Sebagian Besar Dunia Lebih Kering dari Biasanya meskipun Terjadi La Nina
Sekalipun dunia mengalami La Nina berkepanjangan, mayoritas wilayah dunia tercatat lebih kering pada tahun 2021 dibandingkan rata-rata selama 30 tahun.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena La Nina yang telah berlangsung selama tiga tahun berturut-turut biasanya identik dengan peningkatan curah hujan di berbagai belahan dunia. Indonesia termasuk yang mengalami kemarau lebih basah. Namun, sebagian besar wilayah dunia tercatat lebih kering pada tahun 2021 dibandingkan rata-rata selama 30 tahun.
Fenomena ini dilaporkan Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) dalam laporan terbaru State of Global Water Resources yang dirilis pada Kamis (29/11/2022). Laporan ini menilai dampak perubahan iklim, lingkungan, dan masyarakat terhadap sumber daya air di Bumi.
Laporan tersebut menunjukkan luas wilayah dunia yang tercatat lebih kering dari kondisi normal pada 2021, tahun dengan pola curah hujan dipengaruhi perubahan iklim dan peristiwa La Nina. Daerah dengan aliran sungai di bawah rata-rata kira-kira dua kali lebih besar dari daerah di atas rata-rata dibandingkan dengan rata-rata hidrologi selama 30 tahun.
Edisi pertama laporan ini melihat aliran sungai, volume air yang mengalir melalui saluran sungai pada waktu tertentu.
”Dampak perubahan iklim sering dirasakan melalui perubahan ketersediaan air, yaitu kekeringan yang lebih intens dan lebih sering, banjir yang lebih ekstrem, curah hujan musiman yang tidak menentu, dan percepatan pencairan gletser, dengan efek berjenjang pada ekonomi, ekosistem, dan semua aspek kehidupan kita sehari-hari. Namun, pemahaman yang kurang tentang perubahan distribusi, kuantitas, dan kualitas sumber daya air tawar,” kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas.
Laporan terbaru ini, menurut dia, bertujuan untuk mengisi kesenjangan pengetahuan itu dan memberikan gambaran singkat tentang ketersediaan air di berbagai belahan dunia. ”Ini akan menginformasikan investasi adaptasi dan mitigasi iklim serta kampanye Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyediakan akses universal di lima tahun ke depan untuk peringatan dini bahaya, seperti banjir dan kekeringan,” kata Taalas.
Saat ini, sekitar 3,6 miliar orang memiliki akses air yang tidak memadai setidaknya sebulan per tahun dan diperkirakan meningkat menjadi lebih dari 5 miliar pada 2050. Antara 2001 dan 2018, UN-Water melaporkan 74 persen dari semua bencana alam terkait dengan air.
Konferensi Perubahan Iklim PBB baru-baru ini, COP27 di Mesir, telah mendesak pemerintah untuk lebih mengintegrasikan air ke dalam upaya adaptasi. Sumber daya air yang pertama kali dirujuk dalam dokumen hasil COP sebagai pengakuan atas pentingnya air.
Edisi pertama laporan ini melihat aliran sungai, yakni volume air yang mengalir melalui saluran sungai pada waktu tertentu. Ini juga menilai penyimpanan air terestrial, yaitu semua air di permukaan tanah dan di bawah permukaan serta kriosfer (air beku).
Informasi dan peta yang menyertainya sebagian besar didasarkan pada data yang dimodelkan (untuk mencapai cakupan geografis maksimum) dan informasi penginderaan jarak jauh dari misi Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE) NASA untuk penyimpanan air terestrial. Hasil yang dimodelkan divalidasi terhadap data yang diamati, jika tersedia.
Laporan tersebut menyoroti kurangnya data hidrologi terverifikasi yang dapat diakses. Kebijakan Data Terpadu WMO berupaya mempercepat ketersediaan dan pembagian data hidrologi, termasuk informasi debit sungai dan cekungan sungai lintas batas.
Wilayah yang mengering
Pengamatan dalamarea dunia yang luas menunjukkan adanya tren yang lebih kering dari kondisi normal pada 2021 dibandingkan dengan rata-rata periode dasar hidrologi 30 tahun.
Daerah-daerah yang mengalami pengeringan termasuk daerah Rio de la Plata, Amerika Selatan, yakni kekeringan yang terus-menerus telah memengaruhi wilayah tersebut sejak 2019, yaitu Amazon Selatan dan Tenggara, dan cekungan di Amerika Utara termasuk cekungan sungai Colorado, Missouri, dan Mississippi.
Di Afrika, sungai-sungai seperti Niger, Volta, Nil, dan Kongo memiliki debit yang lebih rendah dari normal pada 2021. Demikian pula sungai-sungai di sebagian Rusia, Siberia Barat, dan di Asia Tengah memiliki debit yang lebih rendah dari rata-rata pada 2021. Etiopia, Kenya, dan Somalia telah menghadapi beberapa tahun berturut-turut dengan curah hujan di bawah rata-rata yang menyebabkan kekeringan regional.
Sementara debit sungai di atas normal teramati di beberapa lembah Amerika Utara, Amazon Utara, dan Afrika Selatan (Zambezi dan Orange), serta China (lembah Amur) dan India utara. Peristiwa banjir yang signifikan dengan banyak korban dilaporkan, antara lain, terjadi di China (Provinsi Henan), India utara, Eropa barat, dan negara-negara yang terkena dampak siklon tropis, seperti Mozambik, Filipina, dan Indonesia.
Penyimpanan air terestrial
Laporan ini juga menyoroti penyimpanan air terestrial, yaitu semua air di permukaan tanah dan di bawah permukaan. Pada 2021, penyimpanan air terestrial diklasifikasikan sebagai di bawah normal dibandingkan dengan rata-rata yang dihitung dari tahun 2002–2020 di pantai barat Amerika Serikat, di bagian tengah Amerika Selatan dan Patagonia, Afrika Utara dan Madagaskar, Asia Tengah dan Tengah Timur, Pakistan, dan India Utara.
Adapun wilayah yang menyimpan air terestrial di atas normal di antaranya bagian tengah Afrika, bagian utara Amerika Selatan, khususnya lembah Amazon, dan bagian utara China.
Dalam jangka panjang, laporan tersebut menunjukkan beberapa wilayah dengan tren negatif dalam penyimpanan air terestrial. Daerah tersebut termasuk cekungan Rio São Francisco Brasil, Patagonia, hulu Gangga dan Indus, serta AS barat daya. Sebaliknya, Great Lakes Region memperlihatkan anomali positif, seperti halnya cekungan Niger, East African Rift, dan cekungan Amazon utara.
Secara keseluruhan, tren negatif lebih kuat daripada tren positif. Beberapa kawasan berisiko kekurangan air ini diperburuk oleh pengambilan air tanah yang berlebihan untuk irigasi. Mencairnya salju dan es juga berdampak signifikan di beberapa wilayah, antara lain, Alaska, Patagonia, dan Himalaya.