Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2022 kembali diselenggarakan secara daring dan luring. Tahun ini, BWCF akan membahas pemikiran arkeolog Hariani Santiko.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
DS
Pemuka agama Hindu melakukan ritual di depan berhala Dewi Durga pada rangkaian prosesi festival Durga Puja di Kolkata, India, Senin (11/10/2021).
JAKARTA, KOMPAS – Disertasi arkeolog Hariani Santiko (1940-2021) tentang salah satu dewi Hindu, Dewi Durga, dibahas kembali dalam Borobudur Writers and Cultural Festival 2022. Kajian yang tergolong langka ini diharapkan memperkaya perspektif para akademisi dan pelaku seni kontemporer.
Pada 1987, arkeolog Universitas Indonesia, Hariani Santiko, mempertahankan disertasi berjudul Kedudukan Batari Durga di Jawa pada Abad X-XV Masehi. Menurut kurator dan pendiri Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) Seno Joko Suyono, disertasi ini penting karena memuat data dan analisis tentang arca-arca Durga di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari disertasi ini pula publik bisa membandingkan Durga di zaman India kuno, India sekarang, hingga Bali sekarang.
”Ini adalah disertasi yang sangat langka dan ditulis dengan standar ilmiah yang tinggi. Kultus terhadap Durga, menurut Hariani Santiko, merupakan bagian dari kultur dewi ibu pada masyarakat agraris. Durga adalah ibu dunia penyebab adanya nama dan rupa karena Durga adalah Sakti Siwa saat mencipta,” ucap Seno pada pembukaan BWCF 2022 secara daring, Kamis (24/11/2022).
TANGKAPAN LAYAR
Kurator dan pendiri Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) Seno Joko Suyono saat membuka BWCF 2022 secara daring, Kamis (24/11/2022). BWCF adalah ajang tahunan yang mempertemukan penulis, pekerja kreatif, pegiat budaya dan keagamaan, serta akademisi. BWCF 2022 mengangkat tema "Membaca Ulang Pemikiran Hariani Santiko".
BWCF adalah ajang tahunan yang mempertemukan penulis, pekerja kreatif, pegiat budaya dan keagamaan, serta akademisi. Perhelatan ke-11 ini diisi, antara lain, dengan pidato kebudayaan, peluncuran buku, ceramah umum, simposium, dan pertunjukan seni.
Setiap tahun BWCF memilih tema untuk memantik diskusi soal gagasan pada sastra, seni, hingga religi Indonesia. Adapun tema BWCF 2022 adalah Membaca Ulang Pemikiran Hariani Santiko. BWCF 2022 berlangsung pada 24-27 Agustus secara daring dan luring.
Forum ini mengkaji ulang pemikiran penting para cendekia yang telah melakukan kajian serius dan ilmiah terhadap sejarah dan budaya Nusantara kuno.
”Forum ini mengkaji ulang pemikiran penting para cendekia yang telah melakukan kajian serius dan ilmiah terhadap sejarah dan budaya Nusantara kuno. Dengan forum ini diharapkan pemikiran-pemikiran tua yang tadinya terlupakan dapat terangkat kembali, serta jadi ide segar bagi akademisi, pelaku sastra kontemporer, hingga pekerja seni kontemporer,” kata Seno.
RKS
Aneka bunga yang dijadikan salah satu sesaji saat umat Hindu menjalani ritual pagi di Sangam, pertemuan sungai Gangga dan Yamuna, pada hari pertama Festival Navratri di Prayagraj, Uttar Pradesh, India, Selasa (13/4/2021). Navaratri berlangsung selama sembilan hari, dengan tiga hari masing-masing dikhususkan untuk memuja dewi keberanian Durga, dewi kekayaan Laksmi, dan dewi ilmu pengetahuan Saraswati.
Dalam agama Hindu, Dewi Durga adalah istri Dewa Siwa yang dikenal pula dengan beragam nama, seperti Uma, Parwati, dan Durga Mahisasuramardini. Dewi Durga juga adalah dewi perang yang melambangkan kekuatan serta perlindungan.
Kurator BWCF 2022 I Gusti Agung Paramita mengatakan, arca Durga jumlahnya sangat banyak di Jawa. Arca tertua diperkirakan berasal dari abad ke-8, sedangkan yang termuda sekitar abad ke-15.
”Selama lebih kurang 700 tahun, segala produk keagamaan yang berkaitan dengan Durga, mulai dari arca, relief, prasasti, hingga kakawin-kakawin (puisi panjang) diproduksi di Jawa. Tak bisa dimungkiri bahwa arca-arca Durga Mahisasuramardini di Jawa memiliki tingkat artistik luar biasa yang agak berbeda dengan arca di India,” tutur Agung.
DS
Pemuka agama Hindu melakukan ritual di depan berhala Dewi Durga pada rangkaian prosesi festival Durga Puja di Kolkata, India, Senin (11/10/2021).
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, sosok Durga digambarkan berbeda-beda di Nusantara. Durga di karya sastra istana digambarkan sebagai dewi yang cantik, mirip dengan di karya sastra klasik India. Sementara itu, Durga di sastra masyarakat digambarkan sebagai raksasa. Perbedaan itu disebabkan stratifikasi atau pembagian kelas sosial.
”Kajian Bu Ani (Hariani) membantu kita melihat bagaimana kebudayaan yang datang dari luar, (antara lain) India, Tionghoa, Eropa, Arab, dan seterusnya ketika datang ke Nusantara diterima, ditanggapi, diolah, dan dijadikan bagian kekayaan Nusantara,” ujarnya.
Pada pidato kebudayaannya, peneliti Ni Wayan Pasek Ariati menjelaskan bahwa sebagian masyarakat keliru mengenali sosok Dewi Durga sebagai Rangda Indirah. Rangda Indirah adalah sosok janda sakti dalam kisah Calon Arang. Warga takut pada Rangda Indirah sehingga tidak ada yang berani mendekati dan meminang anak perempuannya.
Rangda Indirah sakit hati, lantas meminta pada Dewi Durga agar dianugerahi kesaktian. Rangda Indirah pun menyebarkan wabah penyakit dengan kesaktiannya.
TANGKAPAN LAYAR
Peneliti dan peraih gelar doktor dari Charles Darwin University, Australia, Ni Wayan Pasek Ariati, menyampaikan pidato kebudayaan pada Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2022 secara daring, Kamis (24/11/2022)
Adapun Dewi Durga kala itu tidak berwujud perempuan cantik, melainkan raksasa karena dikutuk Dewa Siwa. Dewa Siwa murka setelah mendengar Dewi Durga disebut memiliki hubungan dengan dewa lain.
Ini sebabnya Dewi Durga digambarkan berbeda-beda di beberapa tempat. Di India, Dewi Durga digambarkan sebagai dewi cantik. Banyak masyarakat yang memujanya karena Dewi Durga dikenal pemurah. Di Jawa, Dewi Durga ada yang digambarkan mirip seperti di India, tetapi ada juga penggambaran sebagai raksasa.
”Orang di Bali masih rancu antara Dewi Durga dan Rangda Indirah. Orang tidak memahami bahwa Rangda itu pemuja setia Batari Durga,” kata Ariati, yang meraih gelar doktor di Charles Darwin University, Australia.