mengungkapkan, upaya membumikan Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai kebangsaan juga perlu memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Sebab, kelompok radikal dan teroris juga menggunakan media sosial sebagai sarana propaganda serta penyebaran radikalisme dan terorisme.
”BNPT membuat program Klinik Pancasila yang juga menjadi wahana dialog tentang nilai Pancasila di kalangan anak muda,” kata Boy. BNPT juga menggandeng dan melibatkan organisasi masyarakat dan tokoh agama serta mengukuhkan gugus tugas pemuka agama dalam upaya mencegah penyebaran intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
Menurut Suwondo Nainggolan, selain menjalankan strategi pendekatan keras (hard approach) melalui beberapa operasi gabungan bersama TNI dalam memberantas kelompok teroris, Polri juga menerapkan strategi pendekatan lunak (soft approach) dalam pemberantasan radikalisme dan terorisme.
Langkah-langkah itu dilakukan Polri sesuai tugas pokok dan fungsi Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Sementara Untung Yoga Ana mengatakan, agama mengajarkan kebaikan dan toleransi. Agama Hindu, menurut Untung, mengajarkan inklusi dan toleransi. ”Sementara itu, intoleransi dan radikalisme menunjukkan eksklusivisme,” kata Untung.
Wisnu mengatakan, webinar bertujuan mengangkat serta memperkuat semangat dan keyakinan umat akan keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UD 1945 serta Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu juga memperkuat kebersamaan dengan semua komponen bangsa untuk membangun negara.