Kolaborasi Pembelajaran Mengarungi Arus Perubahan
Pandemi Covid-19 dalam 2,5 tahun terakhir telah mengakselerasi transformasi pembelajaran. Tanpa kolaborasi, perubahan cepat yang sulit diprediksi ini rentan memicu beragam persoalan yang makin rumit diatasi.
Siap atau tidak, gelombang disrupsi akan datang membawa arus perubahan di dunia pendidikan. Pandemi Covid-19 dalam 2,5 tahun terakhir telah mengakselerasi transformasi pembelajaran. Tanpa kolaborasi, perubahan cepat yang sulit diprediksi ini rentan memicu beragam persoalan yang makin rumit diatasi.
Pandemi memberikan banyak pelajaran berharga. Bukan hanya menunjukkan ketidaksiapan infrastruktur dan sumber daya pendidikan menerapkan pembelajaran daring, tetapi juga berbagai tantangan untuk mempersiapkan metode pendidikan lebih matang di masa depan.
Di awal pandemi 2020, pembelajaran tatap muka di sekolah ditiadakan untuk mencegah penularan Covid-19. Guru dan siswa berinteraksi di dunia maya melalui sistem daring.
Perubahan ini memicu banyak persoalan. Sekolah-sekolah di pelosok, misalnya, terkendala minimnya jaringan seluler dan internet. Di perkotaan, tak sedikit orangtua ”menjerit” karena terbebani biaya membeli kuota pulsa internet untuk pembelajaran siswa.
Selain persoalan teknis, masalah capaian pembelajaran juga mencemaskan. Hasil belajar daring tidak sebaik sistem tatap muka di kelas. Kondisi ini menurunkan kompetensi peserta didik.
Laporan yang diterbitkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak- anak (Unicef), dan Bank Dunia menyebutkan siswa di negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah telah kehilangan hampir empat bulan waktu sekolah. Adapun anak-anak sekolah di negara-negara berpenghasilan tinggi kehilangan hampir enam minggu waktu sekolah.
Temuan tersebut berdasarkan survei di hampir 150 negara pada Juni dan Oktober 2020. Hal ini menunjukkan learning loss atau kehilangan pembelajaran selama penerapan sistem daring tidak terbantahkan.
Secuil potret pendidikan saat pandemi itu menjadi alarm untuk lebih sigap beradaptasi menghadapi gelombang disrupsi dan perubahan di masa depan. Apalagi, disrupsi seperti dampak pandemi datang tanpa aba-aba sehingga tidak mudah diantisipasi.
Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) M Hasan Chabibie mengatakan, periode pandemi 2020-2021 memberikan pelajaran berarti bagi pendidikan di Tanah Air. Di saat siswa serta guru harus belajar dan mengajar dari rumah, ketersediaan konten pembelajaran berkualitas belum memadai.
“Sedikit sekali konten-konten berkualitas di periode kemarin. Jadi, kita harus berkolaborasi dan bergotong royong,” ujarnya dalam diskusi ‘Akselerasi Transformasi Digital untuk Pendidikan Berkualitas’ di Jakarta, Kamis (17/11/2022).
Konten pembelajaran bermutu mutlak diperlukan seiring kian masifnya penggunaan platform digital. Hal ini menuntut kreativitas guru dan sekolah dalam menjawab tantangan pendidikan pada 2023 dan masa mendatang.
Lewat pemanfaatan teknologi, guru tidak lagi hanya mengajar untuk siswa di kelasnya. Namun, konten pembelajarannya juga bisa diakses oleh peserta didik di sekolah dan daerah lain melalui beragam platform.
Hasan mencontohkan, saat ini di Platform Merdeka Mengajar terdapat sekitar 50.000 konten belajar. Jumlahnya diharapkan meningkat dua kali lipat tahun depan.
Konten-konten itu bisa diakses secara luas, termasuk oleh siswa dan guru. Jadi, referensi pembelajaran makin banyak dan bervariasi.
”Lompatan kualitas pendidikan bisa dilakukan menggunakan teknologi informasi. Ini dunia paling dekat dengan generasi siswa sekarang,” ucapnya.
Oleh sebab itu, mau tidak mau, pembelajaran berbasis digital harus diintensifkan. Apalagi 200 juta masyarakat Indonesia sudah mengakses internet yang didominasi generasi muda. Namun, potensi ini juga mesti dibarengi dengan perluasan akses internet hingga pelosok daerah.
Bukan berarti guru tak lagi diperlukan. Justru peran guru semakin kompleks dan dituntut ikut bertransformasi menjawab sejumlah tuntutan zaman.
