Meski mengalami sejumlah kemajuan, selama lima tahun terakhir, situasi HAM di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Di lapangan masih terjadi sejumlah pelanggaran HAM terhadap masyarakat.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sidang Peninjauan Berkala Universal Siklus IV Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa atas kondisi hak asasi manusia di sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang berlangsung di Geneva, Swiss, sejak Rabu hingga Jumat (9-11/11/2022) mendapat tanggapan dari berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil. Selain organisasi masyarakat sipil, tanggapan juga disampaikan Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan.
Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang juga hadir menjadi panelis bersama Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Amnesty International Indonesia, Majelis Rakyat Papua (MRP), serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan sejumlah catatan.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dan komisioner Rainy Hutabarat dan Theresia Iswarini dalam keterangan pers menyatakan, Komnas Perempuan berpartisipasi dalam side event atau sesi tambahan yang diselenggarakan oleh organisasi masyarakat sipil pada 8 November 2022.
Dari catatan Komnas Perempuan, ada lima isu mendesak yang secara bersamaan diajukan oleh semua panelis pada sesi tambahan dalam sidang tersebut. Pertama, kebebasan berpendapat dan berekspresi yang bertautan dengan kriminalisasi dan kekerasan terhadap pembela HAM, termasuk perempuan pembela HAM. Kedua, penyiksaan dan perlakuan manusiawi; hak untuk hidup, khususnya terkait penghapusan hukuman mati dan hukuman badan lainnya.
Ketiga, soal pelanggaran HAM masa lalu yang penuntasannya masih tertunda dan kondisi kekerasan yang terjadi di Papua. Keempat, bisnis dan HAM terkait konflik sumber daya alam. Kelima, kebebasan beragama yang juga berkait dengan persoalan peraturan dan kebijakan diskriminatif serta aksi intoleransi lainnya, termasuk kepada kelompok minoritas jender.
”Secara khusus, Komnas Perempuan menyampaikan apresiasi atas kemajuan yang telah dicapai Pemerintah Indonesia sekaligus meminta perhatian Pemerintah Indonesia dan negara-negara peserta serta Komite PBB terhadap sejumlah isu prioritas,” kata Rainy.
Setidaknya ada 11 isu prioritas yang disoroti Komnas Perempuan meliputi, antara lain, kekerasan seksual yang melonjak secara ajek tidak berbanding lurus dengan ketersediaan infrastruktur penanganan dan pemulihan korban, kesiapan aparat penegak hukum (APH), pengadaan layanan dalam menangani berbagai kasus kekerasan seksual, serta juga sangat bergantung pada revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Terkait persoalan kesehatan seksual dan reproduksi kelompok rentan, masih ada hambatan dalam mengakses layanan kesehatan bagi perempuan kelompok rentan, termasuk dalam situasi bencana dan akses untuk penghentian kehamilan yang tidak diinginkan bagi perempuan korban kekerasan seksual.
Komnas Perempuan juga melihat penyiksaan berbasis jender masih ditemukan di tempat tahanan dan serupa tahanan serta hukuman cambuk di Aceh. Lalu, ada sejumlah peraturan daerah diskriminatif yang menyasar tubuh perempuan walau menurun, tetapi jumlahnya masih cukup banyak.
Begitu juga pelanggaran hak-hak agama minoritas, di antaranya serangan dan kekerasan berbasis intoleransi terhadap minoritas agama dan peraturan pemerintah tentang izin membangun rumah ibadah yang menimbulkan konflik masih terjadi.
Situasi lain yang perlu mendapat perhatian pemerintah yakni pelanggaran hak-hak minoritas seksual melalui kriminalisasi dalam perda-perda dan diskriminasi karena ekspresi gender dan orientasi seksualnya; perlindungan perempuan lanjut usia; femisida; perempuan di wilayah konflik, serta penguatan lembaga Komnas Perempuan.
