Peluang Penelitian Sejarah dan Budaya dari Dewi Durga
Sebagian praktik budaya dan spiritual masyarakat saat ini dinilai berkaitan dengan pemujaan Dewi Durga yang telah dikenal masyarakat masa lampau selama sekitar 700 tahun.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
DS
Pemuka agama Hindu melakukan ritual di depan berhala Dewi Durga pada rangkaian prosesi festival Durga Puja di Kolkata, India, Senin (11/10/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Kepercayaan terhadap Dewi Durga, salah satu dewi dalam ajaran Hindu, masih ditemukan dalam beragam praktik spiritual dan budaya Indonesia masa kini. Keragaman praktik, tafsir, hingga visualisasi Dewi Durga dinilai dapat menjadi peluang penelitian sejarah dan budaya baru.
Hal ini mengemuka pada simposium Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2022 yang berlangsung secara daring, Jumat (25/11/2022). BWCF tahun ini bertema ”Membaca Ulang Pemikiran Hariani Santiko (1940-2021): Durga di Jawa, Bali, dan India”. Tema ini diadaptasi dari disertasi arkeolog Hariani berjudul Kedudukan Batari Durga di Jawa pada Abad X-XV Masehi pada 1987.
BWCF digelar pada 24-27 November 2022 secara daring dan luring di Yogyakarta. Ajang tahunan bagi akademisi, pegiat seni, dan pegiat budaya ini diisi sejumlah acara antara lain simposium, ceramah umum, peluncuran buku, dan pertunjukan seni.
TANGKAPAN LAYAR
Simposium Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2022 yang berlangsung secara daring, Jumat (25/11/2022). BWCF digelar pada 24-27 November 2022 secara daring dan luring di Yogyakarta. BWCF tahun ini bertema “Membaca Ulang Pemikiran Hariani Santiko (1940-2021): Durga di Jawa, Bali, dan India”.
Arkeolog dan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Titi Surti Nastiti mengutarakan, Dewi Durga disebutkan dalam sejumlah prasasti Jawa Kuno dan Bali Kuno, seperti Prasasti Terep, Camundi, dan Bhatari Durga. Selain dipuja, Durga juga menjadi satu-satunya dewi yang disebut dalam sapatha (kutukan) yang tercantum pada prasasti, misalnya Prasasti Trailokyapuri. Durga digambarkan sebagai sosok yang bakal menghukum perusak sima (wilayah).
”Durga sebagai penghukum digambarkan sangat kejam dan menakutkan. Hal ini sesuai dengan tradisi Hindu yang menggambarkan Dewi Durga sebagai dewi menakutkan yang minta kurban daging dan darah, bahkan manusia,” ucap Titi.
Di sisi lain, pemujaan terhadap Durga digambarkan berbeda di Prasasti Jiu II yang berasal dari tahun 1408 Masehi. Prasasti yang menggambarkan puja caru (persembahan) kepada Dewa Yama dan Bhatari Durga ini menyebutkan air susu sapi, bukan darah. Hal ini disebutkan pula pada naskah Calon Arang dari abad ke-15.
Indikasi pemujaan juga ada di Prasasti Kehen C yang berasal dari tahun 1204 Masehi. Pengajar Universitas Hindu Indonesia, I Gde Agus Darma Putra, mengatakan, ritus Pamunuh Kbo Cmem di Prasasti Kehen C dinilai berkaitan dengan pemujaan Durga. Pamunuh Kbo Cmem merupakan ritual menyembelih kerbau hitam. Namun, belum ada bukti kuat untuk menyatakan bahwa ritual itu berhubungan dengan pemujaan Durga di masa Bali Kuno.
Adapun arca Durga Mahisasuramardini juga menunjukkan pemujaan terhadap Durga. Namun, metode pemujaan tidak terekam dalam prasasti-prasasti Bali Kuno.
KOMPAS/AYU SULISTYOWATI
Umat hindu bali membawa sesaji ke pura salah satunya saat hari raya, termasuk Galungan.
Perwakilan Pasraman Dharma Sila, Ida Bagus Bhaskara, mengatakan, pemujaan terhadap Durga masih berlangsung di Bali. Pemujaan itu ada yang bersifat pribadi dan ada yang umum. Pemujaan pribadi umumnya berhubungan dengan ritus soal kesaktian dan untuk kepentingan pribadi. Pemujaan umum biasanya untuk keselamatan dan kepentingan bersama di suatu wilayah.
Secara konseptual, (Durga di Indonesia dan India) sama, tapi visualisasi dan penerapannya berbeda. Ini menarik untuk dikaji lebih jauh.
Menurut pengajar Departemen Sejarah Universitas Negeri Malang, Ismail Lutfi, Durga dimanifestasikan secara beragam. Penggambaran Durga di Indonesia dan India pun berbeda.
Durga di India digambarkan sebagai sosok dewi yang rupawan dan dipuja masyarakat. Sementara itu, di Indonesia Durga ada yang digambarkan sebagai dewi seperti di India, tetapi ada pula yang digambarkan sebagai raksasa. Hal ini merujuk ke sosok Durga setelah dikutuk suaminya, Dewa Siwa.
”Secara konseptual, (Durga di Indonesia dan India) sama, tapi visualisasi dan penerapannya berbeda. Ini menarik untuk dikaji lebih jauh,” ucap Ismail.
DS
Pemuka agama Hindu melakukan ritual di depan berhala Dewi Durga pada rangkaian prosesi festival Durga Puja di Kolkata, India, Senin (11/10/2021).
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid sebelumnya mengatakan bahwa perbedaan tersebut berkaitan dengan daya cerna kebudayaan masyarakat Nusantara. Ia berharap agar BWCF memantik pemikiran dan penelitian baru. ”Ini agar penjelajahan pemikiran tentang sejarah dan kebudayaan bisa terus berkembang,” tuturnya.
Tidak hilang
Di sisi lain, ritual Durga dinilai sudah lenyap dan tidak dilaksanakan lagi di Jawa. Walakin, para antropolog menilai bahwa unsur pemujaan itu tidak hilang begitu saja, melainkan meresap ke ritual tradisi Jawa di pedesaan. Ini karena Durga telah lama dikenal masyarakat.
Hal tersebut merujuk ke arca mengenai Durga yang ditengarai jumlahnya sangat banyak di Jawa. Arca tertua diperkirakan berasal dari abad ke-8 Masehi, sedangkan yang termuda dari abad ke-15 Masehi. Artinya, Durga dikenal masyarakat setidaknya selama 700 tahun.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga berebut isi gunungan yang diyakini membawa berkah dalam tradisi Grebeg Maulud di kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Kamis (24/1). Selain untuk memperingati hari raya Maulud Nabi Muhammad SAW, tradisi yang digelar setiap tahun tersebut juga menjadi simbol pemberian sedekah dari Raja Keraton Yogyakarta kepada rakyatnya.
Menurut Stephen C Headley, penulis buku Durga’s Mosque: Cosmology, Conversion and Community in Central Javanese Islam, upacara Sesaji Mahesa Lawung oleh Keraton Surakarta merupakan sisa dari kultus Durga di Jawa. Pada upacara itu, para kerabat istana dan abdi dalem menuju Hutan Krendowahono untuk menanam kepala kerbau hitam.
Hutan tersebut dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Bhatari Durga sebagai pelindung keraton dari arah utara. Adapun penanaman kepala kerbau hitam ini dilakukan setiap tahun pada hari ke-40 setelah acara Grebeg Maulud atau peringatan Maulid Nabi.