Keterampilan Menerapkan Ilmu secara Adaptif Dibutuhkan Siswa
Siswa mesti dibekali keterampilan untuk memanfaatkan ilmu yang ia pelajari secara adaptif. Siswa diharapkan bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman di kemudian hari.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Siswa perlu dibekali keterampilan untuk menerapkan ilmu secara adaptif agar mampu menghadapi perubahan zaman. Untuk itu, guru dapat menyusun pembelajaran yang memadukan teori dan praktik serta merangsang nalar, misalnya melalui tugas kinerja atau performance task.
”Dunia sekarang kompleks, saling terhubung, dan tidak bisa diprediksi, terlebih dengan adanya pandemi Covid-19. Siswa perlu dipersiapkan untuk menerapkan apa yang sudah dipelajari secara fleksibel dan adaptif ke situasi baru, tantangan, dan kesempatan baru,” kata edukator yang berbasis di Amerika Serikat, Jay McTighe, pada Konferensi Tahunan HighScope Indonesia secara daring, Kamis (6/10/2022).
Keterampilan tersebut juga akan dibutuhkan saat siswa masuk dunia kerja. Hal ini tergambar dari laporan The Future of Jobs Report 2020 oleh World Economic Forum. Laporan menyatakan, ada 15 keterampilan yang paling dicari pada 2025.
Sebanyak 13 keterampilan di antaranya bersifat non-teknis, yaitu berpikir kritis dan analitis, aktif belajar, mampu menyelesaikan masalah, inovatif, serta kreatif. Kemampuan non-teknis lain yang dibutuhkan adalah kepemimpinan, ketahanan, penalaran, kecerdasan emosi, serta kemampuan persuasi dan negosiasi.
Hanya dua keterampilan yang bersifat teknis. Pertama, keterampilan menggunakan, memantau, dan mengontrol teknologi. Kedua, keterampilan desain teknologi dan pemrograman.
Guru didorong untuk mengembangkan metode mengajar yang tidak hanya fokus pada penyampaian materi, tetapi juga mendorong siswa mengembangkan materi yang dipelajari dalam konteks lebih luas.
Pendiri dan CEO HighScope Indonesia Antarina SF Amir mengatakan, siswa mesti dibekali dengan keterampilan, konsep, dan nilai. Ketiganya merupakan modal mengatasi perubahan zaman.
”Kami harap siswa dapat menjadi pemimpin yang dapat mengelola dirinya sendiri dan orang di sekitarnya. Kami harap mereka menjadi pemimpin yang paham konsep, dapat memanfaatkan keterampilannya, serta menerapkan nilai di kehidupan. Ketiganya akan tetap dibutuhkan meski zaman berubah,” ujar Antarina.
Guru berperan penting dalam hal itu. Guru didorong mengembangkan metode mengajar yang tidak hanya fokus pada penyampaian materi, tetapi juga mendorong siswa mengembangkan materi yang dipelajari dalam konteks lebih luas.
Guru dapat memanfaatkan tugas kinerja untuk mengukur kemampuan siswa sekaligus mendorong siswa mengembangkan diri. Menurut McTighe, tugas kinerja (performance task) adalah aktivitas apa pun yang mendorong siswa menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan pemahamannya.
Tugas kinerja untuk siswa kelas rendah dapat dibuat sesederhana mungkin. Misalnya, seorang anak yang hobi menari diminta menggambar dan memberi penjelasan singkat tentang tahap-tahap menari. Hal ini akan merangsang siswa untuk berpikir secara sistematis dan detail, tetapi tetap memberi ruang untuk mengembangkan gagasannya.
”Tugas kinerja yang sama bisa diaplikasikan ke siswa di jenjang pendidikan lebih tinggi. Siswa SMA (di AS), misalnya, membuat tugas tentang bagaimana cara memberi suara saat pemilu. Mereka lalu membuat simulasi pemberian suara bersama teman-teman di kelas,” kata McTighe.
Tugas kinerja dalam bentuk lain juga bisa dikembangkan. Setelah belajar, siswa dapat diminta mengolah ilmu yang dipelajari dalam bentuk ulasan buku, debat antarsiswa, wawancara, pidato, gim, film, hingga poster.
Tugas kinerja penting agar guru dapat memahami cara belajar siswa. Pemahaman ini jadi modal penting agar guru dapat merencanakan kegiatan belajar-mengajar dengan baik.
”Perlu dipahami bahwa performance task bukan hanya untuk memperoleh nilai, melainkan juga tentang bagaimana kita mengatur pengajaran,” kata McTighe.
Selain itu, guru juga didorong mengembangkan pembelajaran yang kreatif dan bermakna. Guru juga mesti mampu membuat materi yang diajarkan relevan dan menyenangkan untuk dipelajari. Adapun guru diharapkan mampu membangun dialog dua arah dengan peserta didik.
Saat dihubungi terpisah, Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan, berpikir kritis dan kreatif belum jadi kebiasaan di ruang kelas. Hingga kini, kompetisi capaian akademis masih menjadi budaya umum di kelas. Ini tampak dari penetapan peringkat bagi siswa.
“Bagi saya, PR (pekerjaan rumah) besar kita adalah mentransformasi cara pandang guru tentang untuk apa anak belajar, bagaimana cara anak belajar. Selama ini, mindset guru masih tentang bagaimana anak mencapai kompetensi tertentu,” kata Satriwan.
Dulu, upaya transformasi pola pikir dulu dilakukan melalui pelatihan dari berbagai instansi ke guru. Kini transformasi dilakukan melalui diskusi antarguru di program Guru Penggerak. “Kelemahan dari ini adalah tidak adanya kurasi dan validasi soal praktik baik yang dibagikan sesama guru. Namun, cara ini patut dicoba,” ucapnya.