Ratusan sketsa selama empat dasawarsa berkarya merekam perjalanan hidup perupa, penyair, sekaligus jurnalis Yusuf Susilo Hartono. Sketsa-sketsa itu tidak sekadar menggambarkan peristiwa, tetapi juga memelihara jiwanya.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Suasana Pameran Retrospeksi 40 Tahun Berkarya Among Jiwo di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, Kamis (10/11/2022). Pameran itu memajang lebih dari 250 karya perupa, penyair, sekaligus jurnalis Yusuf Susilo Hartono .
Ratusan sketsa selama empat dasawarsa berkarya merekam perjalanan hidup perupa, penyair, sekaligus jurnalis Yusuf Susilo Hartono. Sketsa-sketsa itu tidak sekadar menggambarkan peristiwa, tetapi juga memelihara jiwanya.
“Mulai sekarang harus ngedan”. Wejangan dari maestro seni lukis Indonesia, Affandi Koesoema, sekitar 35 tahun lalu itu terkesan sederhana. Namun, pesan singkat itulah yang menasbihkan Yusuf sebagai seniman.
Ia menggali makna pesan ‘ngedan’ tersebut dalam dirinya. Pesan itu membawanya melepaskan diri dari berbagai patokan, rumus, dalil, pakem, kaidah, definisi, dan ukuran umum.
“Saya kemudian mengartikannya sebagai among jiwo. Artinya, memelihara, mengawal, merawat, menjaga, dan melindungi untuk diri saya,” ujarnya di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, Kamis (10/11/2022).
Di museum itu, tak kurang dari 250 sketsa karyanya dipajang dalam Pameran Retrospeksi 40 Tahun Berkarya Among Jiwo. Pameran dengan sembilan zona ini berlangsung pada 10-13 November 2022.
Perupa, penyair, sekaligus jurnalis Yusuf Susilo Hartono dengan latar belakang lukisannya dalam Pameran Retrospeksi 40 Tahun Berkarya Among Jiwo di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, Kamis (10/11/2022).
Zona ‘Among Reformasi dan Demokrasi’ menyuguhkan sejumlah sketsa yang merekam gejolak reformasi 1998. Yusuf menangkap salah satu momen bersejarah bangsa Indonesia itu dengan sangat detail.
Salah satu sketsanya menggambarkan suasana Sidang Umum MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) kala itu. Ia juga membuat sketsa unjuk rasa mahasiswa saat menduduki gedung DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Sketsa itu dibuat bersamaan ketika menjalankan tugas peliputan. Di sinilah salah satu keunggulannya, berkarya secara on the spot dengan spontanitas dan menangkap ekspresi saat kejadian.
“Saat itu, saya lari ke gedung DPR dan naik ke atapnya. Dari sana saya bisa bebas menggambar,” katanya.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Sketsa tentang reformasi 1998 karya perupa, penyair, sekaligus jurnalis Yusuf Susilo Hartono dipajang dalam Pameran Retrospeksi 40 Tahun Berkarya Among Jiwo di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, Kamis (10/11/2022).
Pekerjaan sebagai jurnalis membuat pengamatannya sangat kompleks. Tak heran, beberapa pengunjung menilai karyanya sebagai gambar dan sketsa jurnalistik atau berita visual.
Religiositas
Dimensi religius Yusuf dicurahkan dalam sejumlah sketsa di zona ‘Among Religiositas’. Di zona ini, ia lebih berani memainkan banyak warna sehingga tidak hanya didominasi tinta hitam.
Dalam lukisan berjudul ‘Ampuni Aku Ya Tuhan’, misalnya, terdapat gambar seseorang sedang berada di bukit batu berwarna coklat dan hitam. Tangan kanan orang itu berusaha meraih buku dengan sampul berwarna merah yang dapat diinterpretasikan sebagai kitab suci. Sementara sketsa sejumlah orang di bawahnya membentangkan kain berwarna hijau.
Di zona ini, Yusuf juga menyuguhkan sketsa gereja di Tomohon, Sulawesi Utara, dan masjid di Banten. Ada pula gambar kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Jakarta pada 1989.
Setelah empat puluh tahun berkarya, Yusuf masih setia mengejawantahkan pesan memelihara jiwa. Ratusan sketsanya bukan hanya bukti produktivitas dan keliaran imajinasinya, tetapi juga jelmaan jati dirinya
Religiositas menjadi kata sentral dalam pendekatan berkaryanya. Ketika berdoa, ia memohon kepada Tuhan agar dijadikan sebagai pena dan kuas yang baik.
“Kalau pengunjung menemukan keindahan di sini (pameran), itu bukan punyaku, tetapi milik Tuhan,” ucapnya.
