Kekeringan Semakin Mengakrabi Kota-kota
Keringnya sungai besar di Eropa, Amerika, hingga China mengingatkan pada kekeringan di negeri ini setiap kemarau tiba. Kekeringan adalah satu dari tiga risiko paling signifikan terkait iklim yang dihadapi semua kota.

Neli Triana, wartawan Kompas
Di sebagian kawasan urban Perancis beberapa waktu lalu tercipta pemandangan berbeda. Sungai Loire yang biasanya berlimpah air tetiba menjadi hamparan kosong. Kekeringan ternyata tidak hanya menimpa sungai terpanjang di Perancis itu, tetapi juga mendera Sungai Danube yang mengalir di 14 negara Eropa, Sungai Rheine di Jerman, Sungai Po di Italia, Sungai Colorado di Amerika Serikat, dan Sungai Yangtze di China.
Akibat kekeringan, areal pertanian untuk memasok bahan pangan di sepanjang sungai-sungai besar itu terganggu. The Guardian melaporkan, 30-40 persen kawasan pertanian di Italia bergantung pada Sungai Po dan kini 60 persen produksi beras terancam hilang akibat susutnya air. Di luar pertanian, pasokan air bersih untuk perkotaan atupun di perdesaan di sekitar sungai terusik.
Di China, kekeringan Yangtze berdampak pada 400 juta orang yang sebagian besar tinggal di kawasan-kawasan pengembangan urban baru dan menggantungkan sumber air bersihnya pada sungai terbesar ketiga di dunia itu. Kekeringan Yangtze yang juga nadi utama distribusi di negara itu turut berpengaruh pada ekonomi China.
Chen Lijuan, kepala peramal dari pusat iklim nasional negara itu, seperti dikutip The Guardian, menyatakan, semua pihak harus menghadapi kenyataan bahwa kekeringan dan gelombang panas menjadi normal baru ekses dari krisis iklim yang dihadapi seisi bumi.
Kekeringan dan gelombang panas ini mendongkrak pemakaian listrik, baik di tingkat rumah tangga maupun industri, seperti untuk menyalakan penyejuk ruangan sampai upaya pengadaan air dari sumber lain demi memenuhi berbagai kebutuhan warga hingga industri. Lonjakan penggunaan itu akan memicu persoalan tersendiri karena berarti membutuhkan lebih banyak sumber daya dieksploitasi untuk membangkitkan listrik.
Kota-kota memiliki banyak alat dan pengetahuan untuk mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi realitas krisis iklim. Namun, tindakan yang efektif dimulai dengan pemahaman tentang ruang lingkup dan skala tantangan.
Direktur Eksekutif C40 Mark Watts menyatakan, kenaikan permukaan air laut, banjir, dan kekeringan memang tiga risiko krisis iklim yang signifikan berdampak pada kota-kota di dunia saat ini. Terkait air, jejak sejarah ribuan tahun silam menunjukkan bahwa adanya sumber air bersih berlimpah yang di antaranya adalah sungai menjadi penentu hidup matinya kota.

Sumur warga Kampung Koceak, Kelurahan Kranggan, Tangerang Selatan, kering karena musim kemarau, Kamis (22/8/2019). Warga kampung ini kekurangan persediaan air di musim kemarau.
”Kota-kota memiliki banyak alat dan pengetahuan untuk mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi realitas krisis iklim. Namun, tindakan yang efektif dimulai dengan pemahaman tentang ruang lingkup dan skala tantangan (risiko krisis iklim itu),” kata Watts.
Pernyataan Watts menegaskan bahwa setiap kota perlu mempersiapkan diri secara dini untuk menghadapi krisis iklim tanpa membuat isu baru yang lebih parah dan makin susah diatasi kelak di kemudian hari. Pernyataan tersebut menjadi pengingat bagi Jakarta dan beberapa kota di Indonesia yang merupakan bagian dari 90 lebih kota di dunia yang berjejaring dalam C40.
Hasil riset JJG Buurman dan timnya yang dipresentasikan di Amsterdam International Water Week beberapa waktu lalu menyebutkan, negara atau kota yang fokus dengan kebijakan pengadaan air bersih berkelanjutan mampu beradaptasi dalam menghadapi krisis iklim, terutama terkait dengan kekeringan dan udara panas.
Singapura, misalnya, terus meningkatkan menerapkan kebijakan penyediaan air bersih dengan salinasi air laut, waduk, memperbanyak ruang terbuka hijau dan biru, serta efektif mendaur ulang penggunaan air. Negara kota tersebut menargetkan akan mandiri dalam penyediaan air bersih dan tidak tergantung pasokan tetangganya, Malaysia, tetapi juga berkomitmen menjadi berkelanjutan.
Akan tetapi, banyak pihak menyatakan Singapura berhasil karena kaya raya dengan luas wilayah relatif kecil, lebih kurang setara dengan DKI Jakarta. Pada kenyataannya, krisis iklim memang berdampak jauh lebih buruk pada kawasan yang tidak siap dengan berbagai kebijakan pro lingkungan berkelanjutan dan ini banyak menimpa negara-negara miskin ataupun kelas menengah yang masih tercekik anggaran cekak, termasuk Indonesia.
Baca juga: Ketika Gangnam Terendam


