Sedikitnya Lima Perempuan Dibunuh Setiap Jam oleh Anggota Keluarga
Tiap jam sedikitnya lima perempuan dan anak perempuan jadi korban pembunuhan atau percobaan pembunuhan karena jendernya atau femisida. Korban kerap kali tak berani melaporkan kejahatan yang dialami hingga berujung maut.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil studi terbaru UN Women menemukan setiap jam sedikitnya lima perempuan dan anak perempuan dibunuh dan mayoritas karena jendernya atau femisida oleh anggota keluarga sepanjang tahun 2021. Namun data femisida itu masih minim dan sulit dikumpulkan sehingga pemutakhiran data mendesak dilakukan untuk memperoleh informasi yang akurat dan perbaikan kebijakan pencegahan femisida.
Merujuk definisi dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), femisida merupakan pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara sengaja karena jenis kelamin atau jendernya. Pembunuhan itu didorong oleh rasa cemburu, memiliki, superioritas, dominasi, dan kepuasan sadistik terhadap perempuan.
Data UN Women, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) khusus untuk isu perempuan dan jender, menemukan ada 81.100 perempuan dan anak perempuan dibunuh secara sengaja pada tahun 2021. Sekitar 45.000 korban di antaranya dibunuh oleh pasangan intim atau keluarganya.
”Dari data itu menunjukkan, femisida terjadi dalam skala yang besar sehingga tidak menutup kemungkinan kekerasan terhadap perempuan lebih besar lagi. Melalui data, proses intervensi dan pencegahan femisida dapat dilakukan lebih awal dan lebih efektif,” kata Kepala Program UN Women Indonesia Dwi Faiz dalam peluncuran pengetahuan femisida ”Lenyap dalam Senyap” secara daring, di Jakarta, Senin (28/11/2022).
Jadi, pemulihan korban akan menjadi bagian pertimbangan hakim dalam menilai perkara. Hakim Agung MA juga akan mempertimbangkan femisida sebagai pemberatan hukuman atau membuat pasal sendiri yang akan mengaturnya nanti. (Desnayeti)
Selain itu, lanjut Dwi, pemetaan data dapat memastikan setiap korban femisida terhitung dan pelaku bertanggung jawab agar dapat terwujud keadilan bagi korban serta keluarganya. Hal ini disebabkan femisida juga termasuk kejahatan paling senyap lantaran korban tidak mampu melaporkan kejahatan terhadap mereka.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengutarakan, femisida masih awam di kalangan masyarakat Indonesia. Data spesifik terkait femisida juga belum tersedia oleh Polri ataupun Badan Pusat Statistik (BPS). Padahal, kata Andy, pendataan ini penting dalam penanganan femisida ke depannya.
Putusan Mahkamah Agung (MA) 2015-2022 menemukan, dari 100 putusan yang mengarah pada femisida oleh suami, 83 perkara menyebabkan korban meninggal dan 17 perkara lainnya berpotensi meninggal. Cara membunuhnya mayoritas dicekik, ditindih, dipukul, dan dibekap.
Rainy Maryke Hutabarat, anggota Komisi Paripurna Komnas Perempuan, menambahkan, dari pemantauan media daring, motif femisida oleh suami didominasi oleh rasa cemburu, ketersinggungan maskulinitas, korban ingin berpisah, dan kesal dengan korban. ”Komnas Perempuan menyimpulkan femisida di Indonesia merupakan bentuk penyiksaan berbasis jender terhadap perempuan,” ucapnya.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan merekomendasikan penguatan substansi dan struktur hukum terkait femisida pada MA, Kejaksaan, dan Polri. Selain itu, pemutakhiran data perlu dilakukan oleh Mahkamah Agung, Kepolisian Republik Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), lembaga pengada layanan, serta komisi nasional yang berhubungan dengan perempuan dan anak perempuan.
Hakim Agung MA Desnayeti memaparkan, belum ada peraturan yang mengatur femisida pada perempuan ataupun anak secara khusus di Indonesia. Karena itu, Desnayeti menilai hasil penelitian Komnas Perempuan yang terangkum dalam ”Lenyap dalam Senyap” merupakan langkah maju penegakan hak asasi manusia di masyarakat.
”Karena selama ini yang diperhatikan hanya hak atas pelaku, belum ada perhatian pada korban ataupun keluarga korban atas tindakan femisida,” katanya.
Pemulihan korban melalui restitusi atau penggantian rugi oleh pelaku masih sulit dilakukan karena tidak ada regulasi pelaksanaan permohonannya. Menurut Desnayeti, hal ini dapat diwujudkan melalui Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana.
”Jadi pemulihan korban akan menjadi bagian pertimbangan hakim dalam menilai perkara. Hakim Agung MA juga akan mempertimbangkan femisida sebagai pemberatan hukuman atau membuat pasal sendiri yang akan mengaturnya nanti,” tutur Desnayeti.
Menurut Niken Savitri, pengajar hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), femisida secara umum sudah ada dalam cakupan perbuatan tindak pidana perundangan Indonesia, tetapi belum secara khusus mengatur. Karena itu, femisida masih disamakan dengan tindak pidana menghilangkan nyawa lainnya.
”Sebagai unsur subyektif, kebencian terhadap perempuan merupakan unsur yang cukup sulit untuk dibuktikan. Misalnya dalam pembunuhan, ada unsur sengaja dan rencana, ketika ditambahkan unsur kebencian terhadap perempuan. Hal ini berarti ada tiga unsur yang perlu dibuktikan dan bukanlah hal yang mudah,” ungkapnya.
Untuk menambahkan motif kebencian terhadap perempuan dalam putusan hakim sebagai pemberatan hukuman juga memerlukan perspektif hakim dan pengetahuan cukup terkait femisida.