Narasi ”Well-Being” Memberikan Kebahagiaan Anak dalam Belajar
Orientasi belajar yang mengejar akademik dengan proses belajar yang tak menyenangkan di masa pandemi Covid-19 membuat siswa semakin menderita. Karena itu, pendidikan perlu memperhatikan kondisi sosial emosional anak.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
Pandemi Covid-19 membuktikan perlunya pendidikan emosional dan sosial secara sistemik bagi anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Pandemi membatasi interaksi, memunculkan masalah kesehatan mental dan emosional seperti distraksi, depresi, bunuh diri, kesepian, dan hilangnya tujuan hidup. Sistem pendidikan pun dituntut supaya mengintegrasikan pembelajaran dan well-being untuk menghadirkan sosok anak didik yang tangguh dan bahagia meskipun menghadapi kesulitan hidup.
Dunia pendidikan perlu mengambil momentum pandemi Covid-19 ini untuk kembali menelisik sistem pendidikan yang menyeimbangkan tujuan akademik dan sosial emosional demi membantu anak-anak menggapai secara penuh potensi diri sesuai keunikan mereka. Well-being pun menjadi narasi yang coba didekatkan dalam sistem pendidikan supaya generasi masa depan memiliki keseimbangan dalam mengembangkan kemampuan intelegensia, sosial-emosional, dan spiritual.
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, dalam konferensi pers virtual bertajuk ”Kondisi Pendidikan Indonesia Masa Pembelajaran Jarak Jauh”, Senin (9/8/2021), mengatakan, masa pandemi Covid-19 memberi pelajaran berharga untuk membukakan kenyataan tentang sistem pendidikan Indonesia. ”Saatnya narasi baru dalam pendidikan dimunculkan secara cepat. Saat ini bukan sekadar mengubah kurikulum darurat dengan menyederhanakan materi pembelajaran, melainkan yang sangat penting justru membuat proses pendidikan yang menyenangkan, yang mendukung kodrat anak berkembang sesuai potensi unik mereka. Jika tidak, bukan learning loss yang tejadi, melainkan double learning loss. Anak-anak tak belajar dan secara sosial-emosi juga tertekan,” ujar Rizal.
Rizal menyebut, dari hasil riset GSM terhadap suara anak-anak SD, SMP, dan SMA/SMK sederajat selama pandemi, ditemukan 50-70 persen persen anak-anak mengalami emosi negatif, terutama kesulitan belajar. Ada rasa tidak bahagia dengan proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang sebenarnya refleksi dari masa sebelum pandemi.
Pendidikan dinilai tak terlalu bermakna karena tidak sesuai dengan kebutuhan. Anak-anak di jenjang SMA, misalnya, merasa tak produktif akibat pembelajaran yang tak banyak mendukung keterampilan baru yang dibutuhkan untuk kehidupan yang semakin tak pasti. Kebutuhan mereka untuk dapat membangun interaksi dengan sesama dan memecahkan persoalan sehari-hari tak mendapat saluran. Padahal, secara kreatif kebutuhan ini sebenarnya dapat didesain guru dalam pembelajaran, termasuk ketika belajar berbasis dari rumah atau home base learning.
Tak banyak suara anak atau pelajar yang dijadikan acuan dalam kebijakan pendidikan. Pun di masa pandemi, ketika pemerintah mengkhawatirkan learning loss lebih ditujukan pada ketidaktercapaian hasil belajar yang baik. Lalu, kendala belajar selama pandemi yang mengandalkan PJJ lebih dominan diatasi dengan proyek triliunan rupiah untuk menyediakan akses internet, digitalisasi pendidikan, hingga penyiapan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas.
Akibat orientasi belajar yang mengejar akademik semata dengan proses belajar yang tak menyenangkan, yang tetap dilakukan di masa PJJ, justru siswa semakin menderita dengan tingginya emosi negatif yang membuat mereka tak bergairah belajar (Muhammad Nur Rizal)
”Padahal, pandemi Covid-19 memunculkan masalah pendidikan yang dulunya tak diperhatikan atau dipandang tidak penting. Akibat orientasi belajar yang mengejar akademik semata dengan proses belajar yang tak menyenangkan, yang tetap dilakukan di masa PJJ, justru siswa semakin menderita dengan tingginya emosi negatif yang membuat mereka tak bergairah belajar,” jelas Rizal.
Tak sekadar akademik
Dalam riset OECD periode tahun 2020-2021 di berbagai belahan dunia, anak muda usia 15-24 tahun mengalami masalah kesehatan mental yang semakin tinggi. Lalu, narasi untuk mulai memperhatikan aspek sosial-emosional atau menghadirkan tujuan well-being dalam pendidikan pun ditekankan.
Bahkan, OECD merilis suatu kajian faktor X atau non-akademik yang diuji di PISA 2018 pada tahun ini. Setelah anak-anak usia 15 tahun di 75 negara dites sains, matematika, dan literasi, ternyata ada faktor non-akademik yang penting, yakni growth mindset atau pola pikir bertumbuh yang harus mulai diajarkan ke anak-anak supaya mereka menjadi sosok yang terus berproses dan tidak berhenti belajar. Capaian akademik yang baik akan mengikuti jika para siswa disiapkan dengan pola pikir bertumbuh melalui dukungan guru/sekolah dalam pembelajaran.