Tangkapan layar profil risiko bencana di Indonesia dari
Namun, bukan berarti dengan dana minim suatu kawasan tak mampu berinisiatif untuk mulai adaptasi terhadap risiko krisis iklim. Apalagi jika risiko yang ditanggung sudah sedemikian nyata.
Dalam Disaster Management Reference Handbook-Indonesia yang dipublikasikan pada Desember 2021 oleh Center for Excellence in Disaster Management and Humanitarian Assistance, salah satunya menggarisbawahi kekeringan adalah bencana yang mengakrabi Nusantara. Tingkat kekeringan pun makin meningkat dari tahun ke tahun.
Catatan buku ini menyebutkan ada dua jenis kekeringan memengaruhi Indonesia, yaitu terkait meteorologi yang berhubungan dengan defisit curah hujan dan hidrologi yang berhubungan dengan defisit aliran air permukaan maupun bawah permukaan. Pada awal abad ke-21, Indonesia menghadapi kemungkinan rata-rata tahunan kekeringan parah meteorologis sekitar 4 persen wilayahnya. Hingga akhir abad ini nanti, probabilitasnya naik sampai 9 persen.
Di samping itu, Indonesia sekarang secara teratur telah mengalami suhu maksimum yang tinggi. Dalam beberapa skenario, Indonesia akan mengalami kondisi yang sangat berbahaya hampir setiap hari dengan suhu setidaknya 35 derajat celsius atau lebih tinggi sepanjang tahun pada akhir abad ini.
Yang menjadi ironi, kala kekeringan dan suhu panas makin kerap terjadi, banjir di pelosok hingga di perkotaan pun bakal menjadi bencana yang sulit dihindari. Selain panas ekstrem, curah hujan ekstrem juga akan makin rutin terjadi.
Baca juga: Kala Harga-harga Naik di 90 Kota

Warga menggunakan jas hujan saat hujan deras mengguyur kawasan Pisangan, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (15/7/2022). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan peringatan dini cuaca ekstrem yang berpotensi terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Peluang cuaca ekstrem terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti daerah tekanan rendah dan sirkulasi siklonik.
Di Jakarta dan sekitarnya, suhu panas sampai hujan lebat akhir-akhir ini terjadi silih berganti. Seperti peringatan dini Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Agustus ini menjadi puncak musim kemarau yang pada tahun ini datangnya terbilang terlambat. Sebelumnya, BMKG mengingatkan sebagian daerah akan mengalami kekeringan. Beberapa daerah di Pulau Jawa, termasuk belasan kecamatan di Jakarta pun terancam kekeringan.
Dalam penelitian Dyah Pratita Sari, Dewi Susiloningtyas and Nurrokhmah Rizqihandari di Jatinegara yang dipublikasikan awal 2022, masyarakat ibu kota di sana sudah terbiasa menghadapi kekeringan. Di kawasan yang masuk wilayah Kota Jakarta Timur itu sudah 95 persen lahannya terbangun. Namun, setidaknya hingga 2017 maksimal baru 42,85 persen warganya dilayani air bersih perpipaan. Selebihnya, penghuni Jatinegara bergantung pada air tanah.
Saat kemarau, baik air perpipaan maupun air tanah sama-sama seret kucurannya. Bagi keluarga berekonomi pas-pasan, penggunaan air dibatasi hingga di atas 194 liter per hari tanpa mampu menambal kekurangan dengan membeli air kemasan. Penggunaan air di keluarga mapan disebut menurun 158 liter per hari, tetapi sebagian di antara mereka dengan mudah membeli air kemasan untuk berbagai keperluan.
Secara umum, gambaran di Jatinegara merupakan cerminan kondisi Jakarta. Layanan air perpipaan sampai sekarang maksimal baru 60 persen dari total sekitar 2,5 juta keluarga di Ibu Kota. Itu pun di setiap kawasan tingkat penetrasi maupun kualitas air perpipaan tidak merata.
Baca juga: Ruang Ketiga yang Mencuri Perhatian

