Masyarakat Sipil Bawa 8 Isu Perempuan Indonesia ke Sidang Dewan HAM PBB
Pemenuhan hak asasi perempuan di Indonesia hingga kini masih menghadapi sejumlah persoalan. Sejumlah upaya terus dilakukan dengan berbagai tantangannya. Kebijakan yang berpihak pada perempuan sangat penting.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati ada sejumlah kemajuan dan perubahan, kondisi perempuan di Tanah Air, utamanya terkait pemenuhan hak asasi manusia, masih membutuhkan perhatian dan kebijakan khusus dari pemerintah. Sejumlah permasalahan yang masih mendera itu antara lain terkait kesehatan, perempuan dalam konflik, perempuan desa dan adat, isu kekerasan berbasis jender daring, sunat perempuan, dan perempuan dalam bencana.
Situasi hak asasi manusia (HAM) perempuan itu diangkat menjadi catatan kritis dalam laporan dan rekomendasi yang disusun sejumlah organisasi masyarakat sipil dalam CEDAW Working Group Indonesia (CWGI). Catatan ini akan menjadi masukan dan rekomendasi dalam Sidang Universal Periodic Review (UPR) di Dewan Hak Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada November 2022.
”Masyarakat sipil sudah tiga kali membuat laporan ke Sidang Dewan HAM PBB. Kali ini kami membuat laporan khusus terkait implementasi pemenuhan HAM, terutama perempuan di Indonesia, bagaimana situasi perempuan Indonesia,” ujar Listyowati dari CWGI, kepada pers, Jumat (9/9/2022).
Selain Listyowati, juga hadir memberikan penjelasan terkait rekomendasi CWGI, yakni Yuniyanti Chuzaifah (aktivis perempuan, Ketua Komisioner Komnas Perempuan 2010-2014), Ruby Kholifah (The Asian Muslim Action Network/AMAN Indonesia), dan Dian Novita (LBH APIK Jakarta).
Bagi Indonesia, UPR sangat penting untuk merawat demokrasi. Ini jendela yang penting bagi rakyat supaya mekanisme internasional bisa melihat apa yang terjadi dalam sebuah negara. (Yuniyanti)
UPR merupakan mekanisme HAM internasional yang mengundang negara-negara anggota PBB untuk ditinjau terkait dengan persoalan HAM, termasuk HAM perempuan di masing-masing negara. UPR dilakukan secara periodik 4,5 tahun sekali, dan Indonesia telah ditinjau selama tiga kali, yaitu pada 2008, 2012, dan 3 Mei 2017 di Gedung Palais de Nations PBB Geneva.
Pada UPR PBB tahun 2022 ini, CWGI mengangkat delapan isu terkait situasi HAM perempuan Indonesia, yakni kesehatan perempuan, perempuan dan konflik, perempuan desa dan perempuan adat, hak atas pangan dan tanah, kekerasan berbasis jender daring (KBGO), penghapusan perkawinan anak, pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (sunat perempuan), serta perempuan dan bencana.
Listyowati mencontohkan, untuk isu kesehatan perempuan, CWGI menilai angka kematian ibu (AKI) masih sangat tinggi sampai saat ini, yakni 300 per 100.000 kelahiran hidup. Demikian dengan kriminalisasi terhadap orang yang melakukan aborsi, yaitu korban kekerasan seksual dan tenaga kesehatan masih berlangsung. Sementara, akses layanan kesehatan reproduksi bagi kelompok muda yang masih sulit diperoleh.
Karena itulah, CWGI merekomendasikan agar akses layanan kesehatan yang mudah sampai tingkat perdesaan. Selain itu, Indonesia harus memastikan implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan No 3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Prosedur Aborsi dalam Kedaruratan dan Kasus Perkosaan, serta implementasi Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang kesehatan.
Selain itu, isu KBGO juga menjadi isu yang penting disuarakan. Fakta yang dicatat Komnas Perempuan, KBGO dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat, yaitu pada 2019 terdapat 241 kasus dan meningkat menjadi 940 kasus pada 2020. Bahkan, data SAFEnet selama dua tahun terakhir, terdapat 620 kasus KBGO yang ditangani pada 2020, dan tahun 2021 sebanyak 677 kasus.
Sudah ada perubahan
Terkait beberapa rekomendasi yang disampaikan masyarakat sipil pada UPR tahun 2017 lalu, kalangan masyarakat sipil menilai beberapa sudah ada perkembangannya. Misalnya soal pencegahan perkawinan anak, pemerintah Indonesia pada 2019 telah merevisi Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur batas usia perkawinan menjadi usia 19 tahun untuk anak perempuan dan laki-laki.
Demikian juga sunat perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyusun RAN pencegahan praktik sunat perempuan. Sedangkan terkait pencegahan kekerasan seksual, pada Mei 2022 lalu, Indonesia memiliki UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Yuniyanti mengatakan, UPR menjadi ruang untuk mengevaluasi perkembangan dan situasi HAM perempuan antarnegara. Selain itu, UPR juga merupakan upaya merawat hak asasi menjadi bagian dalam berbangsa dan bernegara.
”Bagi Indonesia, UPR sangat penting untuk merawat demokrasi. Ini jendela yang penting bagi rakyat supaya mekanisme internasional bisa melihat apa yang terjadi dalam sebuah negara,” kata Yuniyanti.
Tidak hanya itu, UPR bermanfaat bagi Indonesia. Hal ini karena rekomendasi dari mekanisme internasional bisa menjadi payung bagi advokasi gerakan masyarakat sipil dan menjadi catatan korektif hal-hal yang harus diperbaiki di tataran kebijakan.
Ruby menambahkan, laporan masyarakat sipil paling banyak masuk dalam UPR PBB. Oleh karena itu, dialog antara masyarakat dan pemerintah harus terus dibuka sehingga bisa menindaklanjuti laporan tersebut. ”Peran masyarakat sipil penting. Maka, masyarakat sipil harus bertemu dengan pemerintah, dan berdialog maksimal,” katanya.
Atashendartini Habsjah, aktivis perempuan yang beberapa kali menghadiri sidang UPR mengungkapkan ada sejumlah rekomendasi masyarakat sipil hingga kini belum ditanggapi serius pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, yakni terkait sunat perempuan. “Selama enam tahun terakhir kami sulit masuk ke Kemenkes. Padahal isu sunat perempuan sudah lama diangkat. Tapi justru yang terjadi dokter umum dan bidan memfasilitasi sunat perempuan. Bahkan ada dokter yang promosi, layanan datang ke rumah,” ujar dia
Dian Novita yang mewakili masyarakat sipil dalam forum UPR PBB tersebut menyatakan isu perempuan dan anak, terutama kekerasan seksual menjadi perhatian dalam forum pertemuan antarnegara tersebut. Termasuk situasi pembela HAM yang mendapat banyak tantangan.