Pandemi adalah sejarah yang terus berulang. Dalam beragam bentuk penyakit yang berbeda, kisah yang menyertai dan menjadi dampak dari wabah cenderung sama. Catatan-catatannya tertulis sebagai literasi pengetahuan.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Pandemi merupakan sejarah yang terus berulang dalam sejarah peradaban manusia. Kisah tentang penularan, puncak wabah, dan upaya penanganannya tercatat di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, sebagai bagian dari literasi pengetahuan.
Demikian benang merah abstraksi empat buku yang ditulis Ravando M Hum, Dr Imas Emalia, Atep Kurnia, dan Syefri Luwis, yang diluncurkandalam pembukaan Borobudur Writers and Cultural Festival 2020, yang digelar secara virtual dari Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (19/11/2020).
Ravando menulis buku berjudul Perang Melawan Influenza. Pandemi Flu Spanyol di Hindia Belanda 1918-1919, dan Imas menulis buku berjudul Wabah Penyakit dan Penanganannya di Cirebon 1906-1940. Adapun dua buku karya dari Atep dan Syefri masing-masing adalah Jaman Woneng-Wabah Sampar di Priangan 1925-1937 dan Wabah Pes di Malang 1911-1916.
Ravando mengatakan, pandemi dengan berbagai ragam penyakitnya, disadari atau tidak, selalu menghadirkan cerita yang sama di tengah masyarakat. ”Bisa dibilang, mengalami situasi pandemi itu ibarat de javu (kisah yang seolah berulang),” ujarnya.
Ravando yang sebelumnya menerbitkan dua buku dan memiliki minat tinggi pada sejarah ini mengatakan, untuk flu saja, dunia mencatat bahwa ada wabah yang demikian beragam dan bertubi-tubi. Setelah terjadi flu Spanyol, juga pernah terjadi flu Asia pada 1957-1958.
Era tahun 2000-an kembali merebak jenis flu lain yang bersumber dari binatang, yaitu flu burung dan flu babi. Pada era tahun yang sama pula, muncul penyakit yang menyerang pernapasan yaitu, SARS (severe acute respiratory syndrome) dan MERS (middle-east respiratory syndrome).
Lebih memfokuskan pada penyakit flu Spanyol, Ravando mengatakan, jenis flu ini ini termasuk dalam kategori ganas. ”Karena demikian ganasnya, saat itu tercipta stigma, pagi sakit flu Spanyol, sore langsung meninggal dunia,” ujarnya.
Ketika itu, flu ini telah menginfeksi sepertiga dari jumlah penduduk dunia. Pada 1918, flu ini juga menewaskan sekitar 50 juta orang, lebih banyak dari jumlah korban meninggal dari Perang Dunia I.
Virus dari flu ini diduga berasal dari perkemahan militer di Kansas, Amerika Serikat. Sempat mereda selama beberapa saat, kala itu muncul gelombang penularan kedua. Hal ini mirip dengan kondisi pandemi Covid-19.
Sempat mereda selama beberapa saat, kala itu muncul gelombang penularan kedua. Hal ini mirip dengan kondisi pandemi Covid-19.
Sementara itu, Syefri Luwis dalam bukunya menyebutkan, wabah pes yang demikian hebat kala itu akhirnya menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda menempuh kebijakan karantina, atau yang saat ini dikenal dengan istilah lockdown. Karantina sempat diberlakukan pada 1911-1912. Ketika itu, setiap orang yang keluar masuk suatu wilayah dibatasi sangat ketat dengan kewajiban membawa surat izin bepergian.
Setelah berlangsung selama dua tahun, karantina di Malang dihentikan atas desakan kalangan pengusaha. Wilayah Malang pun kembali dibuka demi alasan ekonomi. ”Karena alasan ekonomi, wabah pun meluas tak terkendali. Jika pada tahun 1912 jumlah penderita pes terdata 2.000 orang, maka pada 1914 jumlah penderita melonjak, langsung menjadi 15.000 orang,” ujarnya.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian bergerak cepat dengan mengerahkan semua tenaga dokter, termasuk yang masih menempuh pendidikan di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Pada 1916, wabah ini dinyatakan teratasi dengan jumlah penderita terakhir hanya sekitar 500 orang.
Tidak hanya cerita tentang karantina dan penyebaran penyakit, pada masa lalu juga muncul kisah tentang upaya pembuatan vaksin. Atep Kurnia, yang mengisahkan tentang penyakit sampar di Priangan, mengatakan, upaya pembuatan vaksin pernah dilakukan oleh sejumlah tenaga medis dengan mengambil sampel darah dari pasien yang sudah meninggal dunia.
”Upaya pengambilan sampel darah ketika itu menimbulkan penolakan keras sehingga akhirnya pemerintah terpaksa melibatkan kalangan ulama untuk menenangkan reaksi masyarakat,” ujarnya.
Adapun Imas Emalia dalam bukunya memberi gambaran bahwa sumber penularan penyakit biasanya dipicu perilaku manusia dan lingkungan yang kurang bersih. Dalam bukunya, contoh dari kondisi tersebut terjadi di Cirebon setelah mengalami proses modernisasi oleh VOC.