Pengalaman puluhan tahun sebagai wartawan membuatnya tak bisa anteng dengan fenomena dan perubahan dalam masyarakat. Jadi, ketika badai pandemi Covid-19 melanda, ia pun tergerak untuk menggambar fenomenanya.
Bahkan, ia mengumpulkan karya-karya terkait pandemi itu dalam zona ‘Among Covid’. Beberapa di antaranya berupa gambar Presiden Pertama RI Soekarno mengenakan masker berwarna jingga dan Monumen Pembebasan Irian Barat yang memakai masker berwarna hijau dengan ilustrasi virus-virus di sekelilingnya.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Perupa, penyair, sekaligus jurnalis Yusuf Susilo Hartono berdiri di samping sketsa wajah orangtuanya dalam Pameran Retrospeksi 40 Tahun Berkarya Among Jiwo di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, Kamis (10/11/2022).
Yusuf memberikan tempat khusus pada karya terkait lingkungan terdekatnya dalam zona ‘Among Diri, Keluarga, dan Tanah Asal’. Di zona ini, ia menempatkan sketsa ayah, ibu, istri, anak, dirinya sendiri, dan tempat asalnya di Bojonegoro, Jawa Timur.
Sketsa berjudul ‘Lanskap Bojonegoro’ merupakan karya tertuanya di pameran itu yang dibuat pada 1982. “Sebenarnya, saya sudah buat sketsa dari 1980, tetapi tidak tersimpan dengan baik. Kalau aku ngomong mulai berkarya sejak 1980, orang akan bertanya mana buktinya,” ucapnya.
Telinga emas
Salah satu karya paling mencuri perhatian di zona ini adalah lukisan berjudul ‘Telinga Emas’. Lukisan itu didominasi warna biru dan putih dengan sketsa wajah Yusuf tampak samping.
Di bagian telinganya terdapat goresan warna kuning keemasan. Lukisan ini menggambarkan kepribadian sekaligus prinsipnya dalam menjalankan kerja jurnalistik.
“Saya suka mendengar. Hal ini juga yang diterapkan saat bekerja sebagai wartawan. Saat mendengar dan diam itulah saya merasakan kenikmatan di tengah keriuhan,” jelasnya.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Suasana Pameran Retrospeksi 40 Tahun Berkarya Among Jiwo di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, Kamis (10/11/2022). Pameran itu memajang lebih dari 250 karya perupa, penyair, sekaligus jurnalis Yusuf Susilo Hartono .
Kurator pameran itu,Anna Sungkar, mengatakan, Yusuf berkarya berdasarkan rentetan peristiwa yang tampak langsung di depan matanya. Pekerjaan sebagai jurnalis membuatnya punya kesempatan hadir dan dan mengamati momen-momen penting.
“Kalau kebanyakan orang mendokumentasikan perjalanan dengan ponsel dan kamera, Yusuf melakukannya dengan membuat sketsa. Dia selalu bawa alat gambar di tasnya,” ujarnya.
Butuh waktu sebulan bagi Anna untuk mengurasi sekitar 570 karya Yusuf. Satu sesi pameran dinilai tak cukup untuk mengabadikan karya perupa kelahiran 15 Maret 1958 itu.
“Sketsanya bagus-bagus. Jadi, mesti pameran beberapa kali. Aku juga sarankan membuat buku sebagai catatan sejarah perjalanan berkarya,” jelasnya.
Sejumlah lukisan dipajang dalam Pameran Retrospeksi 40 Tahun Berkarya Among Jiwo di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, Kamis (10/11/2022). Pameran itu memajang lebih dari 250 karya perupa, penyair, sekaligus jurnalis Yusuf Susilo Hartono .
Menurut Anna, Yusuf merupakan maestro drawing kontemporer terbaik Indonesia saat ini. Lukisannya tak hanya bagus secara teknis, tetapi juga detail dan menggunakan beragam gaya atau pendekatan.
“Pameran ini mengangkat kejeniusannya dengan menonjolkan karya-karya fantastis yang terpilih,” katanya.
Anna mencontohkan sketsa berjudul ‘The Ghost Angela Liong Singapura’ yang dibuat pada 2007. Meski tampak sederhana karena tidak banyak obyek dan warna, gambar itu mencerminkan kualitas teknis, imajinasi, nilai puitis, kreativitas, dan pencapaian maksud dari sang seniman.
Kurator sekaligus kritikus seni rupa Agus Dermawan T menyebutkan, sketsa seperti karya Yusuf cukup langka di Indonesia dengan kombinasi rasa puisi, jurnalistik, dan seni rupa. “Dia tak hanya multitalenta, tetapi multi tangan,” ujarnya.
Setelah empat puluh tahun berkarya, Yusuf masih setia mengejawantahkan pesan memelihara jiwa. Ratusan sketsanya bukan hanya bukti produktivitas dan keliaran imajinasinya, tetapi juga jelmaan jati dirinya.