Inskripsi Warisan Budaya Bukan Indikasi Kepemilikan
Indonesia didorong bergabung dengan empat negara ASEAN untuk mendaftarkan kebaya sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO. Hal ini tidak akan mengurangi nilai kebaya sebagai produk budaya di Indonesia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Anak-anak yang berkebaya turut serta menarikan tari sirih kuning dalam acara peluncuran Kebaya Goes to Unesco di halaman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Jakarta, Minggu (19/6/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Inskripsi atau pencatatan suatu warisan budaya oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO bukan berarti budaya tersebut jadi milik suatu negara. Indonesia pun didorong bergabung dengan negara-negara anggota ASEAN untuk mendaftarkan kebaya sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO.
Sebelumnya, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam sepakat untuk mendaftarkan kebaya sebagai warisan budaya tak benda bersama ke UNESCO. Pendaftaran bersama (multi-national/joint nomination) ini diinisiasi dan dikoordinasi Malaysia.
Keempat negara itu membuka kesempatan bagi negara-negara lain untuk bergabung, termasuk Indonesia. Namun, Indonesia belum menentukan sikap. Adapun Singapura dan kawan-kawan akan mendaftarkan kebaya ke UNESCO pada Maret 2023.
KOMPAS/PAT HENDRANTO
Henny Jokorencono yang terpilih sebagai Ratu Kebaya 1975 (tengah) bersama para pemenang (kiri ke kanan) Metry Syaifiudin (Ratu Photo), Laksmi Simanjuntak (runner-up I), Jarmila Nadji (harapan II dan satu-satunya peserta dari Chekoslowakia), Nunun Sarwono (runner-up II), Nila Moensir (harapan I dan kesayangan). Pemilihan ratu kebaya diselenggarakan dalam rangka Hari Kartini di Convention Hall, Senin (21/4/1975) malam.
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) Itje Chodidjah mengatakan, tidak masalah jika Indonesia bergabung dengan empat negara anggota ASEAN tersebut. Sebab, untuk dimasukkan ke inskripsi, UNESCO tidak memandang asal-usul suatu budaya.
”(Inskripsi) warisan (budaya) dunia, kan, bukan buat kepemilikan, melainkan menunjukkan warisan itu ada di mana. Jadi, ini bukan perkara milik siapa,” kata Itje saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (30/11/2022).
Dalam catatannya, Itje menegaskan warisan budaya tak benda yang didaftarkan ke UNESCO bukan pengakuan terhadap asal-usul budaya. Ini juga tidak mengindikasikan hak paten atas budaya.
Inskripsi oleh UNESCO berarti warisan budaya itu mendapat perlindungan dari warga dunia agar berkelanjutan. Adapun salah satu syarat inskripsi adalah warisan budaya tersebut hidup dan lestari di suatu wilayah selama setidaknya satu generasi.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Perempuan dari berbagai komunitas berjalan mengenakan kebaya untuk memeriahkan HUT Ke-77 RI di Lodji Gandrung, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (14/8/2022). Mereka mengenalkan kebaya sebagai bagian dari tren mode yang berkiblat pada budaya.
Selanjutnya, negara ataupun komunitas mesti menyiapkan dokumen pendukung untuk diajukan ke UNESCO, misalnya dokumentasi, kajian ilmiah, dan sejarah budaya tersebut. Pendaftaran UNESCO lantas dilakukan negara. Inisiatif Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam mendaftarkan kebaya ke UNESCO dinilai sah. Tidak ada larangan bagi negara mana pun mendaftarkan budayanya ke UNESCO.
Sejumlah pihak mendorong Indonesia bergabung dengan empat negara ASEAN tersebut. Sentimen kepemilikan tunggal terhadap kebaya dinilai tidak tepat dan malah akan menghambat pelestarian kebaya. Selain itu, sulit juga mengklaim kebaya sebagai kebudayaan milik Indonesia saja karena busana ini berkembang juga di negara tetangga. Penyebaran ini dinilai berhubungan dengan perdagangan di masa lalu.
”Ketika ada pergerakan manusia, kebudayaan pun ikut bergerak. Ini bisa menunjukkan bahwa saat orang Indonesia bermigrasi dulu, mereka tidak pernah meninggalkan kebudayaannya,” kata Itje.
Keputusan ada di tangan komunitas. Dengan mengedepankan prinsip perlindungan dan pemanfaatan warisan budaya, pemerintah mengikuti dan sudah berdiskusi dengan pihak Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Ia menambahkan, Indonesia diyakini memiliki sejarah kebaya terlama dibanding negara-negara tetangga. Catatan sejarah itu tetap bisa diajukan ke UNESCO ketika Indonesia memutuskan bergabung dengan empat negara tetangga. ”Joint nomination tidak mengurangi kesahan atau kesucian warisan budaya tersebut,” katanya.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Para peserta parade kebaya bertajuk Berkebaya Bersama Ibu Negara, di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (2/10/2022). Gelaran itu diikuti oleh Ibu Negara Iriana Joko Widodo. Momentum pelaksanaannya sengaja bertepatan dengan Hari Batik.
Direktur Pelindungan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Irini Dewi Wanti mengatakan, pemerintah terbuka untuk menempuh jalur pengajuan warisan budaya apa pun ke UNESCO, baik joint nomination maupun single nation nomination (diusulkan dari satu negara saja). Namun, keputusan itu mesti berdasarkan konsultasi dan dukungan komunitas pelestari kebaya.
”Keputusan tetap ada di tangan komunitas. Dengan mengedepankan prinsip perlindungan dan pemanfaatan warisan budaya, pemerintah tentunya mengikuti dan bahkan sudah berdiskusi dengan pihak Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand,” tambahnya.
Di sisi lain, mengajukan kebaya sebagai warisan budaya ke UNESCO dengan jalur single nation nomination dinilai tidak strategis. Sebab, setiap negara hanya bisa mengajukan satu nomine warisan budaya setiap dua tahun. Sementara itu, sudah ada antrean elemen budaya lain untuk diajukan ke UNESCO, yaitu jamu, kesenian reog Ponorogo, dan tradisi pembuatan tempe.
”Oleh karena itu, apa realistis jika kita bersikeras menolak kesempatan mengajukan kebaya secara multi-national nomination yang bisa diajukan bersama-sama pada Maret 2023?” kata pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Indiah Marsaban.