Guru dituntut untuk profesional dan memberikan yang terbaik dalam pendidikan. Walau begitu, guru juga butuh dukungan untuk sejahtera lahir batin.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesejahteraan lahir batin atau wellbeing dalam diri seorang guru penting untuk ditumbuhkan. Para guru bukan hanya sosok profesional, namun juga seorang manusia yang menghadapi tantangan kehidupan. Perhatian pada guru bukan saja tentang bagaimana meningkatkan kapasitas profesional mereka, melainkan juga kemampuan mereka mengelola stres atau tekanan dalam hidupnya.
Wulan Septiandari, National Principal of Sampoerna Academy L’Avenue, Senin (28/11/2022), mengatakan, di masa pandemi Covid-19, para guru mengalami banyak tekanan untuk memastikan pembelajaran tetap berlangsung dengan baik. Meskipun ada keterbatasan dalam aktivitas belajar, mereka tetap harus menyesuaikan pembelajaran dengan kualitas yang sama.
”Kami pun menyadari pentingnya mendukung guru agar tetap termotivasi. Apalagi pendidikan sekarang ini menuntut guru tidak hanya mengajar dengan model hafalan dan transfer pengetahuan yang selesai saat tes, tapi hasil belajar itu harus bisa dibawa pada isu-isu terkait lingkungan sekitar atau pembelajaran yang relevan,” ungkap Wulan.
Arah pembelajaran saat ini menempatkan guru sebagai fasilitator. Guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar dan mahatahu, tapi berpikiran terbuka untuk juga belajar bersama siswa. Para guru harus terbiasa berkolaborasi, baik dengan sesama guru dan siswa, berkomunikasi dalam menyampaikan ide/gagasan, kreatif, berpikir kritis, dan menjadi teladan untuk pembentukan karakter.
Anger and Stress Management Specialist Bagia Arif Saputra menuturkan, guru terbiasa menjadi pemimpin di kelas, diandalkan para siswa dan orangtua. Akibatnya, para guru harus merasa menunjukkan sisi dirinya yang paling kuat.
Oleh karena itu, para guru perlu untuk berani memunculkan sisi kemanusiaannya. Seorang guru wajar saja merasa tidak baik-baik saja. Dia harus mengizinkan dirinya memproses stres yang dihadapinya, baik karena pekerjaannya maupun masalah lain di luar sekolah.
”Stres itu bisa muncul karena ada faktor pemicu dari dalam maupun luar. Stres wajar saja dan itu bisa dikelola. Keterampilan mengelola stres ini berguna untuk guru agar tetap dapat hadir di kelas secara profesional. Dampaknya juga baik bagi siswa karena bisa mencontoh gurunya,” ujar Bagia.
Guru terbiasa menjadi pemimpin di kelas, diandalkan para siswa dan orangtua. Akibatnya, para guru harus merasa menunjukkan sisi dirinya yang paling kuat.
Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Sampoerna University, Susilowaty, mengatakan, di institusi pendidikan, perlu dibangun suasana kerja yang saling mendukung di antara para pendidik. Ada berbagai cara sederhana, dari sekadar makan siang bersama dengan santai sambil membahas peserta didik guna saling melengkapi informasi sehingga bisa memahami siswa/mahasiswa. Bisa juga berbagi strategi pembelajaran sehingga mendapatkan cara yang efektif.
Adanya kolaborasi di antara sesama pendidik menjadi berharga untuk memotivasi dan menciptakan suasana hati yang nyaman saat bekerja. Bisa juga dengan aktivitas bersama yang ringan, tetapi bermakna untuk tetap membawa suasana hati dan lingkungan kerja yang positif.
Butuh ”mindfullness”
Bagia mengatakan, para guru yang merasa sedang terbeban perlu mendapat dukungan. Guru bersangkutan pun harus mengingat bahwa dirinya juga seorang manusia.
”Sebagai seorang manusia, wajar kalau guru juga bisa mengalami kelelahan, kebingungan, dan segala macam emosi yang membuat dia tidak mengerti menghadapinya. Daripada menghukum diri harus selalu bisa dan kuat, tidak apa-apa berhenti sejenak, memberikan waktu untuk diri sendiri. Tujuannya, supaya dia bisa merasakan stres dan meluangkan waktu untuk diri sendiri,” kata Bagia.
Bagia menambahkan, keterampilan mengelola emosi diri lalu mengelolanya sehingga bisa positif lagi ini akan membuat guru lebih siap menghadapi siswa. ”Guru yang memahami emosinya dan mampu mengelolanya juga akan lebih berempati pada siswa, termasuk pada siswa yang dianggap bermasalah,” kata Bagia.
Bagia membagi sejumlah tips. Para guru perlu memiliki batasan-batasan. Artinya, mereka harus mengizinkan dirinya untuk rehat sejenak dan memproses stresnya. Lalu, pemimpin atau kepala sekolah harus menganalisis kondisi guru dan berbicara tentang kesehatan mentalnya, jika perlu dengan bantuan terapis/ahli.
”Penting juga memfasilitasi para guru untuk melatih teknik mindfulness sehingga mampu mengelola stresnya. Tidka perlu harus healing ke luar kota, misalnya. Tapi, bisa dilakukan kapan pun dan di mana pun oleh sang guru,” ujar Bagia.
Bagia memaparkan, mindfulness adalah teknik untuk meningkatkan kesadaran diri sehingga tahu tentang kondisi pikiran, perasaan, dan tubuh diri sendiri. Salah satunya, bisa dilakukan dengan meditasi guna mentransformasi energi rendah ke tinggi. Mengelola stres bukan dengan mengontrol emosi (mengubur, memendam, atau menekan emosi). Namun, emosi yang di level rendah ini bisa ditransformasi ke level yang tinggi (positif) dengan teknik bernapas.
”Meditasi itu bukan ibadah. Tapi, sebuah proses untuk bisa terkoneksi dengan diri. Bermeditasi mendengar pikiran, perasaan, dan tubuh,” kata Bagia.