Spanduk jadwal pemakaian air bersih yang diterapkan di Perumahan Citra Garden City Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat, Kamis (19/9/2019). Sebagian besar wilayah Jakarta di bulan September ini masih mengalami kemarau yang berujung pada krisis air bersih.
Sejauh ini, di Jakarta ataupun di beberapa daerah di Indonesia, upaya mengatasi kekeringan sudah ditempuh. Di Jakarta, misalnya, ruang-ruang terbuka hijau dan biru terus dibangun seiring dengan proyek pengendalian banjir.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kini juga kian galak melarang warganya mengambil air tanah dengan alasan mencegah laju penurunan muka daratan. Masalahnya, lagi-lagi upaya peningkatan kualitas dan cakupan layanan air perpipaan yang selama bertahun-tahun seperti jalan di tempat. Pada akhirnya, pengendalian penggunaan air tanah di Jakarta pun diragukan karena sebagian warga tidak memiliki alternatif selain mengebor tanah dan memompa air di pekarangannya sendiri.
Apa yang terjadi di Jakarta patut disayangkan mengingat organisasi sekelas Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui UN Water menyatakan, air tanah justru senjata ampuh mengakhiri krisis air dunia. Penggunaan air tanah ini dapat sebagai sumber satu-satunya, jika yang tersedia hanya itu, atau bersamaan dengan pemanfaatan air permukaan, seperti pengolahan air sungai dan waduk.
Tentu ada serentetan syarat penggunaan air tanah, di antaranya wajib mengetahui akuifer yang cadangan airnya berlimpah dan menentukan mekanisme abstraksi sekaligus pengelolaan air di permukaan untuk pengisian kembali akuifer tersebut. Jika hal ini tidak dilakukan, akuifer bisa terkuras dan menyisakan ruang kosong. Ketika beban di permukaan meningkat, lapisan tanah berongga yang ditinggalkan oleh air itu berpotensi runtuh atau memadat yang berarti terjadi penurunan tanah.
Baca juga: Air Tanah Solusi Krisis Air Bersih Perkotaan

Kasni (43), pedagang air bersih di kawasan Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, menyalurkan air dari tandon besar ke rumah pelanggan melalui selang, Kamis (11/7/2019). Kebutuhan air bersih warga di sekitar kampung ini yang masih belum terjangkau pipanisasi air.
Selain air tanah, pengolahan air laut dengan salinasi dan pemanenan air hujan menjadi obat mujarab dalam mengatasi kelangkaan air bersih hingga kekeringan.
C40 mendorong pemerintah daerah ataupun pusat mempromosikan cara bijak dalam pemakaian air untuk mengurangi berbagai tekanan masalah dalam sistem pengadaan air bersih dan ketersediannya dalam jangka panjang. Perilaku transparan dalam pengelolaan kota dan pembiayaan lagi-lagi menjadi kunci. Namun, kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah serta sesama pemerintah daerah dengan pihak lain amat diperlukan.
Yang lebih penting lagi, pemahaman bahwa isu kekeringan adalah keniscayaan dan mendesak diatasi. Jangan lagi melihat kelangkaan air bersih hingga kekeringan seperti yang terjadi di Jatinegara hanya sebagai rutinitas tahunan. Dunia sudah berubah. Kekeringan sungai-sungai di sejumlah kota besar adalah sinyal kuat perubahan itu.
Baca juga: Catatan Urban