Melalui imajinasi tentang Jakarta yang beragam, Jakarta International Literary Festival bukan sebatas festival, tetapi juga ruang diplomasi sastra. Jakarta diharapkan menjadi jembatan dialog kesusastraan dunia.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Suasana konferensi pers Jakarta International Literary Festival (JILF) 2022 di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Kamis (20/10/2022). JILF akan berlangsung pada 22-26 Oktober 2022 dengan menggelar 41 program acara, seperti diskusi, pasar buku, pembacaan karya, dongeng anak, gerai kopi, pameran, pertunjukan teater, dan musik.
Jakarta punya ”wajah” beraneka rupa. Mulai dari simbol urbanisasi, lintasan globalisasi, hingga tiang menyandarkan cita-cita. Lewat karya sastra, ragam ekspresi dalam mengimajinasikan Ibu Kota itu akan mewarnai Jakarta International Literary Festival (JILF) 2022.
Meredanya pandemi Covid-19 menjadi momentum kembali digelarnya JILF secara hybrid pada 22-26 Oktober 2022 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Setelah batal digelar tahun lalu, festival sastra ini kembali diselenggarakan untuk ketiga kalinya.
Dengan tema ”Kota Kita di Dunia Mereka”, JILF 2022 tak hanya mengundang penulis dari luar negeri, seperti Tanzania, Jepang, Timor Leste, dan Malaysia, tetapi juga melibatkan 11 komunitas sastra dari sejumlah daerah.
Kurator JILF, Manneke Budiman, mengatakan, pandangan komunitas sastra di sejumlah daerah terhadap problematika Jakarta tidak seragam. Jadi, imajinasinya pun tidak selalu sama.
Penyair Hasan Aspahani, budayawan Candra Malik, dan musisi balada Ary Juliant (dari kiri ke kanan) berdialog dalam Melodia Sastra di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Jumat (9/6/2017).
”Imajinasi itu akan jauh berbeda dengan orang yang ada di Jakarta. Tidak hanya dilebur imajinasinya, tetapi juga diperluas. Komunitas diberikan kebebasan untuk mengekspresikannya,” ujarnya dalam konferensi pers di Teater Wahyu Sihombing, TIM, Kamis (20/10/2022).
Komunitas yang terlibat berasal dari sejumlah daerah, di antaranya, ialah Solok, Sumatera Barat; Singaraja, Bali; Jember, Jawa Timur; dan Flores, Nusa Tenggara Timur. JILF 2022 akan menggelar 41 program acara, seperti diskusi, pasar buku, pembacaan karya, dongeng anak, gerai kopi, pameran, pertunjukan teater, dan musik.
Kebebasan mengimajinasikan Jakarta diharapkan membuat karya sastra yang ditampilkan bervariasi. Komunitas sastra dari Jember, misalnya, akan bercerita dan menampilkan seni instalasi di kampus yang berdekatan dengan jalan raya.
”Mereka akan berdialog dengan juru parkir, pengayuh becak, pedagang kaki lima, dan warga lainnya di jalanan yang sangat ramai. Ekspresi ini mengimajinasikan kebisingan Jakarta,” ujarnya.
Akan tetapi, komunitas juga diberi keleluasaan untuk mengekspresikan problematika atau kisah dari daerahnya masing-masing. Hal ini sebagai upaya untuk menampilkan keberagaman ekosistem sastra di Tanah Air.
Jika masyarakat menggandrungi sastra, akan banyak perspektif mengemuka sehingga memperkaya wacana dan pemikiran. JILF diharapkan menjadi ajang yang mampu memperkaya khazanah dan pemikiran warga kota.
”Sebagai ibu kota negara (Indonesia), Jakarta menjadi ibu dari kota-kota di Indonesia. Kekayaan ekspresi sastra itu diharapkan bermunculan dari daerah. Kami datang tidak dengan konsep yang sudah jadi, tetapi ruang kosong untuk diisi dengan imajinasi yang beragam,” ujarnya.
Direktur Eksekutif JILF 2022 Avianti Armand mengatakan, berbeda dari dua edisi sebelumnya, festival tahun ini akan melibatkan kelompok pencinta bacaan anak. Mereka diajak mendongeng, membuat diorama, dan ilustrasi.
”Anak-anak hampir selalu dilupakan dalam festival sastra. Tahun ini akan tampil kelompok pencinta bacaan anak yang konsisten berkegiatan sejak 1987,” katanya.
Pembukaan JILF 2022 juga menyajikan pertunjukan musik oleh band Efek Rumah Kaca. Vokalis band itu, Cholil Mahmud, mengatakan, sastra merupakan medium imajinasi dan belajar untuk mendapatkan perspektif lebih luas.
Vokalis band Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud, menghadiri konferensi pers Jakarta International Literary Festival (JILF) 2022 di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Kamis (20/10/2022).
Menurut Cholil, jika masyarakat menggandrungi sastra, akan banyak perspektif mengemuka sehingga memperkaya wacana dan pemikiran. JILF diharapkan menjadi ajang yang mampu memperkaya khazanah dan pemikiran warga kota.
”Apa yang terjadi di masyarakat, termasuk di kota saya menetap, menjadi titik berangkat saya dalam menulis lagu. Sastra sering dan masih menjadi inspirasi saya untuk mengejawantahkan ide-ide menjadi lagu,” ucapnya.
Bumi selatan
JILF merupakan festival tahunan yang digagas oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pertama kali digelar pada 2019, festival ini mewacanakan literasi di negara-negara pada bumi bagian selatan untuk menekankan pentingnya menyeimbangkan distribusi dan apresiasi sastra global.
Dengan demikian, negara-negara di belahan selatan dapat saling lebih mengenal melalui sastra. Ketua DKJ Danton Sihombing mengatakan, JILF menjadi cara melihat secara kritis bagaimana kesusastraan di dunia beroperasi dan terbentuk.
DIAN DEWI PURNAMASARI
Kegiatan kongko bertema Bahasa dalam Sastra Betawi yang diadakan di Taman Ismail Marzuki, Kamis (22/8/2019). Acara tersebut merupakan rangkaian dalam kegiatan Jakarta International Literary Festival.
”Tujuannya membuka sekat-sekat yang membatasi sastra antarnegara selatan dengan dunia internasional lewat cara membaurkan kelompok-kelompok yang selama ini terabaikan dan selanjutnya bersama membangun dialog,” ujarnya.
Ketua Komite Sastra DKJ Hasan Aspahani menuturkan, JILF merupakan salah satu festival sastra yang harus diteruskan tradisinya. Festival ini menjadi wadah bagi komunitas dengan beragam platform di sejumlah daerah.
”Festival ini ibarat pesta panen. Sastra kita tanam, kita rawat pertumbuhannya, dan kini dipanen. Ayo rayakan dan nikmati pestanya,” katanya.
Melalui imajinasi tentang Jakarta yang bervariasi, JILF bukan sebatas festival, tetapi juga ruang diplomasi sastra. Ragam ekspresi, pertukaran ide, dan kolaborasi diharapkan menjadikan Jakarta sebagai jembatan dialog bagi kesusastraan dunia.