Tingginya pengguna internet di Tanah Air bagai pisau bermata dua. Di satu sisi menjadi modal untuk memaksimalkan pembelajaran berbasis digital. Namun, di sisi lain juga memperbesar peluang paparan pengaruh negatif melalui dunia maya.
Menurut Hasan, di sinilah pentingnya penguatan literasi digital. Mendidik siswa memilah informasi agar tidak tenggelam di tengah gelombang informasi bohong dan menyesatkan yang banyak berseliweran.
”Tantangan saat mencoba mengefektifkan literasi digital adalah persoalan budaya. Bagaimana menggunakan internet secara sehat. Sebab, kita sama-sama tahu, pilihan (menggunakan) teknologi pasti punya dua sisi, positif dan negatif,” ujarnya.
Pengamat kebijakan pendidikan sekaligus Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan menuturkan, salah satu disrupsi pandemi Covid-19 terhadap dunia pendidikan adalah ketidakpastian dalam pembelajaran. Perubahan metode akibat disrupsi juga harus dibarengi dengan transformasi yang terintegrasi.
”Oleh sebab itu, pemerintah dan sekolah harus siap dengan perubahan menerapkan sistem pembelajaran dalam waktu yang singkat,” katanya.
Baca juga: Keterampilan Menerapkan Ilmu secara Adaptif Dibutuhkan Siswa
Guru masa depan
Di era sekarang, guru bukan lagi satu-satunya sumber siswa untuk bertanya mendapatkan pengetahuan. Dengan kemajuan teknologi internet, mesin pencari seperti Google menyediakan pengetahuan dan informasi lebih luas.
Akan tetapi, bukan berarti guru tak lagi diperlukan. Justru peran guru semakin kompleks dan dituntut ikut bertransformasi menjawab sejumlah tuntutan zaman.
”Kalau hanya transfer pengetahuan, guru akan ditinggalkan karena Google lebih banyak tahu. Namun, ada yang membuat guru tidak bisa digantikan oleh apa pun, yaitu mengajarkan nilai-nilai,” ujar Triska Fauziah Resmiati, salah satu penulis buku ‘Profil Guru Sekolah Dasar’ yang juga guru SD Negeri 164 Karangpawulang, Kota Bandung, Jawa Barat.
Menurut Triska, guru wajib mengenali ciri pendidikan masa depan, di antaranya pembelajaran yang diarahkan siswa sendiri, multi sumber belajar, berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK), adaptif, serta membangun cara pandang. Ia mencontohkan, saat pandemi 2,5 tahun terakhir, siswa lebih banyak belajar di rumah tanpa gurunya. Peran siswa mengarahkan dirinya sendiri dalam pembelajaran pun menjadi lebih dominan.
Siswa akan berhadapan dengan beberapa jenis pekerjaan yang belum ada sekarang. Jadi, ilmu yang diajarkan saat ini belum tentu relevan dengan kondisi masa depan.
Oleh sebab itu, konstruksi pengetahuan menjadi salah satu kunci penting dalam pembelajaran era sekarang dan mendatang. ”Guru harus menjadi fasilitator untuk memproduksi dan mengomunikasikan informasi. Kemudian juga mengajak siswa mengonstruksi pengetahuan itu,” ujarnya.
Optimalisasi pembelajaran sangat krusial dalam menyambut bonus demografi pada 2045. Momen tersebut adalah saat mayoritas penduduk Indonesia berusia produktif.
Kualitas SDM Indonesia di era itu turut ditentukan oleh sistem pendidikan saat ini. Tahun keemasan ketika kemerdekaan Indonesia berusia 100 tahun tak mungkin direngkuh tanpa SDM berkualitas yang melimpah.
Salah satu pekerjaan rumah terbesar adalah mendongkrak kompetensi dasar siswa. Hasil survei Program for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukkan potret kompetensi siswa di Tanah Air yang memprihatinkan.
Dalam kemampuan membaca, Indonesia menempati peringkat ke-72 dari 77 negara. Sementara dalam numerasi berada di urutan ke-72 dari 78 negara. Adapun di bidang sains pada peringkat ke-70 dari 78 negara.
Baca juga: Pascapandemi, Pembelajaran Campuran Tetap Diminati
Setelah hampir tiga tahun pandemi Covid-19 melanda, sistem pembelajaran mulai mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan. Namun, pesatnya kemajuan teknologi informasi memastikan badai disrupsi akan kembali datang. Kolaborasi berbagai pihak menjalankan sistem pendidikan yang adaptif, kreatif, dan konstruktif sangat krusial agar kejayaan Indonesia emas 2045 tak sebatas angan-angan.