Harga Tidak Terkait Kualitas, Keamanan, dan Efektivitas Obat
Obat yang telah mendapat izin edar semestinya dapat terjamin keamanan, efikasi, dan kualitasnya. Itu sebabnya, temuan cemaran kimia berbahaya pada sejumlah obat dipertanyakan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Poster pemberitahuan perihal penghentian sementara penjualan obat sirop di Apotek Wisnu, Ciledug, Kota Tangerang, Banten, Minggu (23/10/2022). Penghentian penjualan produk obat sirop tersebut menyusul imbauan Kementerian Kesehatan terkait merebaknya penyakit gangguan gagal ginjal akut progresif atipikal pada anak.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa harga tidak menjadi patokan kualitas, keamanan, dan efektivitas obat. Pemilik izin edar obat mestinya dapat mempertanggungjawabkan keamanan obat yang diproduksinya. Namun, masih ada sejumlah obat dengan cemaran kimia yang melebihi ambang batas aman sehingga membahayakan kesehatan.
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, menegaskan, harga obat tidak berhubungan dengan munculnya gangguan ginjal akut progresif atipikal yang menimpa ratusan anak di Indonesia. Hingga kini, penyakit itu dihubungkan dengan cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada sejumlah obat sirop.
”Kita sebaiknya tidak mendikotomi obat mahal dan murah, tetapi apa isinya. Dalam kasus ini, tidak ada obat mahal dan murah,” kata Syahril melalui keterangan pers daring, Rabu (9/11/2022).
Kalau kadarnya (EG dan DEG) sangat besar, itu namanya bukan lagi cemaran. Itu yang sedang kami telisik. Kenapa EG dan DEG sebesar ini ada di sediaan farmasi? Berarti ada permasalahan dari bahan baku.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Petugas Balai Besar POM Padang memeriksa obat sirop Unibebi Cough Syirup (masuk daftar penarikan BPOM) yang sudah disisihkan oleh Apotek Musi di gudang kawasan Pasar Raya Padang, Sumatera Barat, Senin (24/10/2022).
Menurut Wakil Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Keri Lestari, produksi obat harus sesuai dengan cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Kualitas, keamanan, dan efikasi obat yang telah memiliki izin edar seharusnya juga terjamin.
Walakin, pemerintah menemukan sejumlah obat dengan kandungan EG dan DEG yang melewati ambang batas aman. Buntutnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencabut izin edar 69 obat dari tiga perusahaan farmasi per 8 November 2022. Adapun hari ini BPOM kembali mengumumkan empat obat lain yang mengandung EG dan DEG melebihi ambang batas aman.
Keri mengatakan, temuan EG dan DEG yang melebihi ambang batas aman menjadi tanda tanya besar. Sebab, keduanya bukan bahan baku farmasi. Ini harus diselidiki secara menyeluruh, termasuk asal-usul bahan baku obat tersebut.
”Kalau kadarnya (EG dan DEG) sangat besar, itu namanya bukan lagi cemaran. Itu yang sedang kami telisik. Kenapa EG dan DEG sebesar ini ada di sediaan farmasi? Berarti ada permasalahan dari bahan baku,” ujar Keri yang juga Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran itu.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Noffendri menambahkan, IAI akan meminta informasi lebih lanjut pada BPOM soal ini. ”Titik krusialnya di mana sehingga bisa memakai bahan baku seperti itu. Apa di proses pembelian atau quality control yang belum optimal?” ujarnya.
FAKHRI FADLURROHMAN
Petugas Badan Pengawasan Obat dan Makanan memindahkan barang bukti obat sirop yang yang tidak memenuhi syarat di kawasan PT Yarindo Farmatama, Serang, Banten, Senin (31/10/2022).
Semua produk obat sirop dilarang menggunakan EG dan DEG. Namun, keduanya dapat ditemukan sebagai cemaran zat pelarut obat cair atau sirop. Yang termasuk pelarut, antara lain, polietilen glikol, propilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol. Menurut aturan Farmakope Indonesia, nilai toleransi EG dan DEG pada gliserin dan propilen glikol adalah 0,1 persen, sedangkan pada polietilen glikol 2,5 persen.
Konsumsi EG dan DEG melebihi ambang batas aman diperkirakan berhubungan dengan gangguan ginjal akut. Per 7 November 2022, Kementerian Kesehatan mencatat 324 kasus gangguan ginjal akut pada anak. Sebanyak 28 orang di antaranya dirawat, 104 orang sembuh, dan 194 orang meninggal.
”Jangan sampai ada korban jatuh lagi dan hal ini terjadi lagi. Celah-celah yang terbuka di regulasi mesti segera dibenahi,” ujar Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso.
FAKHRI FADLURROHMAN
Deretan barang bukti berupa bahan baku dan obat sirop yang tidak memenuhi syarat di kawasan PT Yarindo Farmatama, Serang, Banten, Senin (31/10/2022).
Ketua Umum Pengurus Besar IKatan Dokter Indonesia (PB IDI) Moh. Adib Khumaidi menambahkan, semua pemangku kepentingan mesti berkolaborasi untuk mengatasi gangguan ginjal akut. Ke depan, peningkatan edukasi ke masyarakat soal kesehatan hingga pemantauan efek obat mesti digalakkan.
Sementara Ketua Tim Pencari Fakta Kasus Gagal Ginjal Akut sekaligus Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), M Mufti Mubarok, menuturkan, berdasarkan temuan awal timnya, gangguan ginjal akut diduga akibat kejahatan sistematis. Hal ini tidak hanya melibatkan pelaku usaha, tapi juga kelalaian sistem pengawasan peredaran obat.
Obat alternatif
Sebagai alternatif obat sirop, Keri merekomendasikan pemberian puyer ke anak yang sedang sakit. Puyer adalah obat tablet yang digerus dan dicampur sedikit air. Puyer dinilai lebih aman dikonsumsi dibanding obat sirop dalam situasi ini.
”Sirop berbahan dasar air yang mengandung, misalnya, parasetamol memang berpotensi (mengandung EG dan DEG). Sebab, parasetamol tidak larut dalam air sehingga mesti dilarutkan dengan kosolven,” katanya. ”Agar anak nyaman minum puyer, kita bisa menambahkan pemanis seperti madu,” tambahnya.
Piprim mengatakan, selain diberi obat, anak yang demam juga dapat ditangani dengan berendam air hangat, dikompres air hangat, atau melalui kontak langsung dengan kulit (skin to skin).