Menggali Inspirasi dari Khazanah Literasi Klasik Nusantara
Khazanah literasi klasik Nusantara menyimpan berbagai pengetahuan yang masih relevan dengan situasi kekinian. Dari ragam literasi masa lalu itu, bisa digali inspirasi untuk menemukan solusi terhadap berbagai soal.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Pengunjung melihat-lihat buku yang dipamerkan di sela-sela Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2019, Kamis (21/11/2019), di salah satu hotel di Yogyakarta. Tahun ini, BWCF mengambil tema ”Tuhan dan Alam: Membaca Ulang Panteisme dan Tantrayana dalam Kakawin dan Manuskrip-manuskrip Kuno Nusantara”.
YOGYAKARTA, KOMPAS — Khazanah literasi klasik Nusantara menyimpan berbagai pengetahuan yang masih relevan dengan situasi kekinian. Dari ragam khazanah literasi masa lalu tersebut, bisa digali inspirasi untuk menemukan solusi terhadap berbagai persoalan.
”Khazanah literasi klasik Nusantara itu sangat relevan dengan situasi kekinian,” kata kurator Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF), Seno Joko Suyono, di sela-sela pembukaan BWCF 2019, Kamis (21/11/2019), di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
BWCF merupakan festival tahunan yang mempertemukan penulis, intelektual, seniman, pekerja kreatif, dan aktivis budaya. Festival yang digelar sejak 2012 ini biasanya diisi dengan diskusi, kuliah umum, pembacaan karya sastra, pertunjukan seni, dan pameran buku.
Tahun ini, BWCF mengambil tema ”Tuhan dan Alam: Membaca Ulang Panteisme dan Tantrayana dalam Kakawin dan Manuskrip-manuskrip Kuno Nusantara”. BWCF 2019 digelar pada 21-23 November 2019 di Yogyakarta dan di kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Acara itu diikuti ratusan penulis, seniman, dan intelektual.
Kurator BWCF, Mudji Sutrisno, menyampaikan pidato dalam acara pembukaan BWCF 2019, Kamis (21/11/2019), di salah satu hotel di Yogyakarta.
Dalam BWCF 2019, juga diberikan penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan Award kepada Achadiati Ikram (89), ahli filologi yang juga merupakan guru besar di Universitas Indonesia. Achadiati termasuk generasi awal filolog Indonesia sehingga dia menjadi guru dari banyak filolog Tanah Air.
Seno menjelaskan, berbeda dengan banyak forum atau pertemuan penulis di Indonesia, BWCF memfokuskan diri untuk mengeksplorasi khazanah literasi klasik Nusantara yang mencakup naskah dan manuskrip kuno yang berasal dari berbagai wilayah Nusantara. Oleh karena itu, dalam setiap penyelenggaraannya, BWCF membahas tema-tema yang berkait dengan manuskrip dan naskah kuno itu.
”Kami melihat banyak forum literasi yang fokusnya adalah sastra modern. Makanya, BWCF memosisikan diri untuk membahas khazanah klasik Nusantara, misalnya serat-serat dari Jawa, lalu manuskrip-manuskrip kuno dari Batak, Aceh, Sunda, dan sebagainya,” ungkap Seno.
Dari khazanah literasi klasik Nusantara, masyarakat bisa mendapatkan banyak inspirasi, misalnya mengenai budaya toleransi.
Seno memaparkan, dari khazanah literasi klasik Nusantara, masyarakat bisa mendapatkan banyak inspirasi, misalnya mengenai budaya toleransi. Dia mencontohkan, sejumlah kakawin Jawa kuno banyak membahas mengenai masalah toleransi dan pluralisme.
”Kalau kita membaca dan menikmati keindahan kakawin-kakawin Jawa kuno, pasti akan tumbuh perasaan toleran dalam diri kita dan itu bisa menjadi benteng terhadap munculnya radikalisme,” ucap Seno.
Kurator BWCF, Mudji Sutrisno (kanan), berbincang dengan sejumlah tokoh dalam acara pembukaan BWCF 2019, Kamis (21/11/2019), di salah satu hotel di Yogyakarta.
Zoetmulder
Seno menambahkan, BWCF 2019 difokuskan untuk menghormati dan mengenang jasa serta karya almarhum Petrus Josephus Zoetmulder yang merupakan pelopor studi Jawa kuno. Zoetmulder, yang lahir di Belanda pada 29 Januari 1906, juga merupakan rohaniwan Katolik yang telah menerbitkan sejumlah buku tentang kebudayaan Jawa.
Beberapa buku dari pria yang meninggal pada 8 Juli 1995 di Yogyakarta itu misalnya Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, serta Kamus Jawa Kuna-Indonesia.
”Tiga buku Romo Zoetmulder itu pasti akan dipakai oleh siapa pun yang mau belajar tentang sejarah Jawa kuno. Makanya dalam BWCF ini kami ingin memperingati kiprah Romo Zoetmulder,” ujar Seno.
Budayawan Mudji Sutrisno mengatakan, Zoetmulder memiliki jasa yang sangat besar dalam penelitian terkait religi, budaya, dan sastra Jawa kuno. Oleh karena itu, para peneliti yang melakukan studi Jawa kuno di kemudian hari sangat berutang pada penelitian yang dilakukan oleh Zoetmulder.
”Studi-studi Romo Zoetmulder menjadi dasar bagi siapa saja yang ingin menekuni dan melakukan penelitian mengenai Jawa kuno,” kata Mudji yang juga menjadi kurator BWCF.
Kurator BWCF, Mudji Sutrisno (kedua dari kiri), didampingi sejumlah tokoh, memukul gong sebagai tanda pembukaan BWCF 2019, Kamis (21/11/2019), di salah satu hotel di Yogyakarta.
Mudji menambahkan, dari karya-karya Zoetmulder, masyarakat juga bisa mengetahui bahwa peradaban Jawa kuno telah memiliki tradisi literasi yang sangat tinggi. Dia menyebut, para ahli di masa Jawa kuno itu telah memiliki kemampuan membaca sumber-sumber dari bahasa Sanskerta, lalu mengolah dan mengadaptasinya ke dalam kisah lain yang tak kalah tinggi kualitasnya.
”Namun, ironisnya, bisa dikatakan bahwa generasi milenial sekarang hampir tak mengenal isu-isu dan tema-tema sastra Jawa kuno yang sesungguhnya masih sangat relevan dan aktual bagi sumber inspirasi proses penciptaan karya-karya modern,” ujar Mudji.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Pengunjung melihat-lihat buku yang dipamerkan di sela-sela BWCF 2019, Kamis (21/11/2019), di salah satu hotel di Yogyakarta.