Newsletter World Innovation Summit for Education (WISE) Global Summit 2021 yang akan digelar di Qatar akhir tahun ini memberi tempat bagi anak-anak untuk bersuara atau disebut generation unmute. Wacana tentang kesehatan mental dikemukakan bahwa ini bukan hanya tanggung jawab orangtua untuk memastikan anak-anak mereka bahagia. Masalah mental dan emosional, seperti depresi, bunuh diri, kesepian, dan kekurangan tujuan hidup, sudah menjadi prevelansi di masyarakat dan meningkat sehingga harus diatasi bersama.
Kondisi tidak pasti seperti pandemi memunculkan pentingnya menghadirkan well-being dalam tiap orang untuk mendukung pembangunan nasional. Reformasi pendidikan pun diperintahkan dengan tegas menyasar pembuat kebijakan di tingkat atas hingga pelaksana di akar rumput agar menginvestaiskan dengan serius untuk memastikan well-being dan pendidikan siswa berjalan bersamaan.
Strategi penting untuk meningkatkan well-being yang berdampak baik pada kesehatan dan pendidikan anak-anak dan remaja disebutkan dapat dilakukan dengan lima intervensi. Ada soal pola pikir bertumbuh, mindfulness, pembelajaran yang memperhatikan sosial-emosional, pendidikan secara positif, dan integrasi dukungan pada siswa.
Master Coach Growth Mindset Djohan Yoga mengatakan, pengujian PISA oleh OECD melakukan perubahan fundamental dengan tak sekadar melihat capaian akademik siswa di seluruh dunia. Ada dorongan baru yang digerakkan bagi sekolah untuk membantu siswa memiliki growth mindset (GM) atau pola pikir bertumbuh karena dapat menggerakkan motivasi tinggi untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi. Hal ini sangat bermanfaat, terutama bagi anak-anak yang selama ini terpinggirkan dalam sistem pendidikan, mulai dari anak yang dianggap bodoh hingga dari sosial-ekonomi rendah.
Djohan mengatakan, 62 persen siswa Indonesia percaya bahwa kemampuan mereka tak bisa diubah. Mereka yang bodoh atau biasa-biasa saja merasa tak yakin mampu melakukan lompatan prestasi.
”Padahal, mindset ini memengaruhi prestasi dan lebih besar dampaknya dibandingkan kecerdasan. Pendidikan Indonesia harus membantu guru menjadi coach GM sehingga siswa memiliki mindset bertumbuh dan mencapai prestasi terbaik sesuai potensi unik mereka,” ujar Djohan.
Menurut Djohan, gerakan untuk menyiapkan guru sebagai GM coach pun sudah mulai dilakukan. Ratusan guru dan kepala sekolah mengikuti pelatihan daring dan terus akan ditingkatkan jumlahnya. Tujuannya supaya sekolah dan kampus tidak lagi gerasang, tetapi hijau. Guru dan anak-anak percaya diri untuk belajar berama karena mereka tak lagi takut belajar meskipun awalnya salah, tetapi dalam prosesnya bertumbuh menjadi lebih baik.
”Kalau siswa memiliki mindset bertumbuh, anak-anak akan suka menghadapi tantangan, mereka selalu terinspirasi, dan dapat menerima masukan untuk membuat dirinya lebih baik. Anak-anak akan bahagia dan siap menghadapi situasi yang semakin tidak pasti dengan keyakinan bisa menjalaninya,” ujar Djohan.
Rizal meyakini pendidikan harus diarahkan untuk mendukung anak-anak mampu mencapai keseimbangan hidup. Orientasi ini diawali dengan perubahan arah pendidikan yang mendukung guru dan sekolah merdeka dalam melayani anak-anak dengan pendidikan yang mendukung tumbuh kembang dan potensi mereka, lalu dicari strategi belajar yang tepat.
”GSM ada kelas praktik yang bisa diterapkan guru, lalu mereka ditantang untuk menerapkan dan mengembangkan sesuai kondisi entah luring atau daring dan saling berbagi,” kata Rizal.
Menurut Rizal, kondisi pandemi dengan cakupan vaksin yang masih rendah bisa membuat PJJ berlangsung panjang. Untuk itu, pemerintah diminta membuat kurikulum darurat yang tidak sekadar menyederhanakan pembelajaran, tetapi membantu membangun kebahagiaan dan kesadaran diri.
”Orang akan kasmaran belajar dan punya energi lebih atau motivasi jika merasa bahagia belajar. Peran guru memberi ruang fasilitasi supaya passion bisa beekembang, entah jadi akademisi, seniman, olahragawan, pengusaha, atau apa saja. Tetapi tetap dalam kerangka akademik atau sikap ilmiah. Orientasinya bukan lagi mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, melainkan membantu siswa bernalar, punya kesadaran diri, dan mampu memecahkan masalah,” kata Rizal.