Pada bagian lain, Komnas Perempuan juga mencatat sejumlah rekomendasi dari siklus sebelumnya yang belum sepenuhnya ditindaklanjuti Pemerintah Indonesia. Misalnya, penghapusan penyiksaan diiringi ratifikasi Opsional Protokol Konvensi Anti Penyiksaan; pemenuhan kebebasan beragama dan revisi KUHP terkait pasal penistaan agama serta penghapusan perda-perda diskriminatif.
Selain itu, ada penghapusan kebijakan diskriminatif terhadap minoritas seksual dan pemenuhan hak-hak atas pendidikan, pekerjaan dan bebas dari kekerasan; perlindungan terhadap pembela HAM termasuk perempuan pembela HAM, termasuk melalui akses jurnalis dan mekanisme HAM ke Papua.
Dalam rekomendasi, Komnas Perempuan meminta Pemerintah Indonesia agar mengupayakan dialog konstruktif dengan para negara anggota PBB selaku peninjau, dengan memberikan informasi utuh tentang situasi dan kondisi HAM di Indonesia.
Theresia menyatakan, dalam rekomendasi, Komnas Perempuan meminta Pemerintah Indonesia agar mengupayakan dialog konstruktif dengan para negara anggota PBB selaku peninjau, dengan memberikan informasi utuh tentang situasi dan kondisi HAM di Indonesia. Selain menggambarkan kondisi kemajuan, tantangan maupun agenda Indonesia dalam upaya pemajuan hak-hak asasi manusia, informasi itu termasuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Keberhasilan dan tantangan
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, yang mewakili Pemerintah Indonesia dalam Sidang Peninjauan Berkala Universal Siklus IV Dewan HAM PBB, Rabu siang, memaparkan keberhasilan dan tantangan pembangunan nasional bidang HAM selama lima tahun terakhir. “Banyak kemajuan dicapai. Namun Pemerintah Indonesia tidak mengabaikan ada tantangan, khususnya ketika kita menghadapi ujian berat dengan ada Pandemi Covid-19," ujarnya dalam siaran pers.
Ia mengakui, Indonesia menghadapi situasi unik dan tidak mudah untuk memenuhi komitmen pembangunan HAM. Demokrasi yang terus diuji, datangnya pandemi, disahkannya berbagai undang-undang dan peraturan, dinamika penegakan hukum, peran masyarakat sipil yang kian dinamis, kondisi geopolitik global dan regional adalah sebagian fenomena yang mewarnai pembangunan nasional di bidang HAM selama 5 tahun terakhir.
“Puji syukur, dialog interaktif UPR Indonesia ini berjalan lancar, dan diikuti secara antusias oleh seluruh negara peserta. Tercatat 113 negara berpartisipasi, dengan ratusan pertanyaan dan rekomendasi amat konstruktif, dalam mendorong pembangunan nasional di bidang HAM secara lebih baik ke depan,” ujar Yasonna yang hadir berbicara dalam sidang didampingi Wakil Tetap RI untuk PBB di Geneva Febrian Ruddyard.
Yasonna menegaskan, semestinya bangsa Indonesia berbangga karena sidang UPR tersebut adalah mekanisme yang menghargai upaya pemajuan HAM di setiap negara, Dengan mengusung semangat multilateral bagi peningkatan kerja sama dan kolaborasi; dan mendorong perubahan menuju perbaikan, sesuai situasi dan kapasitas masing-masing negara.
“Oleh karena itu, Indonesia secara rutin, tidak pernah terlewat, dalam mengikuti UPR. Pemerintah Indonesia bangga mempaparkan capaian pemenuhan HAM-nya, termasuk terbuka menyampaikan proses atau tantangannya di Dewan HAM PBB,” ujar Yasonna seraya menyatakan UPR merupakan momentum yang disambut baik dan dinanti masyarakat sipil.
Selain Indonesia, pada persidangan UPR bulan November 2022 ini, terdapat 13 negara lainnya yang juga melakukan presentasi UPR yaitu Aljazair, Afrika Selatan, Brasil, Belanda, Bahrain, Ecuador, Finlandia, Filipina, India, Inggris, Maroko, Polandia, dan Tunisia.